Mohon tunggu...
Atika Rahma F
Atika Rahma F Mohon Tunggu... -

simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Sepotong Hati untuk Ibunda

22 Desember 2013   10:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Percayakah bahwa hidup telah memberiku berjuta kebahagiaan yang terlintas menggores lembar kehidupanku yang kosong? Namamu ada di antara berjuta lainnya. Kaulah yang pertama, yang melukis senyum indah dan cinta yang tak ternilai harganya. Begitu besar. Begitu sulit untukku menerka-nerka balas kasih yang bisa kuberi untukmu kelak.

Kasihmu sungguhlah tak terkira. Kauyang mengandungku. Selama sembilan bulan dengan perut yang membesar dan berkali-kali sakit merajammu, kautetap menungguku. Kau tetap menantiku hingga dengan butir air matamu, kauucap bahwa kau bahagia kutelah terlahir di dunia—melalui rahim kokohmu.

Maafkan aku, Ibu. Meski berkali-kali kutahu segalanya seberat itu, hatiku masih terlalu kecut untuk bisa membuat napasmu tidak terdengar berat. Terkadang sering menyakitkan hati, membuatku semakin lupa diri, bahwa kala itu hatimu perlahan terluka tak terobati.

Aku terlalu bodoh. Aku bodoh untuk tidak menyadari segala hal yang kaulakukan adalah yang membuatku untuk bisa terus hidup seperti ini. Masih kuingat, betapa segala perjuangan seorang ibu yang tak tertandingi oleh siapapun. Demi buah hati, hidup atau mati—kautanggung sendiri.
Saat itu aku sedang tertidur di atas ranjang yang empuk. Kakak sedang berjuang melawan nyeri atas ketidakjemuan usus yang terus melilit. Sekujur tubuhnya kaku. Beku. Berkali-kali pakaiannya berganti karena seringkali ia muntah tanpa terduga. Lalu kausegera mencuncinya, ketika saat itu tak ada mesin cuci, kaumencucinya dengan sikat dan tubuhmu bersimpuh di atas kursi kayu yang hampir menyentuh lantai.
Meski kusaksikan, saat itu adalah delapan bulan kehamilan bungsumu.
Dan Ibu, kauterpeleset. Kauterjatuh. Namun dengan sigap Ayah membopongmu ke dalam kamar. Aku terlalu jahat, bukan? Aku anakmu yang paling tidak tahu diri. Aku hanya menyaksikan tubuhmu yang ringkih dan suaramu yang merintih kesakitan. Aku hanya mengernyit tanpa pernah tahu betapa sakit yang kaurasakan.

Maafkan pengecut ini, Ibu.

Mungkin jika bisa kumeminta waktu untuk kembali pada masa itu, takkan kubiarkan kauterluka walau hanya seujung jari. Takkan kubiarkan sakit merajammu, bahkan menyentuh hidupmu. Karena dengan peluhmu, Ibu, kurasa aku akan sangat menyesal bila saat itu kauterluka parah, lalu berdarah, dan aku tak ingin melihatmu terlentang di atas kasur putih di bawah ruang beratap putih dan berbau zat-zat kimia. Kemudian melalui selimut putih itu, darah segar akan mengalir setiap detik dan rintihan demi rintihan membuncah dari mulutmu yang keriput. Aku tidak mau, Ibu. Aku akan sangat menyesal bila semua itu benar-benar terjadi.

Maafkan, aku, yang tak pernah bisa memutar waktu untuk kembali.

Dan Ibu, ingatkah ketika kaumenjamah lembut jemariku dan mataku terbeliak menatapmu? Kuisyaratkan dalam binar mata yang membara, aku telah tumbuh sebagaimana permohonan Tuhan lewat lantunan doamu. Kauingin aku menjadi gadis kecil yang pandai, sehingga dengan jemari lembutmu, kautuntun aku melintasi lorong-lorong jalan yang sempit dan meski berkali-kali rintangan menghadang, kautetap berada di sampingku. Menjagaku. Hingga tubuhku bersitegap menatap megahnya bangunan tua berlumurkan cat berwarna cokelat dan penuh dengan lubang sana-sini. Itulah yang kausebut sekolah. Tempatku kelak akan memenuhi segala permintaanmu.

Ibu, tidakkah kausadari? Waktu telah membawaku pergi jauh dari kata ‘aku masih gadis kecilmu’. Selaksa jiwa, beralih dari masa ke masa. Peradaban tak kurasa lagi sama. Gelak tawa pun semakin berbeda. Namun kau masih tetap ada bersamaku. Meniti perjalanan panjang, meski terjal dan terkadang menyakitkan, kaumampu memeranginya bersamaku.

Pernahkah kauberpikir bahwa aku ini sangat mencintaimu, Ibu? Mengingat setelah sekian tahun lamanya kaukerahkan segala daya yang kaumiliki, bahkan hampir habis ditelan keringatmu sendiri, mulutku masih saja terkunci. Kutahu kau tak pernah sekalipun mendengar kata cinta dariku. Kusadar begitu berdosa diriku dibanding segala pengharapanmu; tentang buah hati yang selalu bisa berbakti, serta patuh terhadapmu dan Ayah—yang menghidupiku selayaknya aku menjadi sedewasa ini.

Bila ingin kautahu, Ibu. Meski sejuta tinta takkan sanggup menuliskan betapa rasa cinta ini telah menjadi sebuah kemutlakan yang ada dalam palung jiwa. Meski berkali-kali mulut meracau, menggumamkan kata cinta yang tiada habisnya kutujukan kepadamu, semua takkan pernah bisa mengalahkan apa yang pernah kauberi, yang kini akan tersimpan dalam hati—yang tergurat dan tergores rapi hanya dengan kasihmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun