Nama : Atika Rahma F
No : 305
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah. Penuh nanah
Seperti udara, kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas. Ibu…Ibu..
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas. Ibu..Ibu..
Iwan Fals
Sepotong Hati untuk Ibunda
Semarang, 22 Desember 2013
Teruntuk wanita yang selalu dengan sepenuh hati mengerahkan segala pengorbanannya,
Ibu, telah sampaikah rapalan doa yang kugenggam dalam setiap hela napas yang kutujukan kepada Tuhan dalam perbincangan kami tentangmu? Aku selalu berharap kau akan tetap berada dalam lindungan-Nya. Berharap kau akan terus menghirup napas kebahagiaan selagi jemariku masih sanggup merapal doa hanya untukmu, lentera hidupku.
Percayakah bahwa hidup telah memberiku berjuta kebahagiaan yang terlintas menggores lembar kehidupanku yang kosong? Namamu ada di antara berjuta lainnya. Kaulah yang pertama, yang melukis senyum indah dan cinta yang tak ternilai harganya. Begitu besar. Begitu sulit untukku menerka-nerka balas kasih yang bisa kuberi untukmu kelak.
Kasihmu sungguhlah tak terkira. Kauyang mengandungku. Selama sembilan bulan dengan perut yang membesar dan berkali-kali sakit merajammu, kautetap menungguku. Kau tetap menantiku hingga dengan butir air matamu, kauucap bahwa kau bahagia kutelah terlahir di dunia—melalui rahim kokohmu.
Maafkan aku, Ibu. Meski berkali-kali kutahu segalanya seberat itu, hatiku masih terlalu kecut untuk bisa membuat napasmu tidak terdengar berat. Terkadang sering menyakitkan hati, membuatku semakin lupa diri, bahwa kala itu hatimu perlahan terluka tak terobati.
Aku terlalu bodoh. Aku bodoh untuk tidak menyadari segala hal yang kaulakukan adalah yang membuatku untuk bisa terus hidup seperti ini. Masih kuingat, betapa segala perjuangan seorang ibu yang tak tertandingi oleh siapapun. Demi buah hati, hidup atau mati—kautanggung sendiri.
Saat itu aku sedang tertidur di atas ranjang yang empuk. Kakak sedang berjuang melawan nyeri atas ketidakjemuan usus yang terus melilit. Sekujur tubuhnya kaku. Beku. Berkali-kali pakaiannya berganti karena seringkali ia muntah tanpa terduga. Lalu kausegera mencuncinya, ketika saat itu tak ada mesin cuci, kaumencucinya dengan sikat dan tubuhmu bersimpuh di atas kursi kayu yang hampir menyentuh lantai.
Meski kusaksikan, saat itu adalah delapan bulan kehamilan bungsumu.
Dan Ibu, kauterpeleset. Kauterjatuh. Namun dengan sigap Ayah membopongmu ke dalam kamar. Aku terlalu jahat, bukan? Aku anakmu yang paling tidak tahu diri. Aku hanya menyaksikan tubuhmu yang ringkih dan suaramu yang merintih kesakitan. Aku hanya mengernyit tanpa pernah tahu betapa sakit yang kaurasakan.
Maafkan pengecut ini, Ibu.
Mungkin jika bisa kumeminta waktu untuk kembali pada masa itu, takkan kubiarkan kauterluka walau hanya seujung jari. Takkan kubiarkan sakit merajammu, bahkan menyentuh hidupmu. Karena dengan peluhmu, Ibu, kurasa aku akan sangat menyesal bila saat itu kauterluka parah, lalu berdarah, dan aku tak ingin melihatmu terlentang di atas kasur putih di bawah ruang beratap putih dan berbau zat-zat kimia. Kemudian melalui selimut putih itu, darah segar akan mengalir setiap detik dan rintihan demi rintihan membuncah dari mulutmu yang keriput. Aku tidak mau, Ibu. Aku akan sangat menyesal bila semua itu benar-benar terjadi.
Maafkan, aku, yang tak pernah bisa memutar waktu untuk kembali.
Dan Ibu, ingatkah ketika kaumenjamah lembut jemariku dan mataku terbeliak menatapmu? Kuisyaratkan dalam binar mata yang membara, aku telah tumbuh sebagaimana permohonan Tuhan lewat lantunan doamu. Kauingin aku menjadi gadis kecil yang pandai, sehingga dengan jemari lembutmu, kautuntun aku melintasi lorong-lorong jalan yang sempit dan meski berkali-kali rintangan menghadang, kautetap berada di sampingku. Menjagaku. Hingga tubuhku bersitegap menatap megahnya bangunan tua berlumurkan cat berwarna cokelat dan penuh dengan lubang sana-sini. Itulah yang kausebut sekolah. Tempatku kelak akan memenuhi segala permintaanmu.
Ibu, tidakkah kausadari? Waktu telah membawaku pergi jauh dari kata ‘aku masih gadis kecilmu’. Selaksa jiwa, beralih dari masa ke masa. Peradaban tak kurasa lagi sama. Gelak tawa pun semakin berbeda. Namun kau masih tetap ada bersamaku. Meniti perjalanan panjang, meski terjal dan terkadang menyakitkan, kaumampu memeranginya bersamaku.
Pernahkah kauberpikir bahwa aku ini sangat mencintaimu, Ibu? Mengingat setelah sekian tahun lamanya kaukerahkan segala daya yang kaumiliki, bahkan hampir habis ditelan keringatmu sendiri, mulutku masih saja terkunci. Kutahu kau tak pernah sekalipun mendengar kata cinta dariku. Kusadar begitu berdosa diriku dibanding segala pengharapanmu; tentang buah hati yang selalu bisa berbakti, serta patuh terhadapmu dan Ayah—yang menghidupiku selayaknya aku menjadi sedewasa ini.
Bila ingin kautahu, Ibu. Meski sejuta tinta takkan sanggup menuliskan betapa rasa cinta ini telah menjadi sebuah kemutlakan yang ada dalam palung jiwa. Meski berkali-kali mulut meracau, menggumamkan kata cinta yang tiada habisnya kutujukan kepadamu, semua takkan pernah bisa mengalahkan apa yang pernah kauberi, yang kini akan tersimpan dalam hati—yang tergurat dan tergores rapi hanya dengan kasihmu.
Ibu, dapatkah kaupenuhi satu permintaanku? Tetaplah tinggal bersama Ayah dan mari kita saling merengkuh hidup bersama-sama. Mengarungi luas samudera dengan kapal kita sendiri. Bukankah tiada yang lebih indah dari sebuah kebersamaan?
Selama hidup, aku tak pernah menyadari arti penting dari hari ini. Bukan, Ibu. Bukan maksudku untuk mengabaikan semua yang menjadi sebuah penghormatan untukmu. Namun bukankah hari-hari lainnya akan selalu sama? Akan selalu ada hari ibu untuk Ibuku. Setiap hari adalah hari ibu. Harimu, Ibu.
Namun berkali-kali, maafkanlah anakmu ini. Yang selalu tak berhasil menggurat senyum bahagia di sudut bibirmu yang acapkali tersenyum kecut karena kegelisahanmu. Aku selalu tak berhasil menyejukkan hatimu yang seringkali tergores karena kesalahan yang dengan sengaja kutujukan untukmu.
Maafkan aku, Ibu.
Bu, dari sekian juta detik kita saling menghela napas dengan udara yang sama. Saling merindu di bawah naungan langit yang sama. Saling bercengkerama dengan diaroma indahnya fatamorgana ibukota, bukankah seharusnya kita saling bertukar cerita?
Mengapa mulutku seketika bungkam jika berbicara tentang cinta?
Ibu, apakah aku masih tetap gadis kecilmu? Jika benar, mengapa lantas kumalu jika mulutku harus bercerita tentang bahagia dan air mata yang kudapat dari cinta lain—selain darimu, juga dari Ayah? Bukankah cinta yang semacam itu sudah menjadi retorika? Bukankah selayaknya hal itu hanyalah hal biasa?
Namun cinta ini, bukanlah sama seperti apa yang kudapat darimu. Cinta yang ini, akan lebih memberiku air mata daripada senyum bahagia seperti apa yang kauguratkan dalam keikhlasan hatimu. Aku berhasil terkelabui oleh mereka, Ibu. Mereka berkata cinta akan selalu membahagiakan. Namun nyatanya cinta membekaskan duka pada hati yang semakin banyak menggores nganga luka.
Katakan padaku, Ibu, mengapa cinta harus berakhir menyakitkan? Juga mengapa harus ada perpisahan bila pertemuan begitu manis terasa? Segalanya tak mudah kuketahui, mungkin dengan cinta kasihmu, Ibu—tempatku mencari-cari jawaban atas perasaan yang terluka perlahan-lahan. Tempatku mencari penerang bila perlahan duniaku berubah temaram.
Karena kau lentera hidupku.
Ah, Ibu. Apakah aku ini sudah dewasa? Bukankah dalam suatu waktu akan kulalui hidup tanpamu? Anakmu akan berlabuh, menyisir bahtera hidup menuju pelabuhan baru. Tuhan menjanjikan setiap makhluknya untuk saling berpasang-pasangan. Bukankah artinya aku akan mendapatkan pasangan dalam hidupku? Aku akan merengkuh hidup baru bersama pasanganku—orang yang Tuhan pilihkan untukku.
Bukankah itu menyenangkan, Ibu?
Maukah kau menceritakan bagaimana bahtera itu akan menjadikanmu bahagia sampai hari ini? Apakah cinta juga yang menjadikanmu menggenggam erat ikatan tali sucimu bersama Ayah, hingga tak mampu lagi kaumenggenggamnya? Ibu, kumohon, jangan menangis. Aku berjanji, aku tak akan sepenuhnya meninggalkanmu. Aku akan berlabuh untuk sesaat tenggelam dalam selaksa rasa yang kubangun berdua dengan orang terpilih. Setelahnya, aku akan kembali membayar hutangku, Ibu. Hutang yang tak ternilai harganya. Hutang yang tak mungkin bisa kupenuhi seluruhnya.
Cintamu. Seluruh pengorbananmu.
Katakan padaku, bagaimana aku harus membayar hutang-hutang itu. Karena di manapun tak kutemui cinta yang besar seperti milikmu. Meski ragaku berhasil menembus alam mimpi dan jiwaku melayang dalam sebuah negeri antah-berantah—takkan pernah kutemui insan sepertimu. Ibu, hanyalah satu; milikku, dengan segala cinta yang tiada batas dan takkan habis ditelan waktu untuk kauberikan kepadaku—kepada buah hatimu. Meski maut memisahkan. Meski senja tak mampu lagi menjadi saksi atas perjalanan kita.
Meski langit tak lagi menjadi atap kita.
“Cintamu, Ibu, akan selalu tersimpan di sini; di dalam hati.”
Katakan padaku bila rapal doa itu tak juga sampai kepadamu. Akan kupastikan bahwa doaku akan lebih kuat untuk meminta Tuhan menjagamu di setiap napas yang kauhela. Karena setiap napasmu, adalah bahagiaku. Setiap detak jantungmu, adalah hidupku.
Dan kupercaya pada cinta yang akan selalu membahagiakan, bila Ibu yang meyakinkanku betapa seringainya telah mengetuk pintu hati dan terbuka segala asa untuk segera merasakannya. Sungguh manis. Aku terbuai di dalamnya. Ibu, kemarilah. Rasakan detak jantung ini mulai menggumamkan sebuah melodi sumbang.
Dalam setiap resonansinya kurasakan indahnya cinta.
Kuyakin itu kau; Ibu.
Salam terhangat dari buah hati
yang selalu meminta Tuhan untuk
terus menjagamu,
Atika.
NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H