Mohon tunggu...
Atthar Alifiano Ibrahim
Atthar Alifiano Ibrahim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Runner 🏃

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Senjata Nuklir Sebagai Upaya Bertahan Hidup Korea Utara di Dunia Internasional Yang Penuh Akan Ketidakpastian

12 September 2024   22:38 Diperbarui: 12 September 2024   23:19 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KCNA via KNS/AFP via Getty Images 

Perang Dunia II merupakan saat-saat berkembangnya teknologi senjata nuklir, yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Sejak peristiwa tersebut, negara-negara pun berlomba-lomba untuk mengembangkan senjata nuklir dari dulu hingga saat ini. Senjata nuklir merupakan senjata yang memperoleh kekuatannya dari reaksi nuklir yang memiliki hulu ledak yang sangat besar, sehingga dapat menghancurkan sebuah kota. Sebagai salah satu negara bersenjata nuklir, Korea Utara berfokus pada sektor perekonomian terencana, industri berat, dan pengembangan militer yang di dalam nya mengembangkan teknologi senjata nuklir (Adiningsih & Nte, 2022: 123). Artikel ini bertujuan untuk menganalisis upaya bertahan hidup Korea Utara melalui pengembangan senjata nuklir dari ketidakpastian dunia internasional.

Security dilemma menjadi inti teoritis dari realisme. Menurut realisme defensif, negara dalam upaya untuk bertahan akan melakukan cara seperti membangun persenjataan militer mereka dan kebanyakan metode ini dilakukan oleh negara dengan kekuatan menengah, seperti Korea Utara di periode kepemimpinan Kim Il Sung. Namun, ketika negara melaksanakan upaya defensif nya, tindakan tersebut bisa dianggap sebagai pelanggaran dan agresi karena dianggap mengancam pula keamanan negara sekitarnya. Di sisi lain, menurut realisme ofensif security dilemma menyebabkan perang menjadi pilihan yang rasional. Teori ini telah digunakan untuk merumuskan kebijakan terhadap beberapa tantangan paling mendesak dalam politik internasional seperti pengelolaan perlombaan senjata dan tantangan lainnya (Tang, 2009: 588-589).

Sejak berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953, Korea Utara telah mengalami security dilemma terhadap kekuatan militer dari Korea Selatan karena kemampuan militer yang lebih kuat dan bersekutu dengan Amerika Serikat (Panda 2020). Amerika Serikat menempatkan senjata nuklir di Korea Selatan semasa Perang Dingin, hal ini yang menyebabkan meningkatnya rasa tidak aman Pyongyang/Korea Utara (Jang 2016). Barisan pemimpin Korea Utara, dimulai dengan Kim Il Sung, mulai merencanakan pengembangan senjata nuklir sebagai upaya yang bertujuan untuk memastikan keberlanjutan rezim terhadap ancaman invasi maupun aneksasi yang dapat dilakukan oleh AS dan sekutunya (Korea Selatan). Tindakan tersebut merupakan bentuk pengimplementasian dari konsep realisme defensif (Panda 2020). 

Pengembangan nuklir di Korea Utara berawal dari Rezim Kim il-Sung sebagai pemimpin pertama Korea Utara, beliau menelaah dari pengeboman atom di Hiroshima dan Nagasaki yang menunjukkan bahwa dua senjata atom tersebut dapat menjadi instrumen yang dapat memaksa suatu negara besar untuk menyerah (Jepang). Korea Utara memulai program senjata nuklir pada tahun 1970-an dengan serius, Kim il-Sung terdorong oleh rasa tersaingi oleh perkembangan ekonomi maupun kekuatan militer Korea Selatan. Selain itu, beliau melakukan upaya ini karena  adanya kebutuhan untuk pengamanan kemerdekaan Pyongyang dari Beijing dan Moskow. Keinginan untuk meninggalkan warisan kepada penerus yang sekaligus putranya yakni Kim Jong-il juga menjadi motivasi beliau untuk mengembangkan teknologi senjata nuklir. Pada tahun 1980, Korea Utara mampu membangun reaktor nuklir yang dapat menghasilkan plutonium di tingkat senjata (Adam, 2023: 582). 

Korea Utara ingin mempelajari teknologi senjata nuklir dengan mendekati China, namun tindakan tersebut tidak direspon dengan baik oleh China. Korea Utara mencoba cara lain dengan menjalin hubungan yang kuat dengan Uni Soviet untuk meminta bantuan dalam  mengembangkan kapabilitas rudal nuklirnya sendiri. Uni Soviet memberikan bantuan untuk Korea Utara dalam bentuk pembangunan pusat penelitian nuklir yang terletak di Yongbyon (Karmilawaty & Abdurrohim, Vol. 15 No.2, 2024: 52). Akan tetapi, peristiwa penarikan rudal Uni Soviet dari Kuba (Cuban Missile Crisis) pada tahun 1962 yang menyebabkan rezim Korea Utara gusar akan probabilitas ditinggalkan oleh rekan negara adidaya pendukungnya (Uni Soviet). Sejak peristiwa tersebut Korea utara semakin yakin bahwa persenjataan nuklir adalah cara yang tepat untuk menjamin keamanan dari negara nya (Adam, 2023: 583). Sebelumnya Korea Utara bergabung pada Non-Proliferation of Nuclear Weapon Treaty (NPT). Akan tetapi, Korea Utara keluar dengan tujuan untuk mengejar perkembangan program nuklir nya (Karmilawaty & Abdurrohim, Vol. 15 No.2, 2024: 52).

