Mohon tunggu...
Attar Yazsa
Attar Yazsa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka nulis yang penting-penting

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Spiral of Silence dan Pemilu 2024

2 Januari 2024   19:46 Diperbarui: 2 Januari 2024   19:58 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) selalu menjadi saat yang dinanti-nantikan dan mendapat sorotan besar dari masyarakat umum. Pilpres 2024 telah memunculkan berbagai fenomena menarik sepanjang prosesnya. Masyarakat bukan hanya merayakan momen penting dalam pelaksanaan demokrasi, namun juga sebagai penentu dari arah politik negara Indonesia nantinya. 

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa setiap masyarakat memiliki preferensinya dalam memilih siapa calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan dipilih. Cara pandang masyarakat-pun terhadap opini mayoritas dan minoritas dapat mempengaruhi sejauh mana mereka terlibat dalam dinamika politik.

Menurut I Nyoman Subanda, salah satu pengamat politik, menjelaskan bahwa lingkungan sekitar memainkan peran krusial dalam membentuk perspektif dan sikap pemilih terkait urgensi ikut serta dalam pemilu. Faktor-faktor seperti keluarga, media, dan lingkungan sosial menjadi elemen yang mempengaruhi pandangan pemula dalam partisipasinya.

Kuatnya dinamika politik pada masyarakat dapat dilihat salah satunya dari grup WhatsApp di lingkungan keluarga yang lebih condong ke salah satu pilihan Presiden dan Wakil Presiden. Teori spiral of silence dapat menjadi relevan dalam membahas dinamika dan perilaku komunikasi di dalam grup tersebut. 

Spiral of silence adalah teori yang ditulis oleh Elisabeth Noelle-Neumann yang merujuk pada kecenderungan seseorang untuk tetap diam ketika mereka merasa bahwa pandangan mereka berlawanan dengan pandangan mayoritas tentang suatu subjek. Kecenderungan ini didasarkan pada adanya punishment yang akan timbul akibat melawan pandangan mayoritas. Pada tulisan ini, penulis mempertimbangkan Pemilu sebagai isu yang paling terbaru untuk menjelaskan teori spiral of silence.

Ditengah bentuk komunikasi yang terbuka, beberapa keluarga secara tidak langsung masih mengadopsi pola komunikasi tertutup, seperti pembahasasn politik. Zahran Rayysal Ghaza, seorang mahasiswa yang sudah memiliki haknya untuk memilih, seringkali merasa sulit untuk mengungkapkan atau sekedar sharing mengenai pilihan politiknya kepada anggota keluarga karena pilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang dia anggap berbeda. 

Hal ini disebabkan karena ia merasa bahwa anggota keluarganya memiliki preferensi pilihan yang berbeda dengan dirinya. Pola hubungan keluarga yang tertutup tersebut juga membuatnya merasa tidak nyaman terhadap akibat dari penyampaian preferensi pilihan calon pemimpinnya kepada keluarganya. Dia memilih untuk hanya diam dan merahasiakan pilihannya demi tidak mendapatkan isolasi dari keluarganya.

Dengan memahami teori Spiral of silence, pemahaman tentang bagaimana opini publik berkembang dan bagaimana partisipasi politik dipengaruhi oleh dinamika sosial dapat diperdalam. 

Dalam konteks pemilu, teori ini membantu menjelaskan mengapa beberapa individu mungkin lebih enggan menyuarakan pandangan mereka secara terbuka dan bagaimana opini yang dominan dapat memainkan peran dalam membentuk arus komunikasi, sekecil bagaimana seseorang akan enggan menyuarakan pilihannya di grup Whatsapp keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun