"Dek! Kalau ke Pasar, bude titip gatot, ya" Bude Tut berkata sembari memberi uang lima ribu rupiah kepada Adek. Adek menerima sambil mengernyitkan kening tanda tidak paham.
"Ha! Gatot? Siapa itu, Ma?" Adek bertanya kepadaku.
Aku pun tersenyum,"Bukan siapa-siapa, Dek! Gatot itu makanan asli Jawa, anak zaman now tidak ada yang kenal gatot!"
"Aku tahu, Ma! Gatot itu artinya gagal total!" Adek tertawa.
Aku hanya menghela napas......dasar anak sekarang!
Puku 16.00 kawasan Pasar Murah Ramadan sudah penuh sesak pengunjung. Maghrib kurang satu jam lima belas menit lagi. Masih cukup waktu berputar-putar mencari pesanan ayah, anak-anak, dan bude. Ribetnya jika libur masak, saat berbuka setiap anggota punya pesanan sendiri-sendiri.
Mbak Inul,  aku  tidak tahu nama aslinya. Tetapi aku lebih suka memanggilnya Mbak Inul. Memang tinggi badannya tidak seperti Inul Daratista, penyanyi dang dut itu. Tingginya biasa saja, tetapi raut wajahnya mengingatkan aku dengan wajah Inul ketika pertama kali muncul di televisi. Pipinya nyempluk, kata orang Jawa. Kulitnya hitam manis. Yang menarik ketika berjualan, Mbak Inul selalu mengenakan kebaya Jawa, lengkap dengan jarit, dan rambut di sanggul. Mbak Inul tidak menggunakan gerobak atau meja untuk menggelar lapaknya, cukup di bakul besar dan digendong dengan selendang, tidak lupa caping sebagai penutup kepalanya. Bakul besar itu diletakkan di atas trotoar, Mbak Inul duduk disamping bakul di atas ndingklik melayani pesanan pembeli.
Penampilan Mbak Inul saat berjualan memang nyentrik, tetapi inilah daya tarik bagi pembeli. Gaya penampilan Mbak Inul sesuai dengan kuliner tradisional yang dijualnya. Di kota ku memang tidak ada pedagang makanan  seperti Mbak Inul. Didalam  bakul besarnya ada tiwul, sawut, gatot, dan grontol. Pada hari biasa Mbak Inul berjualan di Pasar Besar hanya  hari Selasa dan Jumat. Sedangkan hari Minggu Mbak Inul berjualan di alun-alun. Bisa dimaklumi mengapa Mbak Inul berjualan tidak setiap hari. Proses pembuatan makanan tradisional yang dijualnya cukup menyita waktu, terutama gatot, perlu waktu dua hari sampai siap saji.
"Ma, yang beli ramai banget, ya. Padahal makanannya tradisional banget." kata Adek melihat antrian pembeli di depan lapak Mbak Inul yang penuh sesak.
"Mungkin saja, orang sudah bosan dengan  pizza, atau roti burger." Jawabku asal aja.
"Ma. Yang disebut gatot yang mana?" Adek bertanya lagi.
Aku bisa memahami, anak zaman sekarang tentunya sangat asing dengan makanan tradisional yang satu ini. Berbeda dengan getuk, lemet, atau singkong goreng yang sudah sangat populer.
"Yang hitam itu gatot, kalau yang coklat itu mamanya tiwul, yang putih sawut, jagung pipil itu namanya grontol."Aku menerangkan. Entah apa yang ada dibenak anakku tentang gatot. Melihat bentuknya aku yakin dia tidak tertarik.
Kurang lima menit menuju adzan maghrib kami tiba di rumah. Semua pesanan sudah diterima empunya.
"Bude, ini gatot."Adek menyerahkan piring kecil berisi olahan singkong.
Bude diam saja, tapi tatapan matanya tidak lepas dari piring. Semua diam, bingung dengan sikap bude.
"Bude ga jadi makan gatot! Bude tukeran dengan adek aja,ya!" Bude menunjuk kue martabak mini yang dibeli Adek dengan topping keju coklat.
Aku menepuk jidat, Adek hanya melongo.
Gatot! Benar-benar gagal total ini acara buka bersama.....
Keterangan :
Gatot = olahan singkong dijemur kemudian difermentasi
Tiwul = olahan singkong yang dihaluskan
Sawut = olahan singkong parut
Grontol = olahan jagung pipil di kukus
Nyempluk = pipi tembem
Jarit  = kain khas Jawa
Caping = topi dari anyaman bambu
Ndingklik = kursi kecil dari kayu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H