I. Asal kata dan Pengertian Randai Menurut Chairul Harun, kata Randai berasal dari kata “andai” dan atau “handai” (bahasa minang) yang artinya berbicara denga intim dan akrab mempergunakan kias. Ibarat petatah, petitih seni sastra Minang Kabau. Kata tersebut mendapat awalan “ba” sehingga menjadi “baRandai”. Ada juga yang mengatakan bahwa Randai berasal dari kata “rantai”. Kata rantai diambil dari bentuk formasi yang terlihat pada pertunjukan Randai. Formasi tersebut melingkar menyerupai lingkaran rantai. Yusaf Rahman (Musisi Minang), Randai berasal dari kata ra’yan lida’i. Berasal dari kata “da’i”. Sebutan kepada pendakwah dalam tarikat Na’sabandiyah. Ketiga pengertian diatas yang masih berkembang di masyarakat Minang Kabau, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara bahasa. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Randai dalam bahasa sangsekerta berarti mengarung diair atau lumpur. Randai dalam bahasa minang adalah formasi melingkar bernyanyi dan bertepuk tangan. Banyak budayaan Minang Kabau, diantaranya Aan Nafis dan Prof. Mursal Einsten mengatakan bahwa Randai yang lahir dan berkembang pertama kali di Minang Kabau adalah berbentuk tarian. Randai Ulu Ambek di Pariaman dan Randai Ilau din saning bakar Kabupaten Solok. Kedua kesenian tersebut dilakukan dengan melingkar dan bernyanyi. Masyarakat menyebutnya dengan Tari Randai. Randai sebagai sebuah bentuk kesenian tradisional, hidup bersama tradisi yang berlaku di dalam masyarakat minangkabau (Esten, 1983:111). Menurut Darwais pada mulanya Randai adalah suatu bentuk kesenian tari. Langkah dan gerakan seperti pencak, memainkannya berkeliling merupakan lingkaran dan jumlah pesertanya tidak tertentu (Esten:112). II. Asal Usul Teater Rakyat Randai Perjalanan Teater di indonesia dimulai ketika seorang saudagar dari Turki yang tinggal di Batavia bernama Jaafar membeli semua perlengkapan pertunjukan teater Pushi Indera Bangsawan Of Penang, Teater Bangsawan yang terbentuk pada tahun 1885 di Penang, Malaysia. Kelompok Teater ini di pimpin oleh Mamak Pushi dan menantunya Bai Kassim. Mamak Pushi yang bernama asli Muhammad Pushi seorang hartawan yang membeli semua perlengkapan pertunjukan kelompok Wayang Parsi kelompok Teater dari India yang masuk ke Penang, Malaysia tahun 1870. Ketika kelompok Wayang Parsi atau disebut juga dengan Mendu hendak kembali ke India, semua perlengkapannya berupa, kostum, alat musik, tirai dan lain-lain dijual kepada Mamak Pushi. Pada tahun 1985 Mamak Pushi bersama menantunya Bai Kassim berhasil mengumpulkan para pemain yang kebanyakan pemain muda dan seorang pemain wanita bernama Cik Tot yang menjadi primadona. Kelompok ini sering di undang main di kalangan Bangsawan, oleh karena itulah kelompok ini dinamai Indera Bangsawan. Kehadiran Pushi Indera Bangsawan of Penang mendapat sambutan baik dari masyarakat melayu di Malaysia maupun di Sumatera dan Singapura. Pertunjukan mereka akhirnya sampai ke Batavia. Disinilah Jaafar seorang saudagar dari Turki membeli seluruh perlengkapan Teater Indra Bangsawan dan mengakibatkan rombongan teater tersebut bubar. Jaafar kemudian membentuk rombongan Teater yang diberi nama Stamboel. Nama Stamboel berasal dari nama kota di Turki, yaitu Istambul. Darisinilah kemudian berkembang banyak kelompok Teater Rakyat di daerah-daerah di nusantara, yang terpengaruh dari pertunjukan Teater Bangsawan Indra Bangsawan, Abdol Moeloek Troupe dan Stamboel. Sehingga lahir teater-teater rakyat seperti Ketoprak di Jawa, Abdul Muluk di Jambi, Mak Yong di Riau dan Randai di Minang Kabau. Tahun 1926, Teater Bangsawan Melayu masuk ke Kota Padang, sehingga berdiri dua gedung pertunjukan Teater Bangsawan yaitu di daerah Pondok dan Jalan Thamrin. Kemudian Teater Bangsawan masuk ke Lembaga Pendidikan seperti INS (Indonesian Nedherland School) dan Sekolah Raja di Bukit Tinggi. Pertunjukan Teater Bangsawan menampilkan cerita klisik Minang Kabau dan diberi nama Tonil Klasik Minang Kabau. Tahun 1932, diadakan pasar malam atau dikenal dengan Funcy Fair di Payakumbuh. Disana disajikan berbagaimacam kegiatan tradisi, tari, silat dan ada juga perjudian. Dari sekian banyak ragam acara, tampilah Tonil Klasik Minang Kabau “Talapuik Layu nan Dandam” karya Datuik Paduko. Dari pertunjukan Tonil klasik tersebut, Jalut, Ilyas Datuk ratih dan Datuk Paduko menciptakan kesenian baru yang bertolak dari seni tari Randai yang kemudian di kenal dengan sebutan Randai atau teater Randai. Perbedaan antara tari Randai dan Randai adalah pada dialog dan akting, dimana teater Randai atau yang disebut Randai memiliki dialog dan akting, sedangkan tari Randai tidak. Cerita Randai yang pertama kali ditampilkan adalah “Anggun nan Tonggak” di Pariaman dan Cindo Mato, cerita tentang cinta segitiga, namun tidak bertahan lama. Tahun 1935, kembali diciptakan cerita Randai yang berjudul “Simarantang” yang dipentaskan pertama kali di Payakumbuh. Masyarakat Minang menyebut Randai untuk teater Randai dan tari Randai untuk tariannya. Hal tersebut untuk membedakan antara tari dan teater yang memiliki kesamaan penamaan. Keduanya juga memiliki konvensi yang sama, hanya berbeda pada akting dan dialog saja. Secara umum, seluruh pertunjukan Randai di Minang Kabau semuanya sama, hanya terdapat perbedaan pada dendang dan geraknya. Pada saat pertama kali hadir, masyarakat masih menyebut judul cerita untuk tiap pertunjukan Randai, hal tersebut berlaku dari tahun 1932 sampai dengan 1935. Menurut Ratius, pemain Randai yang berperan sebagai si Munah kayo dalam cerita Simarantang, 1935; “Randai Simarantang pada awalnya tidak disebut Randai, tapi disebut Simarantang, sesuai dengan judul ceritanya” III. Unsur-unsur Randai Sebagai teater tradisi rakyat Minang Kabau Randai merupakan teater dengan jenis lakon tragedi komedi. Konflik dalam teater Randai selalu disajikan dalam bentuk pertarungan silek (silat). Secara dramaturgi teater tradisi Randai memiliki empat unsur yaitu :
- Cerita (Kaba)
- Dialog dan Akting
- Gurindam (Dendang)
- Gelombang (Gerak melingkar)
1. Cerita Judul cerita pada teater Randai menggunanakan nama tokoh utama yang bersumber dari cerita lama ataupun baru. Isi cerit ata yang berangkat dari kisah nyata dan ada juga yang fiktif. Benang merah cerita terletak pada tokoh protagonis yang menjadi judul cerita tersebut. Si tokoh membawa cerita dari awal sampai akhir pertunjukan. Pada masa order baru, perpolitikan di Indonesia mempengaruhi cerita dan judul teater Randai. Pada saat itu muncul Randai dengan judul “ Beringin Gadang di tengah koto” ini tidak sesuai dengan konsepsi daripada cerita, terutapa karakter pemberian judul. Karena sejaka pertama kali teater Randai muncul, judul cerita tidak pernah diambil dari setting ataupun konflik, tapi dari nama tokoh yang menjadi benang merah cerita. 2. Dialog dan Akting Dialog pada teater Randai menggunakan bahasa rakyat Minang Kabau. Pengucapan dialog menggunakan irama pantun yang diikuti gerak. Dialog antar tokoh seperti berbalas pantun. Akting teater Randai berdasarkan pada gerak tradisi minang kabau, yaitu balabeh pada silat. Balabeh pada silat adalah gerak sebelum tangkap lapeh atau pertarungan. Akting tokoh dilakukan dalam lingkaran gelombang. Semua pemeran dalam teater Randai adalah laki-laki. Bila ada tokoh perempuan dalam cerita, maka akan dimainkan oleh laki-laki. Pemeran tokoh wanita dipilih menurut bentuk fisik. Pemeran tokoh wanita haruslah terlihat catik ketika memerankan tokoh tersebut. Laki-laki yang memerankan tokoh wanita bukanlah waria, pada saat berdialogpun tidak merubah suaranya menjadi suara perempuan, tapi kostum dan riasnya adalah perempuan. Pemeran tokoh perempuan biasanya menjadi primadona dalam pertunjukan Randai. Pada awal perkembangannya, para aktor melakukan pergantian baju sampai 9 (sembilan) kali, diseseuaikan dengan setting cerita. Hal tersebut merupakan pengaruh dari teater bangsawan yang masuk ke Minang Kabau. Sekarang ini, proses pergantian kostum tersebut sudah tidak dilakukan, sebagai bentuk pengurangan pengaruh teater bangsawan tersebut. 3. Gurindam (Dendang) Gurindam adalah narasi pengantar perpindahan adegan dan setting pada teater Randai, gurindam merupakan cerita yang disampaikan. Gurindam atau dendang disampaikan oleh biduan. Gurindam berfungsi sebagai perpindahan adegan, penggambaran setting dan awalan daripada kisah sebelum masuk ke akting. setiap gurindam disertai dengan gerakan. gelombang. Gurindam pada peralihan adegan dari adegan satu ke adegan berikutnya selalu diawali dengan penyebutan nama tokoh yang akan diceritakan pada adegan tersebut. Gurindam disampaikan menggunakan irama. Ada tiga irama wajib gurindam, yaitu :
- Dayang Dayni / gurindam persembahan.
- Simarantang randah (Randai dibawo tagak) / gurindam pertama.
- Simarantang tinggi / gurindam penutup.
4. Gelombang Gelombang adalah gerak melingkar yang disertai tepukan paha, tangan dan galembong. Gelombang berfungsi sebagai transisi dari satu adegan ke adegan berikutnya. Gelombang juga merupakan unsur musik di dalam pertunjukan teater Randai, dimana tepukan paha, tangan dan galembong menghasilkan bunyi yang mengandung ritme. Gerak gelombang selalu diiringi dengan gurindam (dendang). Lingkaran gelombang disebut legaran. Para pemain gelombang terdiri dari empat belas orang dan paling sedikit delapan orang dalam legaran. Gerakan dalam gelombang juga berdasarkan pada gerak tradisi minang kabau, yaitu balabehpada silat. IV. Unsur Tambahan Musik pada pertunjukan teater Randai merupakan unsur tambahan. Musik Randai terbagi dua, ada musik internal yang berasal dari tepuk Galembong, paha dan tangan dan musik eksternal yang berasal dari alat musik talempong jinjing yang dimainkan sebelum pertunjukan. Musik eksternal ini juga disebut musik arakan. Alat-alat musik eksternal :
- Talempong yang terdiri dari :
- Talempong dasar : 2 buah
- Talempong anak : 1 buah
- Talempong peningkah : 1 buah
- Gandang tabuih (gendang tabuh)
- Pupuik Sarunai (serunai pupuik) yang terbuat dari batang padi.
V. Perkembangan Teater Randai. Jaman Belanda (1932-1942) Pada jaman Belanda tahun 1932 merupakan awal munculnya teater Randai yang terinspirasi dari teater komedi bangsawan dari malaka (malaysia). Pada jaman Belanda, lembaga Adat mendapatkan tempat pada pemerintahan. Hal ini yang menyebabkan kesenian tradisi dan kesenian rakyat dapat tumbuh dan berjalan seperti biasa, sehingga Randai dapat tumbuh dan berkembang. Jaman Jepang (1943-1945) Pada tahun 1943 pasukan jepang dengan bendera Dai Nippon masuk hampir keseluruh wilayah nusantara termasuk Minang Kabau. Pada masa penduduk Jepang, seluruh aktivitas lembaga adat dibekukan, sehingga banyak kesenian rakyat dan tradisi yang tidak berjalan masa itu. Jeapang memaksakan rakyat di daerah pendudukannya untuk belajar seni dan tradisi Jepang, seperti seni beladiri Karate, pengganti Silat. Masa Kemerdekaan Indonesia Hingga Sekarang. Randai sebagai kesenian tradisi rakyat Minang Kabau mulai berkurang fungsinya pada kegiatan penghelatan adat. Teater Randai menjadi sebuah pertunjukan, ini disebabkan oleh banyaknya program kampanye dari pemerintahan orde baru dan partai yang berkuasa saat itu. Selain itu, adanya festival Randai menyebabkan banyak pemotongan daripada bentuk dan durasi pertunjukan, ini guna menyesuaikan waktu yang ditetapkan oleh panitia festival. Lemahnya lembaga adat yang merupakan wadah dari seni tradisi sangat berpengaruh pada pertumbuhan kesenian Randai ini. Pada tahun 1980, Randai mulai masuk ke lembaga pendidikan dan pemerintahan. Darisinilah Randai mendapat unsur tambahan, yaitu musik eksternal pada dialog. Sekarang sangat susah dicari Randai dengan durasi pertunjukan dua hari atau lebih. VI. Pertunjukan Teater Randai Pertunjukan Randai di daerah Minang Kabau dilakukan pada dua tempat, terbuka dan tertutup. Tempat terbuka disebut medan bapeneli, sedangkan untuk tempat tertutup masyarakat minang menyebutnya denganmedan bapalindung. Tempat pertunjukan terbuka diberi pagar lingkar, biasanya menggunakan daun kelapa yang di rajut/jalin. Pagar tersebut sebagai batas gelanggang pertunjukan, yang melingkari penonton dan pemain didalamnya. Sedangkan antara penonton dan pemain tidak ada batas atau jarak. Tempat pertunjukan tertutup atau medan bapalindung, ditambah dengan atap dan sifatnya permanen. Masyarakat Pariaman menyebut tempat ini dengan sebutan pauleh/laga-laga. Bentuk tempat ini menggunakan bambu sebagai lantainya. Pertunjukan di kedua tempat ini tidak dipungut biaya, karena unsur kesenian tradisi itu kebersamaan. Sekitar tahun 1982, pertunjukan Randai sudah mulai menggunakan biaya masuk dalam bentuk karcis. Pertunjukan Randai dilakukan dimalam hari, ini disebabkan karena para pemain dan masyarakat (Penonton) bekerja di pagi hari. Waktu pertunjukan minimal satu malam, tapi itu jarang dilakukan, umumnya pertunjukan dilakukan selama dua malam. Sekarang sudah sulit ditemui pertunjukan Randai dengan durasi tersebut, untuk pertunjukan satu malam aja jarang dilakukan. Ini terjadi karena pengaruh festival-festival yang dilakukan terhadap teater Randai. Sehingga mengakibatkan pemotongan durasi pertunjukan menjadi satu sampaidengan dua jam. Sehingga banyak pelaku Randai yang menyiapkan pertunjukannya untuk kebutuhan festival dan meninggalakan pertunjukan untuk rakyat. Pertunjukan Randai satu sampaidengan dua malam diselingi dengan kegiatan lain, seperti lelang kueh, pertunjukan tari piring dan silat. Ada juga yang menyelinginya dengan lelang dendang. Hasil dari kegiatan lelang tersebut digunakan untuk biaya pertunjukan Randai. Pertunjukan dibagi dalam dua sesi dalam satu malam. Sesi pertama selama dua jam, kemudian istirahat selama satu sampai dua jam. Pada masa istirahat inilah dilaksanakan lelang kue dan pertunjukan kesenian lainnya. Sesi kedua merupakan bagian penutup pertunjukan pada malam tersebut dilakukan sampai dengan durasi tiga jam atau sampai batas azan subuh. Bila cerita yang dibawakan tidak tuntas pada satu malam, maka cerita akan dilanjutkan pada pertunjukan esok malamnya. Pertunjukan Randai juga ikut membangun perekonomian masyarakat sekitar. Para pedagang tersebut menjual beraneka ragam makanan dan ada juga yang membuat warung sementara di sekitar tempat pertunjukan. Kehadiran pedagang ini juga merupakan pertimbangan jumlah hari pertunjukan. VII. Organisasi/Struktur Pelaku Pertunjukan Pertunjukan 1. Urang Tuo (penghulu/pawang) Merupakan orang yang di tuakan dalam kelompok Randai. 2. Tuo Randai Merupakan pimpinan dalam pertunjukan Randai. Urang tuo tidak dipilih berdasarkan umur, tapi berdasarkan pemahamannya terhadap Randai dan kewibawaannya dalam memimpin kelompok. 3. Tuo Dendang Penanggung jawab dendang atau pimpinan biduan. 4. Tuo Carito Bertanggungjawab terhadap cerita yang dibawakan serta mendendangkannya. 5. Anak Randai Anak Randai adalah sebutan untuk para pemain Randai yang terdiri dari pemeran dan pemain gelombang. Seluruh pemain awalnya laki-laki, begitu juga dengan biduan yang juga berperan sebagai tokoh perempuan. Berikut beberapa alasan kenapa Randai tidak melibatkan perempuan dalam permainanannya :
- Kesenian tradisi Minang Kabau merupakan pamenan urang tuo, pamainan anak mudo. Kata pamenamenunjuk kepada sesuatu milik yang sangat disenangi dan berharga. Kata pamainan menunjuk kepada keahlian, kecekatan, kepintaran dan kelincahan seseorang. Pamenan urang tuo artinya ; milik orang yang dituakan dalam lembaga adat (pemimpin adat), bukan orang yang berumur tua. Pamainan anak mudo artinya ; dimaikan oleh orang yang muda di dalam struktur adat walau umurnya sudah tua (masyarakat).
- Waktu pertunjukan malam hari hingga subuh. Secara Adat tidak dibenarkan perempuan untuk berlarut malam diluar rumah.
- Membutuhkan fisik yang kuat dan sebagian besar menggunakan ilmu kebatinan.
- Bentuk pertunjukanya atraktif, maka tidak tepat dilakukan oleh perempuan.
- VIII. Kostum
Kostum pemain Randai dipengaruhi oleh kostum Teater Komedi Bangsawan.
- Tokoh Pria : memakai teluk belanga (Baju silat), celana galembong dan menggunakan selempang.
- Tokoh Perempuan : Kebaya dipadukan dengan songket dan menggunakan selempang.
Semua aktor/pemain memakai kacamata hitam. Kostum yang dipakai merupakan milik pribadi pemain, bukan kelompok. Oleh karena itu warna kostum tidak seragam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H