Mohon tunggu...
Muhammad Yunus Anis Atmotaruno
Muhammad Yunus Anis Atmotaruno Mohon Tunggu... -

saya Muhammad Yunus alumnus Sastra Arab UGM Yogyakarta, sekarang sedang menempuh study S2 di Kajian Timur Tengah UGM. Saya sangat tertarik dengan linguistik Arab dan budaya khususnya tentang tasawuf.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ketika Bola Ditendang Gajah di Malam Tahun Baru: Sebuah Popularitas dalam Cerpen

25 Januari 2011   03:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:13 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1295926474162407251

Pagi ini cukup cerah. Tahun baru mengawali hari ini, tahun lama telah berlalu. Pohan tetap ditemani dengan aktifitas sehari-harinya. Rutinitas yang membelenggu sebagai pegawai kelas menengah di kantor kelurahan desa masih menyelimuti dirinya sehari-hari. Jenuh mungkin, apalagi ditambah harga-harga barang pokok mulai naik. Harga cabai pun meroket setinggi-tingginya. Pohan yang paling suka dengan sambal bawang buatan istrinya harus sedikit menahan asyiknya makan nasi hangat dengan ditemani tempe-tahu, lalapan, dan sambal bawang. Pikiran Pohan masih melayang-layang dengan kejadian malam tahun baru kemarin. Malam yang aneh terjadi di penghujung tahun ketika ia keluar rumah bersama istri dan anak kecilnya. Malam itu, di tengah-tengah kerumunan orang yang asyik merayakan tahun baru sambil melihat atraksi sepak bola gajah, Pohan melihat seorang pemuda yang sedang dipukuli oleh pemuda lain yang memakai tato di pundaknya. Pemuda itu dipaksa untuk mengaku kenapa tim sepak bola desa tetangga bisa mengalahkan tim tangguh di desa pemuda-pemuda bertato itu. Pemuda itu hanya diam membisu, dia tidak tahu menahu apa yang menyebabkan tim sepak bola tetangga bisa membabat habis tim kesayangannya. Pohan dari kejauhan melihat adegan miris itu, ia sadar kalau pemuda yang dipukuli itu adalah mata-mata yang disuruh untuk mencari tahu resep kemenangan sepak bola tim lawan. Namun ia tidak berhasil melaksanakan tugas dengan baik. Walhasil di malam tahun baru, saat orang-orang asyik melihat sepak bola gajah, ia malah dipukuli habis-habisan sama bosnya. "Sumpah saya tidak tahu pak, kenapa mereka bisa menang? Padahal saya sudah menaruh serbuk gatal di samping gawang mereka. Saya juga sudah membagi-bagikan mainan laser agar mainan itu disorotkan ke pemain lawan." Tutur si pemuda kepada bosnya. "Bug gedebuk" bunyi keras menghatam perut si pemuda. Sang bos bertato burung elang belum percaya dengan apa yang telah dilakukan pemuda malang itu. Ia terus meninju, memukul, bahkan meludahi wajahnya. Bahkan teman-temannya memprovokasi untuk terus mengganyang pemuda itu. Kekalahan dalam bermain bola sudah terjadi. Si bos tetap merasa dirugikan karena kalah taruhan dalam judi bola. Kekalahan dalam bermain bola tidak sama dengan kekalahan pilihan gubernur atau bupati. Pilihan kepala daerah jika terjadi kecurangan masih bisa dilaporkan ke MK (Mahkamah Konstitusi) untuk pemilihan ulang, namun bagaimana jika kalah dalam bermain bola? Apakah akan ada pertandingan ulang untuk menentukan pemenangnya. Yang jelas kekalahan itu sudah nyata. Kekerasan fisiklah sekarang yang menjadi pemenangnya. Emosi menjadi hakim mereka karena kalah taruhan. Uang habis mengakibatkan anarkis. Anarkis juga bermula dari kekecawaan akan harapan yang terlalu tinggi pada kemenangan. Harapan yang tinggi itu muncul dari segala macam usaha untuk menggerogoti lawan dengan kecurangan-kecurangan yang ada. Karena ada kecurangan ada kekecewaan dan karena ada harapan yang meluap-luap mengakibatkan keputusasaan. Pemuda itu tergeletak lemas di bawah pohon mangga di tengah ramainya orang-orang melihat atraksi sepak bola gajah. Sementara keramaian tetap berlanjut di malam tahun baru itu. Pohan sengaja meninggalkan anak dan istrinya yang sedang asyik melihat sepak bola gajah, bahkan anak kecil Pohan sempat berfoto-foto dengan gajah tersebut. Sementara bola sedang ditendang oleh gajah-gajah di malam tahun baru, Pohan menghampiri pemuda malang itu. Menyesal. Hanya itu yang dapat disimpulkan ketika Pohan mendengar pengakuan pemuda itu. Pembicaraan mereka berdua akrab setelah pemuda itu ditolong oleh Pohan. Mereka berdua merebahkan ketegangan dan kecapekan di sebuah warung kopi. Pohan membelikannya kopi hitam hangat dan dua buah gorengan. Pemuda itu terus bercerita akan himpitan ekonomi keluarganya yang menyebabkan ia nekat untuk menjadi mata-mata tim sepak bola lawan. Keadaan ekonomi yang parah mengakibatkan ia nekat. Ia sanggup menerima profesi apa pun selama itu menghasilkan uang. Konflik keluarga bertubi-tubi karena uang yang tidak kunjung tiba mengakibatkan ia rela merusak kesebelasan lawan dengan berbagai macam cara. Demi uang, ia merusak sepak bola yang sejatinya adalah olah raga yang menyehatkan sejuta umat. Demi reputasi sang bos, ia rela menaburkan serbuk-serbuk kegagalan pada tim lawan. Akhirnya, demi kehormatan desanya, ia rela menjual dirinya untuk menjadi mata-mata. Ia lupa jika dalam permainan bola terdapat unsur gambling, untung-untungan, dan hoki. Bola yang bulat tidak bisa diprediksi dengan mudah semudah meramal horoscope. Ramalan tidak selalu tepat meskipun terkadang cukup cermat. Namun di balik itu semua, sepak bola telah menjadi tontonan yang mengasyikkan bagi setiap orang. Sepak bola menjadi dewa hiburan di kala orang dilanda masalah. Lama-lama pemuda itu sadar jika sepak bola sejatinya bukanlah sepak bola gajah yang sedang dipertontonkan pada malam hari itu. Para pemain bola bukanlah gajah yang hanya bisa menendang tanpa tujuan. Tendangan pemain bola bisa menjadi tendangan politik, bisa juga menjadi tendangan popularitas. Tendangan pemain bola berbeda dengan tendangan gajah yang jika masuk gawang tidak berimplikasi apa pun dalam sebuah popularitas atau ketenaran seseorang. Tendangan gajah bebas dari politisasi, namun tendangan pemain bola terkungkung oleh pencitraan orang-orang kaya. Tendangan para pemain bola ke gawang adalah mukjizat bagi mereka yang asyik taruhan. Walaupun terkadang tendangan pemain bola yang meleset dari gawang lawan juga bisa menjadi erupsi panas bagi para suporter fanatik. Akhirnya, Pohan hanya bisa mengucapakan "selamat" sebagai tanda keberhasilan pada pemuda itu karena secara tiba-tiba ia menyadari akan hipotesa-hipotesa bola yang sangat tidak empiris apalagi logis. Di malam tahun baru itu, ketika gajah-gajah sedang asyik menendang bola, pemuda itu mengucapkan terima kasih karena Pohan sudah menolongnya. Pohan pamit, lalu ia menghampiri istrinya sembari sang istri memperlihatkan foto anaknya dengan background sepak bola gajah. Istri Pohan bilang besok mau memperlihatkan foto itu kepada teman-teman arisannya karena jarang-jarang bisa berfoto dengan menggunakan background gajah-gajah yang sedang bermain bola. Istri Pohan sesumbar sambil membanggakan diri karena di antara teman-teman arisannya tidak punya kesempatan untuk foto bareng gajah ketika harga cabai di pasaran sedang meroket setinggi-tingginya. Mana mungkin ibu-ibu arisan itu bisa membeli tiket melihat atraksi sepak bola gajah yang memang sengaja dijual mahal oleh pengelolanya. Pohan hanya bisa menghela nafas ketika ia sadar istrinya telah mempolitisir sepak bola gajah di kampungnya demi sebuah popularitas dan predikat mapan dari teman-teman arisannya.

Malang, Senin 3 Januari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun