Persoalan anak merupakan persoalan yang pelik. Tak jarang, orang tua berseteru atau bersikap membenci bahkan antipati, satu sama lain atau terhadap orang lain, karena anak. Pertanyaan bagi kita, jika ada anak dalam rentang usia 0 – 17 tahun melakukan hal-hal yang tidak biasa atau melebihi tindakan anak lain seusianya, pantaskah disebut kurang ajar? Tentu saja tidak! Ok, tidak pantas disebut kurang ajar. Apakah pantas dimarahi?Pantas Bahkan Alkitab bilang harus dihajar. Siapa yang menghajar? Orang lain? Atau orang tuanya sendiri? Mari pikirkan, apa yang terjadi bila orang lain memukul anak kita? Pantaskah kita marah? Pantas! Mengapa? Sebab bila tidak marah, anak akan merasa tidak dilindungi. Dia akan menanamkan ke dalam memorinya bahwa orang tuanya membiarkan dia dipukul orang lain. Jika dia anak berusia 6 – 12 tahun, maka memori tersebut tidak akan dilupakan seumur hidupnya. Meksipun nanti ada perdamaian, dia akan membangun benteng terhadap orang yang memukul dirinya, dan tetap merasa tak dilindungi oleh orang tuanya. Lihat betapa buruknya akibat yang dihasilkan apabila kita memukul anak orang lain. Lalu solusinya bagaimana? Komunikasikan dengan orang tuanya supaya orang tua si anak yang mendidik anaknya sendiri. Hasilnya akan baik dan tidak ada traumatik.
Berdasarkan pengalaman saya, persoalan anak-anak biasanya persoalan yang dimengerti oleh mereka sendiri. Jika orang dewasa turut campur, masalahnya jadi runyam. Lagi pula, apabila orang dewasa/orang tua tidak memberikan kesempatan bagi anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, akan berimplikasi pada banyak hal. Anak akan memiliki self concept yang tidak benar, tidak percaya diri, cenderung suka mengadu, dan tidak mandiri. Saya mengerti, kita sebagai orang tua ingin melindungi anak kita. Tetapi tanpa kita sadari, seringkali, tindakan kita justru kontra produktif dengan perkembangan anak. Ingat, dukungan yang salah hanya akan menjerumuskan anak.
Suatu kali anak saya yang kedua, Dede namanya, terlibat perkelahian dengan teman bermainnya. Sama-sama perempuan. Untuk meredakan situasi, saya menyuruh temannya, namanya Marsha (teman yang paling setia), pulang. Persoalan selesai? Tidak! Dede justru memprotes keputusan saya. Lalu saya menanyakan duduk persoalannya. Hasilnya, saya tidak mengerti. Daripada pusing, saya membiarkan mereka kembali bermain. Tetapi dengan warning tidak boleh berkelahi lagi. Dan mereka tidak berkelahi lagi. Hari itu saja. Sebab beberapa hari kemudian berkelahi lagi. Dan itu biasa. Anak-anak memang begitu. Meskipun mereka berkelahi hingga dalam pandangan kita sangat menyedihkan tetapi kemudian mereka akan saling merindukan.Anak-anak bukanlah orang dewasa. Itu sebabnya Tuhan Yesus memerintahkan kita supaya menjadi seperti anak-anak. Ketika ada persoalan, tidak mendendam sebaliknya saling merindukan; saling memaafkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H