Mohon tunggu...
Atra Senudin
Atra Senudin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tidak semua kegagalan memberi hikmah untuk hidup. Kegagalan hanya menjadi sebuah pengalaman, sejarah. \r\nsejarah bukan untuk diratapi, tetapi untuk dipelajari. setidaknya hari ini lebih baik dari kemarin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengawini Sepi

20 April 2013   20:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:53 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cintanya masih saja mekar. Pancarannya menawan dari pelupuk mata. Juga agung dari balik hatinya yang teduh. Ia masih saja diam.  Bibirnya terkatup rapat, pita siaranya terkunci. Hanya sesekali ia tersenyum lewat matanya yang teduh.
Pencarian  belum juga selesai. Apalagi setelah cinta itu berusaha dikuburnya dalam sepi.  Tak ada jawaban lagi untuknya. Mungkin hanya bersama sepi ia merajuk kebersamaan.  Bersama dalam sepi adalah keabadian. Kegaduhan tak lagi dirisaukannya. Apalagi hiruk pikik tentang harga bawang, tak bisa mengusiknya sedikit pun.
Prosa selalu menyediakan makna terdalam, katanya. Juga puisi masih memikat.  Sebab kerjaan para penyair telah menghipnotisnya untuk terus bermelankolis.  Apalagi ia merasa puisi-puisi sang penyair telah bercerita  mewakili seluruh pengalamannya. Mendayu-dayu  dan beromantika mengenang suatu masa.  Masa yang telah merampok hampir seluruh cerita hidupnya. Tentang cinta yang tak terbalas.

Namun kali ini ia memberanikan diri tuk menyapa para filsuf.  Dengan pikiran-pikirannya yang menggelitik. Melihat dunia ini sejak ia berada dalam kandungan. Bahkan telah diprediksi  akhir dari perjalanan hidup. Ia menggauli setiap teori. Mengawini setiap pemikiran dengan pengalaman. Mengurai  dengan bahasanya sendiri untuk kemudian disimpulkan. Bukan untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya dan sepi.

Batin bergejolak mencari jawaban.  Tentang  cinta yang masih saja mekar. Pada siapa dan untuk siapa, ia berusaha tuk tidak bergeming.  Akal semakin terombang-ambing. Pemikiran-pemikiran telah membuka wawasannya.  Puisi-puisi telah mendamaikan hatinya. Tetapi tetap saja bibirnya terkunci.

Ia tidak lelah tetapi  memutuskan berhenti.

“Mengapa harus membiarkan akal terombang-ambing  menyoalkan harkat ke-kita-an dalam harkat ke-aku-an?”

Ia tertidur bersama sepi.  Dan malam menghadirkan mimpi; Ia mengawini sepi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun