Mohon tunggu...
The Story I Want to Tell...
The Story I Want to Tell... Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer | Pemerhati

Puisi, surat, cerita, dan syair

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Fana adalah Waktu

12 Februari 2015   00:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:23 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernahkah kau merasa sangat bahagia hingga kau merasa ingin menghentikan waktu? Atau pernahkan kau merasa sangat sedih hingga ingin segera menghabiskan waktu? Ketika bahagia ada di depan, waktu menundanya hingga kau putus asa. Ketika kesedihan ada di depan, waktu pun menundanya hingga kau hanyut dalam kebahagiaan, lalu terhempas kenyataan yang dibawa oleh waktu. Ini akan kuceritakan padamu sebuah romansa yang menyangkut waktu dan kebahagiaan semu.

***

Tepatnya tiga tahun lalu Si Asno mengenal seorang perempuan yang cantik, baik, kaya, dan hebatnya lagi dia pun tergila-gila sama Si Asno yang cuma anak orang miskin, doyan nimbun utang, tampang pas-pasan pula. Asno memang cerdas walau agak malas. Kalau enggak cerdas, dia enggak akan masuk universitas yang luasnya mirip satu kelurahan. Saat itu karena kecerdasannya, Asno langsung mendapat kepercayaan dari temannya yang jadi "orang" di kampus itu untuk jadi seorang pejabat sehingga kenal banyak orang, termasuk si Iar yang akhirnya jadilah kekasihnya.

Betapa Asno tahu ia tidak berhak berharap memeluk rembulan saat itu. Iar, walaupun sudah menjadi kekasihnya, terasa sangat jauh di awang-awang untuk digapai. Kantong Asno tipis setipis televisi zaman sekarang. Buat makan saja harus mengirit, bagaimana mau traktir Iar makan, pikirnya. Namun, Iar bukanlah perempuan biasa. Iar memang baik, kekurangan Asno mampu ditutupinya hingga benar-benar tertutup. Asno bagaikan Jaka Tarub yang berhasil menyunting seorang bidadari. Begitu sempurna hidup Asno.

Yang fana adalah waktu

Kita abadi

***

Aku berpikir kembali tentang waktu yang memang fana. Akan habislah ia, tak peduli seberapa kuat kita berusaha mempertahankan agar waktu tetap di tempat yang kita sukai, ia takkan pernah peduli. Kitalah yang abadi, abadi dalam bahagia atau abadi dalam penyesalan. Lalu terlambat menyadari, dan waktu telah jauh meninggalkan kita.

***

Di kota yang sangat ramai itu, Asno berbaring kelelahan. Di sampingnya Iar juga berbaring, bernapas perlahan, tidak bersuara. Hanya dadanya naik-turun menandakan tidurnya yang damai. Betapa gembira hati Asno membayangkan gadis di sampingnya bahagia bersamanya, dalam kamar sempit tanpa jendela itu. Esok akan menyenangkan, pikir Asno. Ia melupakan hal penting, bahwa waktu akan sangat kejam, menebas siapa pun yang lengah. Terlalu asyik dengan kebahagiaan adalah kebodohan diri dalam menyikapi kejamnya waktu.

Tanpa sadar Asno mulai membayangkan hidup di masa depan. Membayangkan Iar yang ia cintai tersenyum menyambutnya dalam rumah kontrakan yang sempit dan pengap, namun penuh cinta. Membukakan pintu untuk tamu-tamu yang datang untuk membicarakan pekerjaan ataupun sekadar melepas rindu. Ah, betapa kejam waktu membuat Asno berkhayal seindah itu, tanpa kepastian akan terjadi atau tidak.

Ceritanya, Asno pergi ke toko mas hari ini. Hatinya sudah mantap. Uang hasil bekerja seminggu penuh akan ia belanjakan untuk sebuah cincin mas putih dengan setitik berlian, untuk Iar, kekasihnya. Asno sudah membulatkan tekad untuk mengelabui waktu, mendahului siapa pun yang bersekongkol dengan waktu merebut Iar darinya. Maka ditatapnya toko mas itu dengan penuh percaya diri.

***

Lupakanlah dulu kebahagiaan Asno, kita tengok Iar. Betapa bahagianya Iar ketika lelaki itu kembali menyapanya lewat alat komunikasi jarak jauh. Matanya berbinar seakan menemukan seorang yang layak untuk diajak berbagi hidup menjalani waktu. Iar sibuk bercengkrama dengan gadget lebarnya. Menyentuh-nyentuh layarnya dengan semangat.

***

Nun jauh di Lebanon sana, lelaki berperawakan kecil dan bulat pun sedang tersenyum sendiri sambil menatap layar ponsel kecilnya. Ah, betapa kejam jarak memisahkan keasyikan dunianya dengan kekasih tambatan hati. Pada akhirnya, lelaki itu mengirimkan pesan pamungkasnya,

saat aku pulang nanti, aku ingin menikahimu.

Di Indonesia, seorang gadis tercengang membaca pesan yang dikirimkan kekasihnya. Menikah? pikirnya. Dengan tangan bergetar ia kembali menyentuh layar gadget mahalnya dan menulis,

aku sangat bahagia membaca pesanmu. Selesaikan saja dahulu pekerjaanmu, lalu pulang dan bawalah aku ke pelaminan.

Si lelaki kembali menjawab,

Aku akan segera pulang,tak sabar untuk menyatakan rasa cintaku di hadapan orang tuamu. Tunggu aku, Iar.

***

Lunas sudah cincin mas itu dibeli oleh Asno. Kerja kerasnya selama seminggu terbayar dengan kebahagiaan semu. Membayangkan dirinya memberikan cincin itu sambil berkata, menikahlah denganku, Iar, lalu Iar menjawab dengan anggukan dan mata yang berlinang. Ah, betapa kejam waktu membuat seorang lelaki pas-pasan itu membayangkan kebahagiaan di masa depan yang belum tentu terjadi. Kejamnya waktu membunuh perlahan harapan seorang lelaki untuk mendapat kebahagiaan.

Asno tersenyum, lalu dilihatnya ponselnya yang berdering. Ada SMS, dari Iar. Hatinya berdegup kencang.

Besok ketemu, ya, aku mau ngomong sesuatu.

***

Sungguh aku tak tega meneruskan cerita ini, betapa waktu membunuh Si Asno, betapa kejam dan sadis. Biarlah pembaca yang budiman membayangkan sendiri bagaimana nasib Asno selanjutnya. Betapa khayalan bisa sangat membuatmu tersiksa dengan kebahagiaan. Lalu waktu akan menjadikannya tragedi yang memilukan.

* Judul Cerpen terinspirasi oleh judul puisi Sapardi Djoko Damono, "Yang Fana Adalah Waktu" (1978)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun