gambar: koleksi peribadi
Salah satu kebiasaan yang saya sendiri tidak tahu apakah itu baik atau tidak, kebiasaan membaca setiap spanduk atau sejenisnya yang saya jumpai di jalan, mulai dari yang sifatnya politis maupun yang berisi iklan produk/jasa, seperti salah satu spanduk perumahan yang gambarnya terpampang di atas.
Ketika membaca spanduk tersebut, saya meresponnya dengan tertawa sendiri, "wah sangat provokatif nih" pikirku. Namun, semakin jauh jarak saya dengan spanduk itu, semakin penasaran rasanya untuk mengetahui motif dibalik pembuatan pesan tersebut.
Bagian pemasaran sebuah developer perumahan, seperti apapun bentuk pesan yang disajikan, dan melalui media apapun pesan itu disampaikan, pasti tujuan utamanya adalah bagaimana pesan itu bisa sampai ke calon pembeli sehingga mereka tertarik dan pada akhirnya unit-unit perumahan mereka habis laku terjual.
Memang, salah satu daya tarik yang harus termuat dalam sebuah pesan adalah emosional, yakni bagaimana seorang pembuat pesan mengemas pesan yang bisa membangkitkan emosi khalayak sasaran. Dan sasaran utama dari pesan itu adalah para pasangan muda yang belum memiliki rumah.
Ada beberapa interpretasi yang bisa diambil dari kalimat "Malu tinggal di rumah mertua", diantaranya adalah pembuat pesan ingin menyentuh sisi emosional calon pembelinya bahwa "Apakah kamu tidak malu jika harus terus menerus tinggal di rumah mertua karena belum memiliki rumah?" atau "Apakah kamu tahu kalau tinggal di rumah mertua itu sebenarnya sangat memalukan?"
Selain sisi emosionalnya, saya melihat ada muatan yang bersifat rasional dan motivasional dalam pesan itu. Setelah calon pembeli yang menjadi sasarannya tersentuh secara emosional dengan kalimat provokatif "Malu tinggal di rumah mertua", pembuat pesan lalu memberikan sebuah solusi yang merupakan usaha untuk menyentuh logika calon pembelinya dengan mengatakan bahwa "walaupun sekarang harga rumah semakin tinggi, namun jangan khawatir, masih ada kami yang siap membantu anda. Kami sudah menyediakan rumah dengan harga terjangkau" seperti itulah kira-kira bahasa tersirat yang bermain di imajinasi saya.
Sang desainer pun kemudian mengemas pesannya dalam satu kalimat singkat "Hanya dengan DP 5 Jt, sudah bisa memiliki rumah", selesailah pesan itu. Kini giliran calon pembeli untuk mengambil keputusan apakah akan mengikuti solusi yang ditawarkan oleh pembuat pesan atau menolaknya dengan tetap tinggal di rumah mertua.
Masih banyak analisis yang dapat mengkaji pesan tersebut, namun melalui tulisan ini saya hanya ingin mengatakan bahwa penilaian saya terhadap isi spanduk itu kini berubah. Yang awalnya saya menilai bahwa spanduk itu sangat provokatif, ternyata juga sarat dengan motivasi. Motivasi terhadap para pasangan baru yang belum memiliki rumah untuk berusaha lebih giat lagi, dan lebih berani dalam mengambil keputusan.
Semoga spanduk tersebut bisa menjadi inspirasi untuk langkah selanjutnya, khususnya bagi para pasangan baru yang masih tinggal di rumah mertua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H