Mohon tunggu...
Daniel Yonathan Missa
Daniel Yonathan Missa Mohon Tunggu... Administrasi - Anak kampung

Saya anak kampung yang kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rahim Pengganti

28 Agustus 2014   18:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:17 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak kurang dari dua bulan lalu saya berjumpa kembali dengan sepupusaya yang telah 13 tahun tidak saling bersua. Kami memiliki family name yang sama: Missa. Terakhir bertemu, dia tercatat sebagai siswi kelas 2 di salah satu Sekolah Dasar di kota dimana saya dibesarkan, SoE, Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Secara pragmatis, situasi demikian merupakan momentum yang sarat dengan cerita. Saya memanfaatkan pertemuan ini untuk mengetahui kerabat dekat yang tinggal di kampung Bapak, desa Kokoi. Dan karena dia dekat dengan mereka, maka saya banyak bertanya tentang keadaan mereka. Dia pun tak keberatan menceritakannya kepada saya.

Pada kesempatan itu, saya juga menanyakan kabar seorang kakak sepupu yang pernah tinggal di rumah dan merawat kami ketika kami ketika masih remaja. Fince namanya.

“Kak Fince sudah menikah. Atoni nako hit kuan”, dia menjelaskan dalam uab meto. Kesan sopan santun khas Atoni Meto begitu terasa. Meski umurnya jauh di bawah saya tetapi tutur katanya dalam bahasa lokal mencerminkan kesopanan. Mungkin karena dia tinggal di kampung dan dekat dengan orang-orang tua atau mungkin juga karena jauh dari pengaruh globalisasi.

“Oh, leko. Anaknya sudah berapa orang?” tanya saya bersemangat. Saya berusaha menanggapi omongannya dalam bahasa daerah Timor Amanatun, walau bahasa pasar. Saya tidak ingin dia berpikir bahwa saya telah melupakan bahasa ibu Bapak saya sekaligus bahasa keluarga besar saya. Suasana hening beberapa saat. Mimik wajahnya menunjukkan keengganan untuk bercerita. Sepertinya ada sesuatu yang tak ingin diceritakannya. Batin saya berbisik.

“Anaknya berapa orang?” desak saya. Mungkin karena itu, akhirnya dia pun bercerita namun masih dengan nada yang berat.

“Kak Fince tidak ada anak, Kak.” Saya menarik nafas. Inikah yang enggan diceritakannya? Saya memutuskan memberikan kesempatan kepada dia untuk melanjutkan ceritanya. Dan beberapa saat kemudian sambil menghirup nafas,

“Dan suaminya sedang mencari anak nok bife bian.” Raut wajahnya menunjukkan kesedihan. Kaget tak bisa saya sembunyikan. Namun saya paham apa yang dimaksudkannya.

Dalam kebiasaan masyarakat Timor, apabila suatu pasangan menikah tidak mendapatkan anak dalam pernikahan mereka, si pria diperbolehkan mencari anak. Tidak dengan cara yang lazim seperti adopsi. Si pria akan mencari perempuan yang rela tidur dengan si laki-laki tadi tanpa ikatan apa pun. Biasanya perempuan yang dihubungi untuk memberikan keturunan kepada laki-laki tersebut mau karena alasan ‘untuk mencari anak’. Setelah keinginan si laki-laki tercapai, ia dengan bebas meninggalkan perempuan yang menyediakan rahimnya itu dan kembali ke keluarganya. Saya menyebut kebiasaan ini sebagai rahim pengganti.

Sementara istri yang tak tak dapat memberikan anak untuk suaminya, meratapi nasib di rumah. Dari cerita sepupu saya dan informasi yang dengar dari beberapa orang yang tahu tentang hal ini, jauh di lubuk hati istri-istri yang tak memiliki anak ini ingin mengakhiri pernikahan mereka. Sakit hati? Ya! Merasa dikhianati? Iya! Namun ternyata keinginan mereka itu tak bisa terlaksana. Rupanya alasan ‘untuk mencari anak’ cukup ampuh karena terbukti mampu meredam keinginan istri untukbercerai. Pada akhirnya, mereka akan bertindak sebagai babbysitter bagi anak hasil ‘pencarian’ suaminya dengan perempuan penyedia rahim.

Bagaimana pendapat Anda mengenai kasus ini bila dalam perspektif gender? Apakah kebiasaan ini merupakan bentuk lain dari diskriminasi terhadap perempuan? Apakah hak-hak perempuan terjungkal dalam praktek semacam ini? Memang, hal ini merupakan kebiasaan turun temurun dalam masyarakat Timor. Tetapi apakah kebiasaan semacam ini perlu diteruskan atau diwariskan?

Selain itu, sejumlah pertanyaan lain yang tak kalah penting untuk direnungkan adalah: Apakah praktek semacam ini merupakan bentuk lain dari perselingkuhan, upsss tepatnya perzinahan? Apakah bisa dikatakan sebagai perselingkuhan ‘aman’ karena suami dan seolah-olah boleh melakukan hal tersebut karena sepengetahuan istrinya? Apakah para istri yang tak mempunyai anak, entah karena mandul atau tidak sehat, dengan rela atau sangat terpaksa membiarkan suaminya menggauli perempuan lain demi mendapatkan anak? Apakah perempuan pemilik rahim rela harga dirinya diinjak-injak demi laki-laki yang ingin mendapatkan anak? Adakah si laki-laki yang dengan leluasa meniduri perempuan lain dengan alasan untuk mendapatkan anak tidak merasa melakukan penghianatan kultural terhadap istrinya? Apakah hal ini lumrah? Dan apakah ini merupakan resiko yang harus diterima oleh perempuan yang tak bisa hamil itu?

Bukankah dalam banyak kasus, ada suami yang tak bisa mendapatkan anak meski telah menemukan rahim pengganti?! Apakah ini berarti si perempuan pemilik rahim ternyata juga tak bisa hamil? Belum tentu! Sebab tidak semua perempuan bisa menjadi penyedia rahim. Yang saya ketahui, perempuan penyedia rahim bukanlah yang masih gadis, melainkan yang telah menjanda dan mempunyai anak. Artinya, keadaan tidak bisa memberikan keturunan bukan persoalan gender melainkan terkait dengan kesehatan organ reproduksi perempuan dan laki-laki. Bilamana suatu pernikahan tidak mendapatkan anak meski telah bertahun-tahun bersama, maka yang perlu melakukan medical check up bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Sebab kenyataannya, ada laki-laki yang memangtak bisa memberikan keturunan dalam arti sel spermatozoanya tak bisa membuahi sel telur istrinya. Kalau sudah begini, masihkah menyalahkan perempuan?

Bagaimana kalau setiap istri yang tidak mempunyai anak dalam pernikahannya juga menjalankan kebiasaan tersebut, mencari sel sperma pengganti demi mendapatkan anak?!

Kamus:

Amanatun: salah satu wilayah kefetoran pada masa penjajahan sekaligus rumpun suku di Timor

Atoni : Laki-laki/orang

nako : dari

hit : kita

kuan: kampung

uab: bahasa

Meto: Timor

leko: baik

nok: dengan

bife : perempuan

bian: lain

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun