"Kamu gak bisa bilang kalimat itu, ketika aku, seorang wanita, sedang mengutarakan vulnerability-nya, itu namanya kamu berusaha mengambil kesempatan, apa itu maksud kamu G?" todong Emma.
"Gak, bukan begitu maksudku, sumpah aku gak ada maksud apapun untuk ambil kesempatan. Mungkin, aku cuma terbawa suasana, atau entah apa" kata lelaki itu mencoba menjelaskan. "Aku minta maaf" lanjut lelaki itu, lirih.
"Trus, apa yang kamu harapkan pas kamu bilang kalimat itu? Kamu berharap jawaban apa dari aku?" tanya Emma. "Kamu laki-laki pintar G, kamu tau jawaban logis dari pertanyaan itu. Aku gak perlu jawab" kata Emma lembut, sambil membereskan tasnya. "Aku pulang duluan" kata Emma sambil berdiri dari tempat duduknya, kemudian keluar dari kafe menuju mobilnya. Dari kejauhan di dalam mobilnya, Emma masih melihat laki-laki itu terdiam. Ada perasaan bersalah di hati Emma, tapi ia tetap pergi meninggalkan pantai Ancol.
Longing, Longing For Someone You Don't Even Know
 "Wish you luck, buddy" kata seorang lelaki berkulit putih, di depan bandara John F Kennedy di Kota New York. "Yeah, you too, Matthew" balas seorang laki-laki berkulit sawo matang singkat, sambil saling berjabat tangan. Sudah setahun Bambang ditugaskan perusahaannya, sebuah perusahaan multinasional dibidang konsultasi finansial dan perpajakan, untuk bekerja di pusat perusahaan di Kota New York. Sebenarnya, penugasannya baru selesai bulan depan, tapi Mira, adik Bambang, akan menikah minggu depan.
"Awas aja kalo Mas Bembeng gak dateng, gua gak akan bolehin gendong anak gua entar" Ancam Mira via video call beberapa bulan lalu. "Belum juga nikah udah ngomongin anak" batin Bambang tidak berani mengucapkannya langsung kepada Mira.
Tiket pesawat penerbangan All Nippon Airways NH-109, miliknya sudah di tangan. Pesawat akan berangkat pukul 16.55 waktu setempat. Masih sekitar satu jam sebelum Bambang harus duduk di pesawat selama 14 jam sampai Tokyo kemudian ditambah 8 jam ke Jakarta. Dua puluh dua jam ke Jakarta, hitung Bambang tidak antusias membayangkan masa depannya yang akan terkurung di kabin pesawat hampir seharian penuh.
Sambil duduk, Bambang melihat jendela-jendela besar bandara John F Kennedy. Sinar matahari terbenam terlihat begitu jingga di bulan Agustus itu. Tiba-tiba sebuah ingatan kelam singgah di pikiran Bambang. Ya, warna matahari sore ini sama seperti warna matahari sore itu ketika dengan bodohnya ia mengatakan sayang secara premature. Dua kali bertemu dan dengan bodohnya ia langsung bilang sayang, kepada wanita yang bahkan namanya saja tidak ia kenal.
Sebenarnya, kalau boleh juur, Bambang tidak merasa bersalah mengatakan kalimat itu, toh ketika itu, itulah yang ia rasa. Tapi terkadang ia selalu berpikir 'what if' kalau dia lebih bersabar dan tidak bilang sayang secara terburu-buru.
Setengah mati Bambang sudah mencoba melupakan kenangan itu, tapi kenangan itu kadang tiba-tiba datang begitu saja. Biasanya ketika matahari terbenam, ketika dia tidak sengaja melihat orang-orang tua bermain catur di Central Park atau bahkan ketika melihat papan advertising pasta gigi. Bahkan sempat beberapa bulan ia sempat tidak bisa minum kopi yang biasa ia minum.
Panggilan pesawatnya terdengar diumumkan. Bambang segera menuju gate tempat pesawatnya berada. Kembali menuju Jakarta.