Mohon tunggu...
Daniel Yonathan Missa
Daniel Yonathan Missa Mohon Tunggu... Administrasi - Anak kampung

Saya anak kampung yang kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Dampak Mengatakan Anak “Bodoh!”

27 Agustus 2014   03:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:26 1990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin, kita sering atau pernah mendengar ungkapan “kamu bodoh” atau “bodoh lu” atau dalam dialek Timor, “lu pung bodok lai” atau “lu pung ngali lai”. Bahkan mungkin kita pernah mengucapkan kata-kata tersebut. Ungkapan ini memang tidak jarang ditemui, baik di rumah maupun di sekolah. Biasanya kata-kata ‘kamu bodoh’ diucapkan untuk menggambarkan kondisi peserta didik, baik secara individu maupun berkelompok. Karena sering diucapkan di lingkungan pendidikan, maka bisa dipastikan yang mengucapkan kata-kata tersebut tidak lain daripada pendidik (guru). Tetapi tidak tertutup kemungkinan yang mengatakan demikian adalah orang tua sebab, kita tahu, orang tua adalah pendidik utama. Menjadi pertanyaan, pantaskah mengatakan ‘bodoh’ kepada anak?? Adakah dampak mengatakan mengatakan perkataan negatif kepada anak?

Kata ‘bodoh’ memiliki arti tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau tidak dapat mengerjakan, dsb. Bodoh juga berarti tidak memiliki pengetahuan. Ketika orang tua mengatakan “kamu bodoh” kepada anaknya, berarti orang tua berpandangan bahwa anaknya tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu, tidak dapat mengerjakan, atau tidak memiliki pengetahuan.

Nah, dalam pembahasan kali ini, ‘bodoh’ yang saya maksudkan adalah suatu keadaan dimana tidak bisa melakukan, tidak bisa mengerjakan, tidak bisa menjawab soal, atau tidak memiliki pengetahuan. Fakta menyatakan bahwa anak merupakan individu yang berada dalam taraf tidak bisa melakukan, tidak bisa mengerjakan apa yang dimintakan oleh orang tua, atau tidak memiliki pengetahuan.

Dalam situasi dimana anak tidak bisa melakukan, tidak bisa mengerjakan sesuatu hal atau menjawab pertanyaan secara tepat, tidak jarang, orang tua mengungkapkan kekecewaannya atas situasi tersebut dengan melontarkan kata-kata seperti ‘kamu bodoh’, ‘bodoh lu’, atau ‘lu pung bodok lai’, atau kata-kata sejenis. Ada orang tua yang tidak merasa bersalah ketika mengatakan demikian. Fenomena semacam ini pada umumnya disebabkan oleh ketidaktahuan akan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kata-kata tersebut. Ada juga karena telah ada kesepakatan sebelumnya dengan anak, manakala mereka tidak bisa melakukan, tidak bisa mengerjakan, atau tidak bisa menjawab, maka mereka akan dikatakan bodoh. Yang terakhir ini berhubungan dengan manajemen interaksi interpersonal dalam keluarga. Meski demikian, untuk menghindari kesan penghinaan terhadap anak, saya mengusulkan kepada orang sekalian petang ini agar sebaiknya tidak mengatakan bodoh terhadap anak. Pertimbangan saya adalah:

1.Anak jelas merupakan individu yang memang tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu, tidak dapat mengerjakan, atau tidak memiliki pengetahuan. Kalau anak lekas mengerti, mudah tahu, dapat mengerjakan, atau memiliki pengetahuan, maka mereka tidak membutuhkan orang tua. Sebab mereka bisa belajar secara mandiri dan sama sekali tidak membutuhkan direct (arahan) dari siapa pun.

2.Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda-berbeda. Anak yang satu tidak sama dengan anak yang lain. Kalau ada anak yang minim dalam mata pelajaran matematika, fisika, atau ilmu-ilmu eksakta lainnya, belum tentu ia minim juga dalam mata pelajaran bahasa inggris, bahasa indonesia, dsb. Begitu pula, mungkin ada anak yg maximal dalam mata pelajaran eksakta tetapi belum tentu ia maksimal dalam mata pelajaran non eksakta. Jadi, adalah tidak perlu mengatakan ‘bodoh’ kepada anak hanya karena ia minim dalam mata pelajaran atau hal tertentu.

Dalam hal ini saya sependapat dengan teori multiple intelligence atau kecerdasan majemuknya seorang psikolog asal AS, Howard Gardner menyatakan bahwa: Kecerdasan (inteligensi) tidak terdiri dari satu yang umum dan beberapa yang khusus, melainkan memang benar-benar ada beberapa inteligensi khusus yang masing-masing mandiri, yaitu kecerdasan bahasa (linguistic), logika matematika (logic-mathematical), ruang (spatial), gerak tubuh (bodily-kinesthetic), musik (musical), antarpribadi (interpersonal), dan ke dalam diri (intrapersonal), serta kecerdasan tentang alam (naturalistic intelligence).

Sudah seharusnya orang tua mengetahui bahwa anak adalah individu yang tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu, tidak dapat mengerjakan, atau tidak memiliki pengetahuan, sehingga tidak lekas mengatakan ‘bodoh’. Maksud saya, setiap orang tua hendaknya menahan diri untuk tidak mengatakan ‘bodoh’, baik secara lisan maupun tulisan, kepada anak. Tujuannya tentu saja supaya anak bebas dari konsep diri ‘bodoh’ yang dilontarkan oleh orang tua. Kita tahu, bodoh selalu berasosiasi negatif. Jika kata ini terlanjur disematkan kepada anak, bukan tidak mungkin ia akan membangun konsep diri secara negatif sesuai dengan kata yang disematkan kepadanya. Akibatnya, anak tidak akan tertantang untuk berkembang.

Dalam kaitannya dengan kecerdasan, orang tua seharusnya mengetahui kecerdasan anak. Orang tua yang mengetahui kecerdasan anaknya tidak akan memaksakan anaknya untuk menguasai suatu bidang tertentu yang bukan passion anaknya. Orang tua yang demikian akan dengan mudah menyesuaikan gaya membimbing anaknya. Jangan lupa, sejak kecil anak sudah memperlihatkan minatnya terhadap bidang tertentu. Karena itu, adalah tugas orang tua dan guru untuk mengakomodir minat anak atau anak didiknya. Ingat, mengakomodir dalam arti memfasilitasi, bukan memaksakan anak supaya beralih kepada bidang lain.

Mengapa sebaiknya tidak mengatakan anak ‘bodoh’??

Saya bilang sebaiknya karena ada anggapan bahwa kalau ada kesepakatan antara anak dengan orang tua atau guru maka diperbolehkan.

1.Karena anak sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara psikis, maupun fisik. Pada tahap ini anak memerlukan hal-hal yang bersifat konstruktif dan berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian mereka.

2.Karena sebagai individu yang sedang bertumbuh dan berkembang ke arah kedewasaan, anak memiliki emosi yang tidak stabil. Mereka akan dengan mudah kehilangan semangat dan rasa percaya diri manakala mendapat label yang kontra produktif dengan pertumbuhan dan perkembangan emosi mereka. Bukan tidak mungkin akan berdampak pada terganggunya kondisi emosi mereka.

3.Karena dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, anak sedang berupaya membangun konsep diri (self concept). Apabila informasi yang mereka terima dari luar bersifat negatif, maka konsep diri mereka pun cenderung negatif. Jarang ditemui anak yang mampu menunjukkan tindakan yang berlawanan arah dengan anggapan negatif yang ditujukan kepada mereka. Maksudnya, sulit menemukan anak yang mampu membuktikan dirinya tidak bodoh meskipun dikatakan bodoh.



4.Karena anak dapat/ bisa saja mempercayai atau menyetujui perkataan ‘kamu bodoh’ yang disematkan pendidik kepadanya. Sepanjang pertumbuhan dan perkembangannya, bahkan mungkin sepanjang hidupnya ia akan menganggap dirinya bodoh.

5.Karena maksud kehadiran orang tua dalam kehidupan anak tidaklah untuk menyematkan label ‘bodoh’ kepada anak. Orang tua hadir dengan tujuan memberdayakan segala potensi anak yang tentu saja bermacam-macam.

---------------------------------- Prof. Yohanes Surya mengatakan: Tidak ada anak yang bodoh. Yang ada hanya anak yang kurang mendapat kesempatan untuk belajar dari guru yang baik dan metode yang benar -----------------------------------------------------------------------------------

Dampak Mengatakan Anak “Bodoh”

Mengatakan ‘bodoh’ kepada anak merupakan tindakan memberikan label. Label atau labeling adalah memberikan label kepada seseorang sebagai identitas diri orang tersebut dan menjelaskan orang dengan tipikal bagaimanakah dia.

Biasanya, orang yang diberi label akan diperlakukan seperti label yang disematkan kepadanya. Misalnya seorang anak dikatakan ‘bodoh’ maka ia akan diperlakukan seperti orang bodoh. Tindakan yang demikian, entah sadar atau tidak sadar, merupakan penjelasan akurat kepada anak tentang tipikal bagaimanakah dia. Anak cenderung menerima dan menjalani kehidupannya sesuai dengan indetitastersebut yakni identitas orang bodoh.

Pada dasarnya, pemberian label dimaksudkan untuk mengontrol penyimpangan dari harapan namun yang terjadi justru sebaliknya. Dan kenyataannya memang demikian. Anak yang dikatakan ‘bodoh’ tidak akan menerima tugas-tugas yang bersifat menantang dan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Dari sudut pandang anak, ia selalu akan merasa tidak mampu menyelesaikan tugas yang menantang dan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi karena ia terjebak dalam ungkapan ‘kamu bodoh’ dimana ia juga mengakui hal itu dengan turut mengatakan kepada dirinya sendiri ‘saya bodoh, jadi tidak mungkin saya mampu menyelesaikan tugas-tugas yang sulit dan menantang’. Sementara itu, dari sudut pandang pemberi label (orang tua) enggan memberikan tugas yang menantang dan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi karena terjebak dalam pemikiran ‘ah, dia kan bodoh, mana mungkin mampu mengerjakan tugas-tugas seperti ini, percuma saja’. Pada akhirnya, anak yang diberi label ‘bodoh’ tidak mendapat kesempatan untuk berkembang sebab tidak pernah dimotivasi atau diberi dukungan untuk maju. Ia akan tumbuh dan berkembang dalam stigma ‘bodoh’ bahkan bisa jadi akan mengatakan kepada dirinya sendiri ‘saya bodoh’.

Mengatakan ‘bodoh’ kepada anak sama dengan menghancurkan kemampuan berinteraksi mereka. Anak yang dilabeli ‘bodoh’ akan menerima diri mereka sendiri sebagai pribadi yang tidak diinginkan alias ditolak. Anak yang demikian akan merasa diri tidak dihargai, tidak dicintai, cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko, dan tidak dapat berprestasi, memiliki penghargaan diri yang rendah dan dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi lingkungan, baik lingkungan kerja maupun lingkungan pergaulannya.

Kiat-kiat Sederhana

Berikut ini saya anjurkan beberapa kiat sederhana agar tidak mengatakan anak bodoh:

1.Berusaha dengan kemampuan maksimal untuk mengetahui tidak hanya tahap demi tahap perkembangan anak tetapi juga kemampuan mereka. Dengan begitu, orang tua akan mengasuh secara tepat.

2.Setiap orang tua perlu mengakui bahwa mengajar anak bukanlah pekerjaan mudah. Sebab yang diajar adalah individu yang berkehendak dan unik. Dengan mengakui hal ini, orang tua akan terus menerus berimprovisasi dalam mengasuh sebagai upaya mengakomodir kemampuan anak.

3.Jangan lupa, setiap anak memiliki kecerdasan sendiri. Karena itu gaya mengasuhnya pun tentu tidak sama.

4.Perlu diingat, mengatakan ‘bodoh’ kepada anak tidak merubah apa-apa, kecuali memperburuk keadaan.

5.Emosi perlu dikontrol.

6.Jika kesabaran hampir habis, cobalah untuk tenang dengan cara menarik diri dari kegiatan belajar bersama anak.

Penutup

Apa yang didapat dari mengatakan ‘bodoh’ kepada anak ??Sesungguhnya, mengatakan ‘bodoh’ kepada anak hanya memperburuk keadaan. Kalau untuk memotivasi anak, tidak harus dengan mengatakan bodoh. Karena itu, daripada mengatakan ‘bodoh’ lebih baik berusaha dengan segala daya upaya untuk mengakomodir kemampuan setiap anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun