Mohon tunggu...
Atika Khusnul
Atika Khusnul Mohon Tunggu... -

sesayang apapun aku terhadap hobi ku masih ada satu hal yang berarti... lebih penting dan lebih bermakna yaitu "kamu"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Dugderan di Kota Lumpia

17 Januari 2015   21:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:56 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dugderan di Semarang merupakan suatu tradisi yang sudah berlangsung sejak lama yang tetap dilestarikan hingga sekarang yang dikenal oleh masyarakat. Dugderan dikenal sebagai tanda datangnya bulan suci Ramadhan, diselenggarakan upacara dengan membunyikan suara bedug (Dug-dug-dug) dan dentuman suara meriam (Der). Sehingga jadilah istilah Dug-der, dug deran. Dalam keramaian tersebut dapat dijumpai kegiatan pasar malam yang berlokasi di Pasar Johar dan berakhir dengan karnaval dugderan yang biasanya dihiasi dengan atribut budaya, salah satunya yang sangat dikenal dengan sebutan “Warak Ngendhok”.

Warak Ngendhok adalah binatang khayali yang menjadi maskot kota Semarang. Konon, ceritanya ia merupakan hasil perpaduan budaya Jawa, Cina, Arab dalam struktural masyarakat Semarang awal. Arak-arakan ini menempuh rute dari Balai Kota Semarang menuju Masjid kauman di dekat Pasar Johar. Kemudian dilanjutkan ke Masjid Agung Jawa Tengah di Jalan Gajah, Gayamsari. Puncak dugderan yeng berlangsung sehari sebelum puasa pertama. Setelah sholat ashar, para ulama setempat mengadakan musyawarah untuk menetapkan awal puasa Ramadhan. Dan hasil musyawarah diumumkan dengan pemukulan bedug oleh Walikota Semarang sebagai tanda awal puasa. Kemudian diakhiri dengan pembacaan doa. Ritual dugderan sudah berlangsung seabad lebih. Dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, dugderan banyak mengalami perubahan seiring perkembangan kebutuhan dan struktur masyarakat Semarang. Perubahan itu tampak jelas dalam hal bentuk dan fungsinya. Pelaksanaan dugderan pun sudah berubah. Jika dulu hanya berpusat di area-area tertentu contohnya di Masjid Kauman dan Pasar johar, dan kini sudah meluas di Masjid Agung Jawa Tengah juga. Tujuan pembagian lokasi ini adalah untuk menyediakan lahan bagi para pedagangyang kian meningkat setiap tahunnya, dan sekaligus untuk mengurangi kemacetan. Tetapi sayangnya tujuan ini belum tercapai sepenuhnya, justru kesemprawutan dan kemacetan lalu lintas yang terjadi.

Banyak masyarakat semarang dan sekitarnya yang antusias menyaksikan festival rakyat yang diadakan setahun sekali. Maka tradisi ini tetap dilestarikan hingga sekarang dan menjadi ciri khas budaya Kota Semarang menjelang datangnya bulan puasa bagi umat Islam. Meskipun Dugderan masih dilaksankan sampai saat ini, namun dugderan seolah kehilangan makna yang didalamnya. Tradisi ini terancam dikesampingkan dengan berjalannya waktu, karena perayaan dugderan seolah hanya untuk merauk keuntungan. Religiusitas tidak lagi menjadi nilai utamanya, melainkan hanya menjadi latar belakangnya saja. Perlu adanya perhatian serius dari segenap masyarakat akan keberlangsungannya tradisi dugderan yang selama ini sudah berlangsung sejak lama. Perlu adanya pematangan konsep acara, sehingga nilai-nilai itu tidak saling tumpang tindih dan pelaksanaan semakin menarik dan tertata. Perlu ada perubahan, namun tidak semuanya berubah. Ada nilai-nilai yang harus tetap dipertahankan agar tradisi ini tidak kehilangan maknanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun