Tahun 1960antempe sempat berkonotasi buruk. Sebutan (makian) sebagai manusia berkualitas tempe merupakan cemoohan yang luar biasa.Bahkan masa itu, seorang negarawan yang saya lupa siapa namanya berpidato berapi-api sambil meneriakkan kata-kata “….kita jangan menjadi bangsa tempe..!”. Awal 1970an kata-kata itu disitir salah seorang guru saya, bahkan lebih diperparahdengan tambahan satu komoditas lagi yaitutembakau. “Jangan jadi bangsa tempe! Jangan pula jadi bangsa mbako!”, kata pak guru. Dan seolah paham para murid yangbodoh-bodoh padakebingungan dengan sukacita pak gurupun menjelaskan maksud bangsa tempe dan bangsa mbako tadi.
Tempe, katabeliau, itu makanan rakyat kecil, rakyat miskin, orang pinggiran, bodoh, pengecut. Intinya, tempe identik denganmasyarakat kelas sampah. Kenapa? Karena tempe itu makanan murahan, tidak enak, bikinnya saja di pelosok kampung, dengan cara yang tidak memperhatikan kebersihan, proses bikinnya saja pakai diinjak-injak lagi. Bayangkan kalau kaki pekerja itu kudisan, atau ada korengnya. Kesimpulannya, tempe identik dengan miskin, bodoh, pengecut danjorok, jadi, jangan jadi bangsa tempe dan jangan jadi orang bermental tempe!.
Tentang mbako? Tembakau,kata pak guru, itu barang hanya memberikan kenikmatan kalau dia dihisap habis-habis, sementara dia harus digulung dan dibakar, lalu prestasi puncak akan diberikannya ketika dia terkapar jadi puntung. Maknanya, kata beliau pula, bangsa tembakau mencerminkan bangsa terjajah, bangsa yang tertindas, bangsa budak, bangsa yang diperas habis-habis. Kita ini bangsa yang merdeka, yang kita rebut melalui perjuangan yang gagah berani dan berdarah-darah. Dan layaknya politikus masa itu yang progresif-revolusioner maka pidato pak guru pun penuh semangat berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, anti neo-kolonialisme, anti neo-imperialisme, maju terus, pantang mundur, ever onward and never retreat! Kata beliau berapi-api. Walhasil, jam pelajaran habis, pak guru lupa mengajardan hari itu murid-murid cukup bahagia mendapatkan sepotong tempe dan sebatang puntung rokok.
Bangsa anti tempe ini jugasangat revolusioner,suka berkata keras ketika membela kepentingan rakyat, suka bicara politik dan sangat anti antek-antek asing. Curiga dan konflik antar teman sangat tajam, yang sama agama beda manhaj saja suka berantem, apalagi beda ideologi dan beda posisi.
Waktu berlalu, masa berganti dan rezim anti tempe berakhir tragis. Rezim baru telah lahir dengan nama rezim anak singkong. Disebut anak singkong karena konon pro rakyat utamanya petani yang menyusun 70% bangsa ini. Maka tak aneh tak ajaib ketika kedele, tembakau dan juga gabah tiba-tiba saja melesat naik daun, sementara terminologi bangsa tempe dan bangsa tembakau pelan-pelan senyap.
Tempe jadi makanan populer sementara boss besar dengan gagah mengayun pancing sambil menggigit cerutu Havana. Semua orang ribut berkilahbangsa ini ngerti kesehatan, gemar makanan bergizi komplit termasuk sumber protein yang berasal dari fermentasi kedele yang bernama paten tempe. Produksi kedele pun digeber, berbagai upaya mati-matian dilakukan guna melestarikan atribut sebagai bangsa tempe.
Dekade melompat-lompat meruntuhkan rejim anak singkong yang konon pelan-pelan tak lagi pro rakyat. Lahir rejim baru yang menyebut dirinya rejim reformis. Reformasi artinya perubahan cepat dan mendasar. Semua berubah, paradigma berbangsa berubah total, paradigma politik berubah fundamental, paradigma birokrasi terjungkir balik.
Perubahan cepat dan mendasar bagaikan gempa yang memporak porandakan paradigma bangsa anti tempe masa lalu, bangsa transisi suka tempe kemarin dan melahirkan masyarakat baru dengan paradigma baru yang sangat cinta tempe.
Protein tempe membuat anak bangsa semakin cerdas, terpelajar, demokratis, dan yang paling heboh adalahkobaran hebat semangat memperjuangkan hak masing-masing baik yang asasi maupun yang tidak asasi. Namun beda dengan paradigma bangsa tempe masa lalu, paradigma masa kini menunjukkan kesamaan antara leaders dan followers. Ketika buruh pabrik rame-rame unjuk gigi menuntut kenaikan upah, para elit juga sibuk memperjuangkan kenaikan gaji. Ketika rakyat sibuk berantem berebut sembako, elit politikpun sibuk bergelut berebut anggaran di gedung parlemen.
Republik tiba-tiba tertegun. Tempe lenyap dari ibukota, masyarakat panik, petinggi negara panik, politisi juga panik. Hargatempe melambung, kedele lenyap dari pasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H