Tahun 1993 merupakan masa dimana perkembangan nuklir dari Korea Utara ini mengalami peningkatan yang signifikan, di kala itu juga bertepatan dengan Korea Utara yang mengundurkan diri dari perjanjian Non-Proliferation Treaty (NPT) sehingga terbebas dari hambatan-hambatan yang diberikan negara lain. Korea Utara memaksimalkan uji coba nuklir dengan terus melakukan enam kali uji coba ledakan nuklir bawah tanah. Uji coba ini berlangsung dari tahun 2006 sampai 2017. Uji coba ini pertama kali dilaksanakan pada 9 Oktober 2006, untuk uji coba kedua dilakukan pada 25 Mei 2009 dan ketiga pada 12 Februari 2013. Pada 6 Januari 2016, uji coba keempat diselenggarakan dan tidak lama setelahnya disusul juga dengan uji ledak kelima pada 9 September 2016. Pada akhirnya uji coba ketujuh terjadi pada tanggal 3 September 2017. Seluruh rangkaian uji ledak ini dilaksanakan di situs uji coba senjata nuklir Punggye-ri (Adam, 2023: 583).

Setiap kemajuan dan pencapaian militer yang dicapai oleh Korea Utara, menjadi security dilemma yang akan berdampak pada kebijakan Korea Selatan sebagai tindakan pertahanan diri. Korea Selatan mengambil dua langkah untuk menghadapi ancaman nuklir dari Korea Utara. Langkah pertama nya, yaitu Korea Utara melakukan lobi kepada Amerika Serikat dengan tujuan untuk meminta jaminan perlindungan dengan memperkuat kerangka aliansi antara kedua negara tersebut. Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan peningkatan dalam segi pertahanan militer. Setiap Korea Utara semakin berkembang, Korea Selatan merasa bahwa program nuklir dan pembuatan nuklirnya sendiri, merupakan suatu hal yang patut untuk dipertimbangkan dan harus dikembangkan untuk mempertahankan kedudukan nya sebagai negara(Adiningsih & Nte, 2022: 139-140). 

Tidak hanya kerja sama antara Korea Selatan dan Amerika Serikat saja, ada pula kebijakan Extended Deterrence kini menjadi kerja sama trilateral dengan Jepang. Perubahan ini dipengaruhi oleh kesamaan rasa terancam oleh Korea Utara yang dimana aliansi pertahanan trilateral ini dilakukan sebagai upaya untuk memantau lebih jauh bagaimana strategi untuk menghadapi nuklir Korea Utara. Dalam hal ini dibutuhkan analisis geostrategi bahwa perkembangan nuklir Korea Utara akan berpengaruh pada China yang dalam beberapa tahun terakhir muncul sebagai sosok hegemon di Asia bahkan di dunia (Karmilawaty & Abdurrohim, Vol. 15 No.2, 2024: 57).

Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, Rusia, dan China (negara-negara yang menandatangani Non-Proliferation of Nuclear Weapon Treaty (NPT)) tetap berfokus pada upaya denuklirisasi Semenanjung Korea. Selama beberapa dekade, Korea Utara merasa terganggu oleh ancaman nuklir Amerika Serikat yang berada dekat wilayahnya dan mengeluhkan kebijakan permusuhan Amerika Serikat terhadapnya. Meskipun tidak ada dokumen publik yang otoritatif dari rezim tersebut yang menggambarkan langkah-langkah pasti yang dapat diambil Amerika Serikat untuk memenuhi kewajiban denuklirisasi-nya, tetapi terdapat alasan kuat untuk percaya bahwa Semenanjung Korea hanya akan berhasil di denuklirisasi apabila senjata nuklir dihapuskan dari muka bumi. Kim Jong Un tidak berharap hal itu terjadi dalam masa hidupnya, senjata nuklir Korea Utara akan tetap ada. Alasan dari tindakan tersebut karena Korea Utara harus menghadapi musuh adidaya (Amerika Serikat) yang bersikap bermusuhan dan senjata nuklir lah yang dapat menjamin keberlangsungan hidupnya serta digunakan secara kredibel (Panda 2020). 

Permusuhan antara kedua Korea mempengaruhi persepsi masing-masing negara terhadap tetangganya sebagai musuh maupun ancaman. Bagi Korea Utara, Korea Selatan menjadii ancaman karena terdapat kekuatan militer Amerika Serikat yang hadir untuk melindungi Korea Selatan, maka memperkuat persenjataan nuklir menjadi penting dan perang dapat menjadi jalan terakhir yang rasional bagi Korea Utara. Akan tetapi, bagi Korea Selatan pengalaman agresi Korea Utara selama Perang Korea menunjukkan bahwa agresi Korea Utara untuk menyatukan kembali Korea akan menjadi ancaman yang dapat muncul kembali, sehingga penerapan kerja sama pertahanan militer dengan negara lain sangat dibutuhkan, seperti pada kebijakan kerja sama trilateral antara Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang  (Karmilawaty & Abdurrohim, Vol. 15 No.2, 2024: 56).

Referensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun