Mohon tunggu...
Atin Agustin
Atin Agustin Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahsiswa

seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Cukai untuk Si Manis Beresiko

29 Mei 2024   21:30 Diperbarui: 29 Mei 2024   21:32 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Konsumsi minuman berpemanis (Sugar-Sweetened Beverages) kini menjadi kegandrungan di masyarakat terutama anak-anak, remaja dan generasi muda, seolah minuman ini dianggap lebih mewah dan bernilai gizi lebih dibandingkan dengan mengkonsumsi air mineral. Minat masyarakat didukung dengan murahnya harga minuman kemasan, cukup merogoh kantong minimal 1000 rupiah sudah dapat memilih dengan berbagai variasi rasa, minuman ini juga sangat mudah didapatkan, hampir semua toko menjualnya.

Dari toko terdekat rumah hingga swalayan bergengsi, kantin sekolah, bahkan kini mulai menjadi tren dengan adanya kedai-kedai pinggir jalan yang menerapkan konsep kekinian mulai menjual minuman berpemanis dengan varian rasa beragam. Masyarakat tinggal memilih minuman mana yang sesuai dengan kantongnya bahkan mereka (anak-anak) bisa membeli dan mengkonsumsinya sendiri tanpa pengawasan yang cukup dari orang tua.

Promosi yang gencar di semua lini media dengan iklan yang menarik seakan menguatkan pilihan masyarakat bahwa minuman ini layak untuk dijadikan icon konsumsi. Rasa manis dengan tambahan gula dapat melepas dopamine otak sehingga penikmat minuman ini menjadi bahagia, hal ini menjadikan candu hingga ingin mengkonsumsinya secara terus-menerus.

Minuman berpemanis ini tersedia dalam berbagai jenis, mulai susu, teh,kopi , jus buah atau sayur, minuman berkarbonasi dan minuman berenergi. Jenis gula tambahan pada minuman berpemanis dapat berupa sukrosa, gula putih, gula merah, madu, dan high corn fructose syrup (HCFS). Tingginya kandungan gula pada minuman ini  dapat berdampak besar terhadap asupan kalori setiap harinya.

Potret kegandrungan konsumsi minuman berpemanis ini sesuai dengan Hasil Riset Center For Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) Tahun 2022 tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk MBDK masih cukup tinggi yaitu 1-6 kali per minggu (46,8%). padahal minuman kemasan yang beredar di Indonesia mengandung gula sebanyak 37–54 gram dengan sumbangan kalori sebesar 310–420 kkal (Akhriani M, 2016), hal ini tidak sesuai dengan rekomendasi World Health Organization (WHO) untuk membatasi asupan gula tambahan <5% dari total asupan energi harian dan American Heart Association (AHA) menganjurkan konsumsi gula tambahan bagi anak usia 2–18 tahun adalah <25 gram per hari.

Data tersebut sejalan dengan dinobatkannya Indonesia menjadi negara ke-3 dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) terbanyak di Asia Tenggara pada tahun 2020. Laporan Center For Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) memaparkan bahwa konsumsi MBDK  terjadi peningkatan 15 kali lipat dalam dekade terakhir, tentu saja ini bukan menjadi prestasi yang membanggakan, peningkatan yang signifikan ini berimplikasi pada berbagai resiko penyakit tidak menular (PTM) hingga akan menjadi PR besar negara dalam mengatasinya, PTM yang  prevalensinya semakin meningkat akan diiringi dengan anjloknya produktivitas masyarakat serta angka kesakitan yang semakin tinggi.

Kekhawatiran peningkatan PTM sejalan dengan hasil Survei Kesehatan Indonesia pada tahun 2023, data tersebut menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kejadian obesitas, jika pada tahun 2018  21,8 % kini menjadi  23,4%, tentu saja kenaikan angka ini salah satu penyebabnya adalah berlebihan dalam konsumsi minuman berpemanis, bahkan Indonesia menjadi sorotan WHO karena menjadi negara dengan Tingkat obesitas tertinggi di Asia Tenggara.

Temuan tersebut harus segera diatasi lantaran obesitas menjadi faktor resiko berbagai penyakit tidak menular (PTM)  seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, kerusakan hati, dan ginjal, bahkan Kementerian Kesehatan merilis tiga penyakit penyebab kematian tertinggi di indonesia  yaitu stroke, jantung dan diabetes. konsumsi MBDK berkaitan erat dengan prevalensi diabetes hal tersebut dirilis oleh International Diabetes Federation (IDF).  

Penyakit diabetes ini tidak hanya menyerang orang dewasa saja,  Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan  diabetes juga menyerang anak-anak , hingga 31 januari 2023 telah terjadi peningkatan kasus 70 kali lipat, ini menjadi mimpi buruk yang harus diatasi segera, apalagi di tahun 2045 Indonesia mendapat bonus demografi yang seharusnya anak-anak dipersiapkan sebaik mungkin dari segi kesehatan dan mental, untuk membangun negara yang berdaya saing tinggi.

Fenomena diabetes ini menyiratkan minuman berpemanis telah menjadi candu bahkan semenjak usia dini, jika sekedar  memberikan edukasi saja tentu tidak akan membuahkan hasil karena sudah menjadi budaya konsumsi yang  mengakar kuat di Masyarakat, pengendalian MBDK urgen dan membutuhkan intervensi negara, salah satu Upaya yang dinilai efektif adalah kebijakan pengenaan cukai pada MBDK.

Karakteristik barang yang dapat dikenai cukai adalah barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, paparan ini termuat dalam undang-undang nomor 39 tahun 2007 tentang cukai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun