Mohon tunggu...
Daniel Yonathan Missa
Daniel Yonathan Missa Mohon Tunggu... Administrasi - Anak kampung

Saya anak kampung yang kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aborsi, Dibenci tapi Dilakukan

9 September 2014   20:48 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:11 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aborsi telah menjadi momok. Menakutkan namun diinginkan. Terutama para kawula muda yang hidup secara bebas secara seksual. Atas Nama pembuktian cinta, tak segan-segan mengorbankan harga diri. Ironisnya, ketika perbuatan prematur tersebut mendatangkan hasil, yang terjadi justru kepanikan. Indikasi minimnya kestabilan mental. Aborsi menjadi pilihan mumpuni seolah mampu meretas persoalan.

Koran pagi ini, pada pojok hukum, memberitakan tentang nasib nahas yang mesti dialami oleh seorang calon sarjana. Yang Kuasa memutuskan untuk memanggilnya kembali sebelum orang tua berbangga melihat dia meraih hasil perjuangannya selama kurang lebih lima tahun. Ia harus meregang nyawa setelah mengalami pendarahan karena praktek aborsi yang dilakukannya dengan bantuan seseorang yang mengaku bisa melakukannya. Alih-alih ingin menyelamatkan muka pada saat wisuda, perempuan ini justru kehilangan buah cintanya dengan si pacar sekaligus kehilangan nyawanya. Mungkin resiko ini tak masuk hitungan. Meski sempat dilarikan ke RS, dokter dan para medis mesti tunduk pada kehendak Sang Kuasa. Secara medis, penyebab pendarahan berkepanjangan yang dialami perempuan malang ini terjadi akibat hancurnya rongga rahim. Ngeri!

Sebenarnya, perempuan malang itu tak mempunyai cukup uang untuk membayar tarif yang dikenakan dukun aborsi itu. STNK sepeda motor pun digadaikan. Siapa sangka, ia tak hanya menyerahkan surat kendaraan bermotornya itu tetapi juga  harta yang paling berharga: nyawanya. Aborsi memang mahal. Sangat mahal, bahkan! Kini ia telah di alam sana. Tetapi si pacar Dan dukun itu harus menghabiskan hari-hari mereka dari balk jeruji besi.

Entah kapan praktek semacam ini berakhir?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun