Berhembus kabar, pemilihan kepala daerah bakal dilakukan oleh anggota DPRD di wilayah masing-masing. Artinya tak ada lagi pemilihan secara langsung seperti yang kita lihat atau ikuti beberapa tahun terakhir ini. Berbagai respon bermunculan. Ada pro, ada kontra. Acara televisi sarat dengan ulasan mengenai hal ini. Para pakar menyampaikan pertimbangannya, para pengagas menjelaskan dasar pemikiran gagasan tersebut. Publik terhimpit persepsi. Saya menyampaikan beberapa catatan:
Pertama, pilkada tak langsung merupakan bagian dari perjuangan politik sekelompok orang atau organisasi politik yang tak legowo dengan keterpilihan Jokowi sebagai presiden. Seperti yang telah kita ketahui, partai-partai yang tak mendukung Jokowi dalam pilpres beberapa waktu lalu berkomitmen untuk meneruskan ‘perlawanan’ di legislatif. Dan gagasan ini merupakan salah satu bentuknya. Mengapa? Ada semacam ketakutan Jokowi akan menguasai seluruh pilkada bila nanti memerintah. Bukan dengan cara-cara tak beretika politik melainkan dengan cara elegan yaitu pengaruh personalnya. Dengan mengusung orang yang kinerjanya memikat hati rakyat, partai-partai pendukung Jokowi akan memenangkan seluruh gelaran pesta demokrasi rakyat. Indikasinya bisa kita lihat dalam hasil pilpres Juli lalu. Jokowi menang di 22 dari 33 propinsi yang ada. Memang pilkada tak sama dengan pilpres namun cara kerja Jokowi akan memberikan kontribusi besar terhadap figur yang diusung oleh partai-partai pengusungnya. Apalagi diisukan dua partai dalam koalisi merah putih akan bergabung dengan pemerintahan. Pilkada tak langsung, Jokowi effect?
Kedua, pilkada tak langsung merupakan upaya memotong partisipasi langsung dalam pemerintahan. Kita semua tahu, pada saat pilkada, rakyat berbondong-bondong menyalurkan hak politiknya. Bisa dengan menjadi timses salah sati kandidat atau dengan mendatangi TPS pada hari H. Ini terjadi oleh karena para petarung politik yang mereka dukung memiliki kedekatan emosional. Mungkin ada di antara mereka yang maju dalam pesta rakyat daerah itu berasal dari kampung yang sama dengan rakyat. Atau mungkin kerabat mereka sendiri. Hal-hal semacam ini kan tidak ditemui dalam pilpres. Di atas semuanya itu, rakyat berpartisipasi oleh karena merasa bertanggung jawab dengan kemajuan daerahnya. Itu sebabnya mereka ramai-ramai mendukung calon yang menurut mereka paling pantas memimpin. Nah, bila nanti tak ada lagi pilkada langsung, otomatis suara rakyat diwakilkan oleh anggota legislatif daerah. Memang para anggota DPRD ini merupakan pilihan rakyat juga, tetapi pilkada berbeda secara signifikan dengan pileg. Ada orang yang pada saat pileg memilih si A namun pada saat pilkada bisa saja ia memilih kandidat yang tak didukung oleh si A yang dipilihnya pada saat pileg. Sekali lagi, ini tentang ketokohan. Artinya, kandidat kepala daerah yang dipilih oleh parlemen belum tentu merupakan kandidat yang diinginkan rakyat daerah tersebut. Hal ini akan berimplikasi pada partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Masyarakat cenderung bersikap acuh tak acuh. Maka pengagwasan terhadap pemerintahan daerah pun menjadi lemah alias tak mendapat dukungan rakyat.
Ketiga, pilkada tak langsung merupakan keberlanjutan siklus orde baru. Tak semua tentang orde baru itu jelek. Ada banyak hal yang perlu diteruskan dalam masa reformasi. Selama orde baru, kita tak mengenal pemilihan langsung, baik legislatif, kepala daerah, apalagi presiden. Hal ini menyebabkan hanya orang-orang yang dekat dengan kekuasaan saja yang menguasai legislatif dan pemerintahan. Dalam perspektif demokrasi, kenyataan ini merupakan sesuatu yang tidak konstruktif dan sebenarnya tak perlu diteruskan. Maksud saya, pilkada tak langsung merupakan pengulangan kembali sesuatu yang pernah terjadi dimana sesuatu itu tak baik bagi pembangunan demokrasi. Untuk apa mengulang kembali hal semacam ini? Bukankah ini sama dengan melanjutkansiklus orde baru?
Keempat, pilkada tak langsung menutup kesempatan orang yang berkarya untuk memimpin daerahnya. Sekarang ini di seluruh penjuru Nusantara telah lahir orang-orang yang berkarya untuk bangsa dan negara Indonesia di daerah mereka masing-masing meski tak mendapat sorotan media. Mereka mengabdi dengan tulus. Orang-orang seperti ini perlu mendapat kesempatan di pemerintahan, tentu sesuai prosedur yang ada saat ini, agar dapat berkarya lebih luas. Namun, kesempatan itu akan tertutup bilamana pilkada tak langsung jadi diberlakukan. Kesempatan tersebut akan direbut oleh orang-orang berkantong tebal meski minim atau bahkan tak ada karya pengabdian sama sekali. Apa artinya ini? Artinya pembangunan daerah menjadi terhambat. Sebab bukan rahasia lagi, orang-orang berkantong tebal (tak semua) cenderung money oriented. Mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi, golongan, dan organisasi mereka ketimbang kepentingan bangsa dan negara. Karena itu, orang-orang seperti ini, sebetulnya, tak perlu diberikan kesempatan untuk memimpin. Mereka hanya akan menjadi parasit negara.
Kelima, pilkada tak langsung sama dengan mempertahankan politik transaksional. Bila pilkada tak langsung jadi dilaksanakan, keran politik transaksional yang telah dibuka selama ini akan semakin terbuka lebar. Politik tranksaksional akan mengalir tanpa hambatan. Rancangan sehebat apa pun untuk bangsa dan negara yang dipunyai oleh orang-orang hebat tak akan terrealisasi dalam politik transaksional. Kita tahu, politik bagi-bagi kekuasaan merupakan praktek yang buruk dalam demokrasi. Dan hal ini jelas bertolak belakang dengan politik yang diusung oleh pemerintahan yang akan datang.
Para penggagas pilkada tak langsung mengangkat isu biaya sebagai salah satu alasan. Padahal berapa pun biaya yang dikeluarkan untuk suatu pesta rakyat tak sebanding dengan partisipasi masyarakat dalam pesta tersebut. Sebab pilkada langsung tak melulu bicara tentang biaya melainkan tentang partisipasi rakyat pada kemajuan daerahnya. Dan hal ini jauh lebih mahal dan lebih berharga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H