Bukankah itu menyenangkan, Ibu?
Maukah kau menceritakan bagaimana bahtera itu akan menjadikanmu bahagia sampai hari ini? Apakah cinta juga yang menjadikanmu menggenggam erat ikatan tali sucimu bersama Ayah, hingga tak mampu lagi kaumenggenggamnya? Ibu, kumohon, jangan menangis. Aku berjanji, aku tak akan sepenuhnya meninggalkanmu. Aku akan berlabuh untuk sesaat tenggelam dalam selaksa rasa yang kubangun berdua dengan orang terpilih. Setelahnya, aku akan kembali membayar hutangku, Ibu. Hutang yang tak ternilai harganya. Hutang yang tak mungkin bisa kupenuhi seluruhnya.
Cintamu. Seluruh pengorbananmu.
Katakan padaku, bagaimana aku harus membayar hutang-hutang itu. Karena di manapun tak kutemui cinta yang besar seperti milikmu. Meski ragaku berhasil menembus alam mimpi dan jiwaku melayang dalam sebuah negeri antah-berantah—takkan pernah kutemui insan sepertimu. Ibu, hanyalah satu; milikku, dengan segala cinta yang tiada batas dan takkan habis ditelan waktu untuk kauberikan kepadaku—kepada buah hatimu. Meski maut memisahkan. Meski senja tak mampu lagi menjadi saksi atas perjalanan kita.
Meski langit tak lagi menjadi atap kita.
“Cintamu, Ibu, akan selalu tersimpan di sini; di dalam hati.”
Katakan padaku bila rapal doa itu tak juga sampai kepadamu. Akan kupastikan bahwa doaku akan lebih kuat untuk meminta Tuhan menjagamu di setiap napas yang kauhela. Karena setiap napasmu, adalah bahagiaku. Setiap detak jantungmu, adalah hidupku.
Dan kupercaya pada cinta yang akan selalu membahagiakan, bila Ibu yang meyakinkanku betapa seringainya telah mengetuk pintu hati dan terbuka segala asa untuk segera merasakannya. Sungguh manis. Aku terbuai di dalamnya. Ibu, kemarilah. Rasakan detak jantung ini mulai menggumamkan sebuah melodi sumbang.
Dalam setiap resonansinya kurasakan indahnya cinta.
Kuyakin itu kau; Ibu.
Salam terhangat dari buah hati
yang selalu meminta Tuhan untuk
terus menjagamu,
Atika.