Mohon tunggu...
Info UM Bandung
Info UM Bandung Mohon Tunggu... Penulis - Bandung

Bandung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Akademisi UM Bandung: Tafsir Al-Quran Harus Konsisten untuk Menjaga Kemurnian Akidah

1 November 2024   09:32 Diperbarui: 1 November 2024   09:41 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi UM Bandung.

Bandung - Seminar "Living Al-Quran: Kajian Tafsir Al-Quran dan Problematika Dakwah Islamiyah di Barat" yang diadakan di Auditorium KH Ahmad Dahlan UM Bandung pada Jumat, 25 Oktober 2024, membahas pandangan Muhammadiyah dan Ahmadiyah dalam menafsirkan Al-Quran. Acara ini menghadirkan berbagai pandangan terkait metode dan prinsip-prinsip dalam tafsir Al-Quran, terutama yang menyangkut aspek akidah.

Wakil Dekan Fakultas Agama Islam UM Bandung Cecep Taufikurrohman MA PhD menjelaskan bahwa perbedaan tafsir antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah bukan hanya soal cabang ibadah (furu'iyyah), melainkan telah masuk ranah akidah (ushul al-aqidah), yang jika salah arah dapat membawa pada kekufuran.

 Alumnu Universitas Al-Azhar Mesir ini menekankan pentingnya konsistensi dalam prinsip akidah agar umat tidak menyimpang.

Salah satu kekeliruan yang dikritisi adalah cara Ahmadiyah menerjemahkan Al-Quran ke dalam berbagai bahasa. Wakil Dekan FAI yang akrab disapan Buya ini mengungkapkan bahwa beberapa terjemahan Ahmadiyah dianggap menyimpang dari pemahaman Islam yang lazim. 

Misalnya, penafsiran tentang "khataman nabiyyin" yang mendukung keyakinan Ahmadiyah terhadap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Masih Al-Mau'ud yang bertentangan dengan keyakinan mainstream dalam Islam.

Lebih lanjut, Buya juga menyoroti bahwa metode terjemahan Ahmadiyah sering kali tidak langsung merujuk pada teks Arab, tetapi melalui terjemahan bahasa Inggris atau Urdu. Hal ini, menurut Buya, bisa menimbulkan distorsi makna dan ketidaksesuaian dalam konteks yang seharusnya dijaga secara ketat dalam ilmu tafsir.

Dalam pendekatan metodologis, Buya mengkritik bahwa Ahmadiyah tidak konsisten dalam merujuk hadis-hadis utama yang sudah diterima luas di kalangan umat Islam. Mereka cenderung mengacu pada interpretasi yang sesuai dengan pandangan internal mereka, tanpa mengikuti kesepakatan (ijma') ulama. 

Sebagai contoh, tafsir Ahmadiyah tentang kematian Nabi Isa dinilai tidak memiliki dasar kuat dalam hadis.

Buya juga menyoroti perbedaan konsep kenabian dalam Ahmadiyah, yang menganggap kenabian belum berakhir dengan Nabi Muhammad SAW, tetapi sekaligus menegaskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah utusan sebagai Al-Masih. 

Klaim ini, menurut Buya, bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama yang menyatakan kenabian telah ditutup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun