Pendidikan sangat dibutuhkan individu karena itu bersifat wajib ada sehingga seluruh aspek kehidupannya akan saling berhubungan dengan pendidikan. Pendidikan yang tercukupi akan membantu tercapainya cita-cita sebuah bangsa maupun individu. Nasib sebuah bangsa ke depannya bergantung bagaimana sistem pendidikan masing-masing. Fungsi pendidikan adalah untuk menciptakan individu yang mempunyai kualitas yang istimewa. Selain itu pendidikan juga memiliki daya saing yang tinggi dalam berupaya memperbaiki dan menaikkan mutu sebuah kehidupan.
Supaya masyarakat dapat meningkatkan ilmu pengetahuannya dalam bidang kreatifitas, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya, maka dibutuhkan penguasaan ilmu-ilmu tersebut karena itu penting sebagai tuntunan di era global ini. Untuk menciptakan individu yang mempunyai mutu serta daya saing tinggi disamping memiliki penguasaan dalam bidang ilmu dan teknologi juga dibutuhkan suatu keterampilan dalam berkomunikasi. Kemampuan untuk dapat berkomunikasi sangat diperlukan bagi mahasiswa supaya mempunyai hubungan yang baik kepada masyarakat luas. Manusia mempunyai tuntutan untuk dapat melakukan interaksi dan berkomunikasi dengan orang lain supaya dapat mencukupi kebutuhannya untuk kelangsungan hidupnya. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua mahasiswa bisa melakukan komunikasi yang lancar dengan orang lain, baik dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di kampus maupun di luar kampus. Rintangan pada mahasiswa dalam melakukan komunikasi adalah adanya communication apprehensio/kecemasan dalam berkomunikasi.
Mahasiswa biasanya menunjukkan kecemasan pada saat berkomunikasi, dapat dilihat ketika ia disuruh untuk menyampaikan pendapatnya, ketika disuruh untuk bertanya, juga dapat dilihat ketika ia sedang presentasi. Kecemasan dapat terjadi pada mahasiswa dengan beberapa alasan, yaitu salah satunya adalah kurang fahamnya sebuah materi yang sedang ia hadapi, selain itu dapat juga terjadi akibat ketakutan akan kegagalan yang akan diterimanya saat presentasi, sistem kurikulum yang terlalu ketat sehingga membuat mahasiswa merasa tertekan dan berfikir bahwa ia akan mendapatkan amarah dari dosen jika mengalami kesalahan, atau bisa juga karena sikap dan perilaku dosen yang terlalu kaku sehingga membuat mahasiswa merasa takut.
Ketika ia mengalami sebuah kecemasan, maka presentasi yang akan dilakukan tidak akan berjalan sesuai dengan harapannya. Presentasi akan dinilai lebih tidak menarik karena gugupnya mahasiswa ketika di depan kelas. Dengan begitu, ia akan merasa gagal dan kemudian ia akan menyalahkan dirinya sendiri. Hal tersebut yang membuat mental tidak sehat.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan konseling. Teknik yang dapat digunakan untuk masalah ini yaitu teknik behavior. Teknik behavior adalah bentuk adaptasi dari aliran behavioristik.[1] Model desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling yang berfokus pada pemberian bantuan dengan cara menenangkan klien dari kecemasan yang ia alami dengan membuat klien untuk rileks.[2] Model ini dapat membantu manangani berbagai kondisi penghasil kecemasan contohnya kecemasan saat presentasi tersebut. Oleh karena itu model ini sangat tepat untuk membantu penyelesaian permasalahan pada kali ini. Model desensitisasi sistematis adalah penanganan berupa relaksasi. Model ini dapat digunakan dengan cara merileksasikan otot-otot sampai ia merasa tenang. Sebelum memulai model ini, konseli akan diberikan informasi-informasi yang berkaitan dengan relaksasi. Mulai dari cara-caranya relaksasi, cara pengguanaan dalam kehidupan sehari-hari. Pada model ini juga konseli disuruh akan membayangkan hal-hal yang membuatnya lebih santai dan tenang, misalnya saat sedang ia berada di pantai. Konseli diminta untuk benar-benar merasakan kedamaian dan ketenangan dalam tingkat yang tinggi. Jadi metode ini cocok untuk meminimalisir kecemasan saat ia melakukan presentasi di depan kelas, maupun di luar pembelajaran pun. Desensitisasi sistematis pada dasarnya digunakan dalam menghilangkan perilaku yang negatif dan model terapi ini digunakan sampai tingkah laku sebelumnya yang negati melemah sehingga tergantikan oleh perilaku berlawanan yang positif. Hal tersebut dapat dilakukan sebelum melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan kecemasan termasuk diantaranya ketika sebelum presentasi.
 Selain teknik di atas terdapat teknik lain, yaitu dengan menggunakan restrukturisasi kognitif. Teknik ini merupakan bagian dari teknik behavior dimana pada teknik ini berfokus pada perubahan terhadap pemikiran konseli. Restrukturisasi kognitif berpusat pada perubahan pemikiran konseli yang cenderung negatif dan irrasional. Teknik ini menerapkan asumsi tentang respon tingkah laku dan emosional yang maladaptif yang dipengaruhi kepercayaan dan persepsi pada konseli.[3]
 Berikut merupakan proses konseling pada teknik restrukturisasi kognitif:
 Assesmen dan Diagnosa
Pada proses ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang keadaan mahasiswa yang mengalami kecemasan yang akan disembuhkan serta mengantisipasi kemunkinan terjadinya kekeliruan pada proses penyembuhan.
Identifikasi persepsi yang negatif
Pada proses ini mahasiswa diminta untuk melakukan intropeksi atau pemanggilan pengalaman-pengalaman yang telah berlalu.