Keadaan memaksaku untuk segera pulang ke kampung halaman. Tidak bisa tidak, bagaimanapun aku harus pulang. Kurogoh sisa uang di saku, satu-satunya moda transportasi yang bisa ditoleransi sakuku saat ini hanya kereta kelas bisnis.Kelas ekonomi tidak kumasukkan dalam daftar alternatif karena aku –yang cewek ini- akan pulang sendirian.
Oh tidak, antriannya sudah mengular. Aku baru ingat ini musim anak-anak sekolah liburan, bukan saat yang tepat untuk berspekulasi dengan keberuntungan. Melihat mukaku yang pucat pasi, seorang Bapak dengan jaket kumal mendatangiku. Cara jalannya saja sudah membuatku eneg. “Mau kemana mba? Jogja? Semarang?”. Calo. Dia pasti calo.
***
Kereta sudah melaju kurang lebih lima belas menit. Bau pengab mulai menyesaki sudut-sudut gerbong. Kurogoh sakuku sekali lagi, meski sudah agak dalam, ternyata uang yang tersisa tak sebanyak yang seharusnya. Sejenak ku coba menghibur diri, uang masih bisa dicari lain waktu, tapi urusanku harus diselesaikan sekarang.
Calo, keberadaannya sedikit banyak membuat hati jadi geregetan, tapi di waktu tertentu, kita senang mereka ada. Watak manusia yang rela berkorban lebih banyak demi mencapai tujuannyadengan cara yang lebih cepat dan praktis, membuat usaha percaloan makin subur saja, khususnya di negeri ini. Calo tidak hanya menjadi usaha sampingan, bahkan beberapa di antaranya menggunakan hubungan darah atau pertemanan untuk memuluskan usaha mereka, memajukan usaha percaloan mereka, namanya kongkalikong.
Bahkan jika kita mau membuat map nya, mungkin kita akan dibuat tercengang karena hampir di semua lini penyediaan jasa dan barang ada namanya percaloan. Mulai dari calo jabatan sampai calo tiket. Dari calo bangku sekolah sampai calo PNS. Ternyata jadi calo itu keren juga,sudah nyerempet KKN. Kolusinya ada, Korupsi nya ada, lengkap lagi dengan nepotisme. Contohnya saja calo tiket, di seantero penghuni stasiun itu siapa si yang gak tau kalau di sana ada calo. Dapat dikatakan tidak ada. Lalu mengapa percaloan masih lancar jaya? Karena satu, ada pejabat yang menggunakan wewenangnya supaya bisa memuluskan kegiatan percaloan. Si pejabat dapat dipastikan mendapat keuntungan lebih dari situ, jika tidak, mana mungkin mereka mau mengambil risiko ada konsumen yang dirugikan. Ini namanya kolusi dan korupsi.
Calo tidak akan muncul jika pihak yang memberikan jasa mematuhi prosedur yang berlaku untuk menjaga kepuasan konsumen. Para pejabat dan pelaksana tugas tidak tergiur pada iming-iming yang dihasilkan dari proses yang jelas-jelas merugikan orang lain. Selain itu, sikap permisif masyarakat pada proses percaloan pun harus dikikis habis. Jangan mengharapkan akan memperoleh pelayanan yang terbaik jika tidak memenuhi prosedur yang berlaku. Titik.
Betewe, sebenarnya ada calo yang aku pengen banget dia ada, bahkan jangan diberantas. Namanya calo tiket masuk surga. Nah, dari namanya saja sudah ketahuan kan apa kerjaannya. Yap, menawarkan kepada orang-orang yang gak bisa masuk surga tiket untuk masuk ke sana. Sayangnya, surga itu hak prerogratif Alloh, kita nggak bisa mengharapkan ada calo yang menjual tiket masuk surga. Tiket masuknya bisa diperoleh dengan cara mengisi hidup sebagai orang-orang beriman dan mengerjakan amal soleh (QS.35:34). Tentu saja, jadi calo bukanlah alternatif yang baik untuk bisa dapet tiket masuk surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H