Saat ini geliat menghidupkan wakaf cukup meningkat di masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya brosur yang sering kita lihat di sekitar kita. Brosur-brosur ajakan wakaf tersebar baik melalui online maupun offline. Sangat sering kita jumpai ajakan wakaf tunai dalam rangka pembangunan masjid, pengadaan sumur, pembangunan pesantren, Pendidikan Alquran, dan lain sebagainya. Banyaknya ajakan berwakaf ini menunjukkan betapa geliat masyarakat ingin menghidupkan ekonomi Islam melalui salah satu instrumennya. Ekonomi islam selama ini dipahami oleh masyarakat hanya berkutat di lembaga keuangan semacam bank, asuransi, pegadaian dan lain sebagainya. Munculnya wakaf kepermukaan menandakan adanya perluasan pemahaman masyarakat tentang ekonomi islam. Pemahaman yang lebih baik tentang ekonomi islam diharapkan akan muncul kepermukaan menjadi tindakan riel. Apalah arti dari pemahaman jika tidak dimunculkan menjadi sikap dan tindakan berekonomi islam.
Kesadaran masyarakat berekonomi islam harus terus dipupuk dan didorong kelestariannya. Berekonomi islam berarti menjalankan aktifitas ekonomi yang didasarkan pada aturan (syariah), aqidah, dan akhlak islami. Kesadaran berekonomi yang berlandaskan pada islam mau tak mau harus merujuk pada sumber utama ajaran islam: Alquran dan hadis. Muatan ayat-ayat Alquran dan hadis mencakup secara utuh tiga unsur: aqidah, syariah dan akhlak. Umat islam tidak bisa mengabaikan salah satunya atau hanya mengambil salah satu dan meninggalkan yang lain. Aqidah, syariah dan akhlak merupakan satu kesatuan yang utuh dan padu menjadi ajaran agama islam. Dengan demikian tidak sah orang yang hanya mencukupkan ingat pada Allah dan meninggalkan tatacara shalat walaupun inti dari shalat sendiri adalah mengingat Allah. Tidak sah pula orang yang hanya berakhlak baik dan mematuhi aturan syariah tapi dia tidak menyakini bahwa Allah adalah Tuhannya. Contoh lain dalam hal berekonomi, tidak sah bila ada orang melakukan jual beli babi walaupun orang itu dalam sisi akhlak jual beli sangat baik. Misalnya proses transaksinya cepat dan cekatan, pembayarannya selalu tepat waktu, jujur, dan berintegritas. Semua contoh di atas menggambarkan keberlangsungan kegiatan dengan kepatuhan terhadap islam yang tidak utuh dan meninggalkan salah satu dari aqidah, syariah, dan akhlak.
Ketika geliat filantropi wakaf tumbuh, masyarakat pun menunggu, apa yang dihasilkan oleh wakaf. Wakaf adalah instrumen unik yang hanya dimiliki oleh Islam. Wakaf adalah menyerahkan harta untuk dimanfaatkan hasilnya. Jadi yang dihabiskan adalah hasilnya, bukan hartanya. Tujuan dari wakaf adalah melestarikan kemanfaatan harta wakaf secara terus menerus. Harta wakaf harus ada atau ditunjuk pihak yang bertanggung jawab terhadap kelestarian manfaat harta tersebut. Saat berwakaf, pemilik harta (wakif) harus menentukan kemana manfaat harta wakaf ini  akan disalurkan. Penyaluran manfaat harta wakaf cukup luas. Jika dalam hal zakat, penaluran hanya dibatasi kepada delapan golongan, tidak demikian wakaf. wakif boleh berwakaf untuk anak turunnya, untuk perbaikan jalan, untuk anak yatim, untuk penelitian fisika, untuk kemakmuran masjid, dan lain sebagainya.
Umumnya wakif tidak menentukan secara spesifik kemanfaatan harta wakaf. Misalnya wakaf untuk masjid. Biasanya wakif hanya menyebutkan "saya mewakafkan tambak ini untuk masjid X" tanpa menentukan yang lebih spesifik. Padahal dalam hal ketakmiran masjid, banyak sekali program. Ada program pendidikan, program pembangunan, program sosial dan lain sebagainya. Ketika wakif hanya menentukan bahwa kemanfaatan hartanya untuk masjid, apakah manfaatnya hanya digunakan untuk masjid dalam arti pembangunannya saja? Pada masjid tertentu bahkan memiliki lahan wakaf puluhan hektar lahan produktif. Masjid yang sangat kaya. Produktifitas lahan wakaf itu sangat tidak elok jika hanya digunakan untuk pembangunan fisik belaka.
Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa wakaf untuk penghiasan masjid tidak sah. Pendapat ini mengandung paling tidak dua pengertian. Pertama, wakaf yang memang sejak awal wakif menentukan kemanfaatannya untuk hiasan masjid. Wakaf yang demikian langsung dihukumi tidak sah karena rusak rukunnya. Salah satu rukun wakaf adalah ketentuan pemanfaatan harta wakaf. Jika salah dalam menentuktan untuk apa atau siapa manfaat harta wakaf maka wakaf tidak sah. Pengertian ke dua, tidak sah kemanfaatan wakaf untuk hiasan masjid. Artinya, wakafnya tetap sah. Yang tidak sah adalah penggunaan kemanfaatan harta wakaf. Ada orang yang berwakaf bangunan toko. Toko tersebut dikelola dengan baik sehingga menghasilkan keuntungan yang banyak. Karena banyaknya keuntungan inilah, takmir memutuskan untuk membuat kaligrafi emas yang akan dipajang di dinding depan. Pengertian yang ke dua ini dikuatkan dengan Pendapat Zarkasyi, salah satu ulama berpengaruh pada madzhab Syafi'I, "tidak ada keraguan, bahwasannya tidak boleh menyalurkan hasil pengelolaan wakaf pembagunan masjid untuk hal itu (ukiran emas)
Diceritakan di kitab Hawasy Ala Multaqal Abhar bahwa suatu ketika Ibnu Mas'ud melewati masjid yang dipenuhi dengan hiasan emas. Saat melihat hiasan itu ia berkata: "Semoga Allah melaknat orang yang melakukan ini (menghiasi/ mengukir masjid ini dengan emas), orang-orang miskin lebih membutuhkan dari pada mercusuar-mercusuar megah ini." Ucapan Ibnu Mas'ud secara tersurat menghendaki bahwa pembangunan manusia lebih diutamakan daripada kemegahan masjid. Ibnu Mas'ud sebagai sahabat Rasulullah, pasti sudah mengetahui hadis-hadis tentang keutamaan membangun masjid. Namun, sikap yang tampak saat melihat masjid dengan hiasan yang berlebihan, bukanlah sikap bangga ataupun takjub yang menandakan bahwa Islam telah jaya. Beliau justru menampakkan umpatan dan kebencian.
Semangat ekonomi islam sama sekali tidak menghendaki bermegah-megahan. Sebagaimana yang diperingatkan dalam At Takatsur "Bermegah megahan telah melalaikan kalian semua, hingga kalian masuk kedalam kubur". Wakaf, sebagai instrumen ekonomi islam, juga tidak sah jika dipakai untuk bermegah-megahan. Namun demikian, Dalam hal memperindah masjid dengan berlebih-lebihan hukumnya hanya pada level MAKRUH, tidak sampai HARAM. Ulama' fikih sangat ketat sekali dalam menghukumi haram. Setiap label haram harus jelas dalil (Alquran, Hadis, Ijma' Qiyas) yang menunjukkan keharamannya. Jika tidak ada satupun dalil shahih yang menunjukkan keharaman, maka para ulama akan sangat hati-hati dan tidak berani melabeli haram. Biasanya  hanya akan berakhir pada hukum MAKRUH. Jika menghias masjid dengan berlebih tidak sah dari hasil pengelolaan wakaf, darimana seharusnya dana menghias masjid didapat? Dana itu diperoleh dari pihak yang memang menghendaki untuk hiasan masjid. Misalkan ada orang yang menyumbang lampu gantung yang berlapis emas, atau ada orang yang menyumbang untuk digungakan mengukir dinding masjid,  dan lain sebagainya. Terkumpulnya dana yang besar pada sebuah kepanitian pembangunan harus disikapi dengan arif. Oleh karenanya perlu keterbukaan antara takmir atau panitia pembangunan dengan para donatur prihal untuk bagian apa dana itu dibutuhkan. Wallahu A'lam bi al-Shawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H