Mohon tunggu...
Daniel Yonathan Missa
Daniel Yonathan Missa Mohon Tunggu... Administrasi - Anak kampung

Saya anak kampung yang kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Refleksi atas Kegagalan Timnas U-19

16 September 2017   10:47 Diperbarui: 16 September 2017   17:04 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelum semi final AFF U-18 2017 digelar kemarin, saya memprediksi Indonesia akan bertemu Malaysia di final. Sang Waktu menghadirkan realita berbeda. Malaysia tiba di final bersua Thailand, sedangkan timnas Indonesia mau tak mau bersua Myanmar untuk memperebutkan tempat ketiga. Lagi-lagi ketiga. 

 Prediksi saya bukan tanpa alasan. Indonesia bermain bagus melawan Vietnam dan Brunei Darrussalam. Pertandingan melawan Thailand pun menjadi bukti kecakapan permainan garuda muda. Ini adalah modal yang cukup untuk melenggang ke final. Sayang Thailand lebih beruntung. 

Apakah keberuntungan merupakan satu-satunya faktor penyebab kekalahan garuda U-19? Tidak! Pengamatan saya menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan serius untuk keperluan di masa yang akan datang, antara lain: 

1. Melupakan esensi sepak bola. 

Saat ini sepak bola menjadi olah raga sejagat karena digemari di seluruh pelosok dunia. Penyebabnya, sepak bola hanya dimainkan oleh tim. Ini kekuatannya. Bukan perorangan. Dan inilah esensi sepak bola: kerjasama anggota. 20 hingga 30 menit awal babak pertama pertandingan kemarin sore, para punggawa muda berhasil menciptakan lebih dari 4 peluang effektif. Lalu mengapa tidak membuahkan hasil? Karena para punggawa muda, terutama yang berhasil menciptakan peluang mendadak lupa akan esensi sepak bola ketika hanya tinggal berhadapan dengan pejaga gawang lawan. Hasilnya: nol!

 2. Aksi individu disaat seharusnya bekerjasama.  

Ketika seorang pemain berhasil membawa bola hingga ke depan gawang dan berpeluang menciptakan gol, saya melihat, ada kecenderungan menonjolkan kemampuan individu ketimbang bekerja sama dengan teman yang berdiri bebas di sisi yang lain dan bisa dengan mudah memasukkan bole ke gawang lawan. Ada pengamat sepak bola yang bilang bahwa aksi individu seperti itu merupakan aksi yang cerdas. Maafkan saya, saya harus mengatakan itu tidak cerdas! Aksi individu boleh saja asalkan telah mengamankan poin yang dikejar atau keadaan memungkinkan hal itu. Tetapi selama posisi belum aman atau keadaan tidak memungkinkan, kerjasama tak bisa ditawar. 

 3. Melakukan kesalahan yang tidak perlu. 

Diusirnya Saddil menjadi bukti hal ini. Tindakan Saddil berbuah kartu merah. Pasti berimbas pada tim. Ada celah yang terbuka lebar. Kenapa Saddil bisa bertindak demikian? Kepastian alasannya hanya Saddil yang tahu. Namun tindakan Saddil tidak perlu ditiru! Seharusnya Saddil bisa meguasai diri demi kepentingan tim. 

 4. Mental eksekusi pinalti perlu ditempa lagi. 

Ada dua pemain yang Indonesia yang gagal mengeksekusi pinalti. Bukan karena tidak bisa menendang bola. Tetapi karena tidak mampu memperdayai kiper Thailand. Keterampilan manipulatif hanya sukses dilakukan oleh orang-orang dengan mental bagus. Tampaknya hal ini perlu ditempa lagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun