Berbicara tentang pendidikan, saya jadi teringat dengan kutipan dari sebuah film berjudul Hall of Fame: The Make Over yang kurang lebih begini bunyinya “you can take everything away for me but you can’t take my education” film tersebut menceritakan tentang seorang perempuan (diperankan: Julia Stiles) yang bergelut dalam persaingan politik demi meloloskan sebuah Undang-Undang di Amerika Serikat untuk memberikan fasilitas yang menunjang di setiap sekolah bagi anak-anak dengan berkebutuhan khusus. “Siapa saja kapan saja bisa mengambil harta yang kita miliki, harta-benda, anggota keluarga, atau apapun dari kita, tapi siapa pun di dunia tidak dapat mengambil pendidikan dari diri seseorang.”
Mencermati sekilas dari kata-kata di atas jika direnungkan, saya jadi tersadar bagaimana pendidikan itu begitu asasi bagi seorang manusia, dan bagaimana pendidikan bisa menjadi modal dasar bagi seseorang dalam menata kehidupannya hari ini dan di masa yang akan datang. Hal tersebut juga ditegaskan dalam amanat Undang–Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional yaitu:
“Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.”
Lantas, bagaimana dengan pendidikan kita saat ini, sudahkan pendidikan menjadi yang asasi bagi setiap orang? Fakta di sekeliling kita menunjukkan bahwa walau pemerintah telah mewajibkan pendidikan 9 tahun dengan menggratiskan pendidikan di sekolah dari jenjang SD sampai SMP dan bahkan di beberapa daerah telah ada yang sampai 12 tahun sampai ke jenjang SMA, namun nyatanya masih banyak anak yang putus sekolah. Menurut data Balitbang Depdiknas 2004, angka putus sekolah atau drop-out di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak, yang berhasil lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs dan putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang1.
Walau pemerintah telah membebaskan biaya iuran sekolah, namun dalam segi pengadaan buku serta fasilitas penunjang lainnya masih dibebankan pada siswa. Bagi kelompok menengah ke atas hal tersebut bukanlah sebuah permasalahan, namun berbeda bagi mereka yang berasal dari kelompok miskin yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit. Berdasarkan laporan Education for Al Global Monitoring Report yang diliris oleh UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia rendah. Indonesia berada di tingkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index, yang kalah dari Malaysia di urutan 65 dan Brunai 34. Data pendidikan tahun 2010 menyebutkan 1,3 Juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah2.
Melihat kondisi pendidikan saat ini, permasalahan yang sebenarnya tidak hanya terletak pada sekolah berbayar saja, namun bila diurai maka setiap elemen dalam masyarakat ini mau tidak mau akan ikut tersangkut. Kondisi di masyarakat, keadaan sosio-ekonomi-politik, dan faktor budaya tak jarang jadi kendala majunya pendidikan di negeri ini. Dapatkah visi ‘education for all’ atau ‘pendidikan untuk semua’ direalisasikan? Dapatkah kita mengejar ketertinggalan kita dalam segi pendidikan dari negara-negara lain? Banyak orang yang skeptis dengan ini, namun saya masih memiliki sebuah visi dan keyakinan jika konsep education for all ini dapat berjalan dengan baik jika setiap elemen di negeri ini tidak hanya pemerintah turut andil dalam peningkatan pendidikan kita. Visi ini dapat terwujud apabila kita dapat merupah persepsi kita tentang pendidikan sebagai sebuah investasi nasional, setiap orang di Indonesia minimal mereka akan memiliki harta pendidikan dalam dirinya yang tidak akan pernah habis sampai waktu kapan pun.
Pemerataan pendidikan menurut Schiefelbein dan Farrell3 terdiri dari beberapa komponen, meliputi kesetaraan dalam memperoleh kesempatan yang sama untuk masuk sekolah; Memperoleh perlakuan yang sama saat belajar sampai dengan lulus; Memperoleh manfaat dari pendidikan yang siswa ikuti dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan padangan di atas menunjukkan bahwa pemerataan pendidikan tidak hanya sampai pada dibukanya akses pendidikan bagi semua orang, namun juga ditekankan tentang penjagaan dari kualitas pendidikan itu sendiri. Selama ini pendidikan kita terlalu fokus pada pengejaran target nilai-nilai tes dan cenderung mengabaikan proses. Setiap orang sekarang berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai terbaik dalam ujian atau untuk masuk perguruan tinggi, dan cenderung mengebaikan sisi subtil pendidikan di sekolah yakni menarik kebermaknaan dari apa yang telah dipelajarinya.
Sekolah berkewajiban untuk memberikan fasilitas pendidikan dan kualitas pengajaran yang baik, dimana setiap anak dapat belajar dari situasi dan kondisi yang kondusif. Pengalaman belajar siswa di sekolah idealnya dapat membuat siswa di untuk dapat memahami dirinya, hakikat keberadaannya, dan bentuk peran apa yang akan diambilnya untuk lingkungan, masyarakat, dan bagaimana ia dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakannya di hadapan Tuhan.
Berbagai peristiwa dan fenomena di berbagai belahan dunia dari setiap periode perkembangan peradaban manusia menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting sebagai landasan berpijak berkembangnya sebuah perdaban. Sejarah menunjukkan peradaban-peradaban maju ditopang oleh pendidikan yang maju pula, seperti saat peradaban Islam mengalami kejayaan, beberapa kekhalifahan seperti Umayah, Fatimiyah, Abbasiyah, Umayah Kordova (Spanyol), dan Turki semuanya memiliki perhatian yang lebih terhadap pendidikan. Pada saat bangsa-bangsa Eropa sedang mengalami kemunduran pada zaman kegelapan antara abad ke 4 sd 14 M karena berada di bawah dominasi gereja, fajar peradaban Islam terbit sejak abad ke-7 dan semakin meluas dengan konsep pendidikan yang merata dan mendorong kreatifitas dan daya cipta manusia untuk mengembangkan pengetahuan. Beberapa filsup terkenal dari Muslim seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dsb. menjadi bukti bahwa pendidikan sangat penting bagi kemajuan sebuah umat.
Pendidikan Indonesia dapat bangkit apabila segala bentuk gagasan ideal pendidikan tidak hanya menjadi wacana belaka, setiap gagasan ideal itu harus berwujud dengan aksi-aksi yang nyata. Sebagai seorang pendidik saya berpendapat bahwa peran ini dapat dimulai oleh para guru dengan memberikan pengalaman-pengalaman belajar yang menarik dan dapat mendorong atau memotivasi siswa untuk dapat menemukan karakteristik dan minatnya. Sekolah dapat menjadi pintu pembuka bagi setiap individu dari berbagai kelompok dan kalangan untuk mendapat kesempatan yang sama untuk sukses dan maju. Namun, semua gagasan di atas tidak dapat terwujud ketika siswa sulit untuk sekedar datang ke sekolah. Ketika sekolah terkomersialisasikan dan pendidikan yang berkualitas seolah hanya jadi milik mereka yang berada. Konsep semacam ini harus dihapus, bahwa negara dibantu dengan partisipasi dari berbagai elemen masyarakat dapat mewujudkan dan merealisasikan pendidikan yang berkualitas dengan segala penunjangnya bagi setiap anak-anak Indonesia dari berbagai kelompok sosial untuk memperoleh pendidikan. Kemiskinan dan ketidakmampuan secara finansial seharusnya tidak menjadi kendala bagi seorang anak untuk dapat memperoleh akses terhadap pendidikan.