Mohon tunggu...
Riga Sanjaya
Riga Sanjaya Mohon Tunggu... -

Cerita-cerita dari bilik kepala.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Izinkan Aku Menjadi Ibu

7 Januari 2014   11:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1389069792541777364

Kau setia menunggu lelaki kecil menantang hidup

Kau sertakan do'a, seolah mantra menjelma nafasku

Dahlia mengusap perutnya yang membuncit. Rona bahagia memancar dan senyumnya mekar. Berulangkali dia mendesah senang.

“ Bunda dan Ayahmu sudah tak sabar menantimu hadir, Sayang. Melihat wajahmu yang mungil, menyesap harum tubuhmu.”

Dahlia menatap kalender yang terduduk di nakas. Sebuah tanggal dia lingkari dengan spidol merah.

18 Juli.

Dahlia kembali mengajak calon bayinya berbincang. “Tanggal 18 Juli ayahmu kembali dari pekerjaannya di laut. Dan menurut perkiraan dokter sekitar dua minggu kemudian kamu lahir.”

Dahlia menerawang menembus langit-langit, seolah di lengkung langit dia bisa menatap wajah suami tercinta di atas kapal pesiar, bekerja mendulang uang. Tak sadar setetes bening mengaliri pipinya.

“Lia, jangan sedih. Nanti bayimu jadi pemurung,” kata sosok tubuh tua yang berdiri di ambang pintu. Di tangannya terdapat sebuah nampan berisi bubur dan segelas susu.

Dahlia mengusap pipi dengan ujung jilbab birunya. “Lia kangen Mas Dika, Bu.”

Sarimah berjalan pelan ke samping ranjang. Nampan diletakkan hati-hati di atas nakas. “Minum dulu, Lia,” ujarnya sambil menyodorkan gelas. Dahlia meneguknya hingga tandas.

“Apa Lia bisa bertahan sampai Mas Dika pulang, Bu?” nada putus asa memancar jelas dari tiap kata yang terucap. Sarimah tercekat. Susah payah dia menelan ludah yang terasa kesat.

“Kamu bicara apa sih? Tentu saja! Kalian akan jadi keluarga kecil yang bahagia,” Sarimah berpaling mengambil mangkuk bubur untuk menyembunyikan rebak di matanya.

Ponsel kecil di samping bantal bergetar. Dahlia meraihnya dengan tangan kiri. Wajah sendunya berubah merona.

“Assalamualaikum Mas Dika. Iya, Mas, kami semua sehat. Mas gimana? Tidak terkena cuaca buruk kan?” Dahlia menjawab telepon. Sarimah beranjak membereskan keranjang kain di sudut kamar.

Lima menit kemudian Dahlia menutup telepon. Kali ini wajahnya kembali tersaput mendung.

“Ada apa, Lia?” tanya Sarimah yang telah kembali duduk di sebelah Dahlia.

Dahlia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Pemilik kapal menambah jadwal pelayaran. Kepulangan Mas Dika ditunda.”

“Berapa lama?”

“Dua minggu.”

Sarimah menarik tubuhnya lalu mengempaskannya ke sandaran ranjang. Situasi ini sungguh tak nyaman di hatinya. Seandainya dia mampu mengubah keputusan anaknya dahulu.

“Kamu itu punya riwayat hipertensi, Lia. Beresiko sekali jika kamu hamil,” sergah Sarimah kala itu. Dahlia menatapnya dalam-dalam.

“Apa itu artinya menurut ibu aku lebih baik nggak punya anak?” Dahlia memegang tangan ibunya yang mulai mengeriput, menciumnya sesekali.

Sarimah resah. Dia tahu anaknya benar. Seorang perempuan, apalagi telah bersuami, pasti mendambakan hadirnya belahan jiwa. Mereka bahkan bersedia menantang resiko kematian demi buah hati tercinta.

“Tapi....” kalimat Sarimah menggantung di udara. Sebuah pelukan erat dihadiahkan Dahlia untuknya.

“Doakan Lia sehat selalu ya, Bu,” pinta Dahlia.

Sarimah hanya mampu mengangguk.

Bulan keempat kehamilan Dahlia, Sarimah disergap panik. Tekanan darah tinggi Dahlia melonjak. Kelelahan menderanya akibat terlalu bersemangat membersihkan rumah kontrakannya yang baru.

“Dika!” Sarimah menghardik menantunya akibat panik melihat Dahlia. “Mestinya Dahlia jangan dibiarkan kerja yang berat. Dia sedang hamil.”

Andika, lelaki sederhana berkulit bersih yang sedang mengipasi tubuh Dahlia hanya diam. Ingin sekali lidahnya mengajukan pembelaan, tapi dia sadar itu tak berguna. Memulihkan kondisi Dahlia lebih penting ketimbang berdebat.

“Kita bawa Lia ke rumah sakit, Bu,” putus Dika. Syukurlah, kondisi Dahlia segera pulih.

“Bu, tolong ambilkan minum,” suara Dahlia memutus lamunan Sarimah. Gugup perempuan itu meraih air putih di atas nakas dan mengangsurkannya kepada Dahlia.

“Ibu tadi mikirin apa?” tanya Dahlia seusai menyesap air. “Ibu mikirin kondisi kamu, Lia,” Sarimah memilih jujur.

“Kenapa, Bu?”

“Lia, ibu sudah tua. Anak ibu cuma kamu. Kalau ada apa-apa dengan kamu, ibu harus gimana?”

Dahlia hanya diam. Sarimah melanjutkan ucapannya. “Ibu sudah minta pada Dika untuk cari kerjaan lain, jangan kerja di kapal. Kerja sampai berbulan-bulan nggakpulang sementara istri sedang hamil itu kan nggak pantas.”

Dada Sarimah turun naik. Dada Dahlia juga.

“Kehamilan kamu bermasalah, harusnya selalu didampingi suami. Pergi periksa, beli obat, dan lain-lain kan sebaiknya sama suami. Ibu ini sudah tua, bisa apa?” Sarimah melanjutkan bicaranya.

“Jadi ibu merasa keberatan menolong Lia selama ini? Lia terlalu banyak nyusahin?” ada getar dalam suara Dahlia. Kekecewaan perlahan merambati hatinya.

“Bukan begitu, Lia,” sergah Sarimah cepat. Tapi Dahlia telanjur menangis. Hatinya terluka. Ibu kandungnya ternyata merasa keberatan merawatnya. Dahlia mengakui bahwa dia dan suaminya masih memerlukan bantuan dari ibunya. Andika baru diterima bekerja di sebuah perusahaan pelayaran berkat rekomendasi seorang kerabat setelah sebelumnya bekerja serabutan untuk membiayai hidup. Dahlia sendiri tak bekerja. Kegiatannya sehari-hari hanya membantu ibunya menjaga sebuah toko kelontong peninggalan almarhum ayahnya.

Sarimah bangkit berdiri. “Ibu tinggalkan kamu sebentar, Lia. Mungkin kamu perlu waktu untuk menenangkan diri.”

Belum sampai kakinya melangkah ke ambang pintu, telinga Sarimah mendengar suara mengaduh. Ketika dia menoleh ke belakang, dilihatnya Dahlia tengah memegangi kepalanya. Sarimah berbalik.

“Lia, kenapa kamu? Kenapa?” Sarimah panik berusaha menenangkan Dahlia yang memukul-mukulkan tangannya ke kepala.

“Sakit, Bu! Sakit sekali!”

Sebentar kemudian tangan Dahlia beralih ke arah perutnya. “Sakit, Bu! Perutku juga sakit!”

Sarimah dilanda kepanikan. Gugup dia berlari ke arah pintu depan dan memanggil Nurdin, pemuda tetangga yang membantu menjaga toko ketika Dahlia mulai sakit-sakitan.

“Din! Nurdin! Bantu aku bawa Dahlia ke rumah sakit,” perintahnya panik. “Pinjam mobil pak Lurah!

***

Rumah sakit sore itu tampak lengang. Sejak tadi siang gerimis kecil membasahi tanah berumput di taman depan bangsal kelas 2. Sarimah termangu di samping ranjang yang terletak dekat dengan pintu keluar. Dahlia tergolek lemas.

Ponsel milik Dahlia bergetar di saku Sarimah. Sarimah menatap nama yang tertera di layar: Suamiku. Sarimah beranjak ke luar kamar. Tak dihiraukannya tatapan Dahlia.

“Kau bisa pulang secepatnya, Dika?” tanpa menjawab salam Sarimah berkata lugas. Tangannya meraih pintu dan menutupnya.

“Kontrak kerjaku sebulan lagi, Bu. Ada apa, Bu?”

“Istrimu masuk rumah sakit, Dika!” jelas Sarimah. “Dia bisa meninggal kapan saja.”

“Astaghfirullah! Gimana keadaan Lia, Bu?”

“Buruk. Dokter bilang hipertensi Dahlia sudah cukup tinggi, sudah di atas 180/110 mm Hg. Kehamilan ini berbahaya bagi Dahlia. Sebaiknya digugurkan saja!”

Suara di seberang terdengar kaget. Sarimah pun demikian, tak menyangka dia bisa mengucapkan kalimat itu.

“Anak ini anugerah buat kami, Bu. Kami sudah menunggunya selama lima tahun.”

“Apa artinya jika itu membahayakan nyawa Dahlia,” Sarimah histeris.

Baik, Bu. Lusa kapal ini akan bersandar ke Sabang. Aku akan minta izin pada pemilik kapal untuk turun.

Sarimah menghela napas. “Naik pesawat. Ibu akan kirim uang ke rekeningmu.”

Sarimah menutup telepon. Sesudah menenangkan diri, dia masuk ke dalam ruangan. Matanya membelalak.

“Dokter!!”

Seorang perawat sigap mendorong brankar. Tubuh lemah Dahlia terbaring di atasnya. Hidungnya dipasangi alat bantu pernapasan. Seorang dokter mengiringi.

“Tekanan darahnya naik lagi,” kata dokter menjelaskan. Sarimah meremas ujung jilbabnya cemas.

“Ibu tunggu di luar ya,” seorang perawat gegas menutup pintu ketika mereka sampai di ruang tindakan.

Sarimah duduk kalut di bangku tunggu. Berulangkali dia menghapus airmata yang hendak jatuh.

“Ya Allah, selamatkanlah Dahlia,” pintanya dengan mata memejam.

Pintu ruang tindakan terbuka. Dokter keluar dengan wajah prihatin. Batin Sarimah ciut.

“Mana suaminya Ibu Dahlia, Bu?” tanya dokter sambil melirik ke samping Sarimah. Sarimah menggeleng.

“Kerja di luar pulau, Dok. Ada apa? Boleh dibicarakan dengan saya saja? Saya ibunya,” suara Sarimah serak menahan tangis.

“ Ibu Dahlia mengalami komplikasi. Tekanan darah tingginya semakin naik. Kami tidak berani memberi obat-obatan untuk mengatasi tekanan darahnya sebab akan berpengaruh pada janin.”

“Ja..jadi bagaimana, Dokter?”

Dokter separuh baya itu mendesah. “Untuk menyelamatkan si ibu, pilihan lain adalah mengakhiri kehamilan.”

Sarimah terperanjat. “Menggugurkan kandungan?”

Dokter menggeleng. “Melahirkan si bayi saat ini juga. Usia kehamilan Ibu Dahlia saat ini memasuki bulan ketujuh, peluang untuk bertahan hidup cukup besar.”

“Se..sebentar, Dok, saya telepon suaminya dulu,” pinta Sarimah. Dokter mengangguk maklum dan menunggu.

“Halo, Dika, kondisi Lia gawat!” Sarimah terbata bicara pada menantunya.

“Ya Allah! Gawat gimana, Bu,” suara di seberang terdengar tak kalah panik.

“Dokter bilang untuk menyelamatkan nyawanya, kehamilan Dahlia harus dihentikan.”

“Bu, aku mau bicara pada dokternya!”

Sarimah memberikan telepon pada dokter. Mereka berbicara serius. Dokter menyerahkan kembali ponsel pada Sarimah.

“Apa keputusanmu, Dika?” Sarimah bertanya cemas. Dia sungguh berharap kalau Dika akan memilih menyelamatkan Dahlia.

“Selamatkan Dahlia lebih dulu, Bu.”

Sarimah menghela napas lega luar biasa. Menatap Dokter di hadapannya dengan tatap penuh harap. Dokter mengangguk mantap.

***

Sepasang kaki memasuki pelataran tanah pemakaman yang sunyi. Pada sebuah kubur yang masih merah dia berhenti. Sepasang tangan membelai nisan yang dingin. Sebuah nama tertera:

Dahlia Mariana

Lahir: 16 Juni 1985

Wafat : 07 Mei 2013

Andika berjongkok di samping makam, meremas daun tanaman kamboja yang baru ditancapkan. Matanya basah merah. Tangannya terangkat ke udara.

Di luar areal pekuburan mata Sarimah juga basah. Teringat dia ucapan terbata-bata Dahlia yang berkeras agar bayinya diselamatkan.

“Aku mohon, Bu, aku mohon! Meski nyawaku jadi taruhannya, izinkan aku menjadi seorang ibu.”

cerita-cerita lain bisa dibaca di http://attarsandhismind.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun