Mohon tunggu...
Daniel Yonathan Missa
Daniel Yonathan Missa Mohon Tunggu... Administrasi - Anak kampung

Saya anak kampung yang kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

"Semua Bayar Dua Ribu, Hanya Saya yang Lima Ribu"

5 Juni 2015   14:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:20 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Peristiwa ini terjadi setahun yang lalu. Saya sudah menceritakannya wall akun facebook saya (https://www.facebook.com/danymissa). Namun saya ingin mengisahkannya kembali, di sini.

Saya menumpang Kopaja 57 dari Komseko tujuan Kalibata City. Biasanya, sesaat setelah penumpang duduk / berdiri, kenek [kondektur] akan mendatangi si penumpang yang baru saja naik sambil membunyikan uang logam sebagai isyarat kepada penumpang itu untuk segera membayar ongkos perjalanannya. Tetapi kali ini tidak tampak kebiasaan itu. Entah kenapa. Padahal sebagai penumpang yang baru saja naik, saya sudah mempersiapkan uang kertas pecahan Rp. 2000 untuk saya berikan kepada si kenek, kalau diminta. Di daerahnya Jokowi - Ahok ini, tarif transportasi umum seperti Kopaja dan Metro Mini hanya dikenakan Rp. 2000,- per penumpang untuk satu kal perjalanan jauh atau dekat. Relatif murah.

Saya duduk tidak jauh dari sopir, tepatnya di deret kedua samping kiri si pengemudi. Di depan saya ada seorang bapak yang sedang asyik menelpon sana sini. Dari dialeknya, saya tahu bahwa bapak itu berasal dari daerah tertentu di Jawa. Dan dari isi percakapannya dengan beberapa orang, saya akhirnya tahu bahwa dia baru saja datang ke Jakarta. Saya tidak menggubris si bapak yang ternyata sama seperti saya, sama-sama pendatang.

Beberapa saat kemudian, kira-kira 15 - 20 menit, kami tiba di 'pangkalan' 57 yang berada di seputaran Pusat Grosir Cililitan. Bis mini ini berhenti. Tidak lama. Pengemudi dan kenek diganti oleh pegemudi dan kenek lain. Beberapa penumpang juga naik, lalu perjalanan pun dilanjutkan. Tak lama kemudian si kenek yang baru saja menggantikan kenek yang tadi mulai menagih ongkos perjalanan. Mulai dari belakang ke depan. Setiap penumpang membayar dengan pecahan uang secara variatif, mulai dari 2000 hingga 50.000 seperti yang dilakukan oleh penumpang disebelah saya. Ketika sampai pada penumpang yang ada di depan saya, si bapak yg baru saja datang ke Jakarta, ia membayar dengan uang pecahan 5000 sama seperti seorang ibu, penumpang yang ada di sebelahnya. Uniknya, kondektur hanya memberikan kembalian kepada si ibu. Padahal si bapak juga mengharapkan kembalian. Beberapa kali ia melirik si kondektur, tapi yang dilirik tidak bertindak apa-apa. Lalu si bapak ngomong begini,

"Oh, mungkin ongkosnya lima ribu."

"Tidak, pak." Si ibu yang duduk samping bapak itu berusaha menjelaskan. Tapi bapak itu melanjutkan omongannya,

"Saya memang naik dari Terminal Kp. Rambutan. Jauh..." si ibu memotong,

"Jauh - dekat dua ribu, pak. Minta aja kembaliannya."

"Gak apa-apa, bu. Semua memang membayar dua ribu, hanya saya yang lima ribu", kata si bapak itu dengan logatnya yang khas. Mendegar kata-kata seperti itu, si ibu [dan saya] tertawa. Hati saya berbisik,

"Sindiran cerdas!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun