Mohon tunggu...
Ati Atun Chasanah
Ati Atun Chasanah Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMK Negeri 2 Metro

Saya adalah guru di SMK Negeri 2 Metro pada kompetensi keahlian Teknik Kimia Industri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Budaya Positif Bermula dari Disiplin Positif

28 Oktober 2023   16:24 Diperbarui: 28 Oktober 2023   16:31 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lingkungan belajar yang positif (Sumber: pribadi)

Dalam proses pendidikan, lingkungan belajar merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan dari tujuan pendidikan yang dilakukan.  Lingkungan belajar yang positif akan memacu proses belajar peserta didik menuju ke arah yang ingin dicapai.  Lingkungan belajar yang positif yaitu lingkungan belajar yang kondusif, aman, nyaman, dan menyenangkan serta menunjukkan keberpihakan pada peserta didik sehingga membuat peserta didik merasa aman, bahagia, bersemangat, antusias dan tidak mengalami tekanan selama proses pembelajaran.  Dengan demikian peserta didik dapat menggali potensi dirinya, menunjukkan kemampuannya dalam bidang-bidang tertentu, lebih berani mengekspresikan diri dalam menghasilkan karya-karya yang kreatif dan inovatif berdasarkan minat dan bakatnya dan menjadi individu -- individu yang memiliki karakter baik seperti yang diharapkan sesuai dengan profil Pelajar Pancasila. 

Lingkungan belajar yang positif, tidak tercipta begitu saja.  Hal ini harus diupayakan secara terus menerus melalui kolaborasi semua pihak yang terkait dalam pendidikan anak, baik di sekolah maupun di rumah, juga lingkungan yang menjadi tempat tumbuh kembang anak.  Dalam lingkungan belajar yang positif, setiap orang yang ada di dalamnya merasakan bahwa kehadiran mereka diakui dan diterima, ada rasa saling menghargai dan menghormati, anak merasa aman dan nyaman, adanya harapan untuk pertumbuhan kemampuan peserta didik, dan guru mengajar sebagai upaya mereka untuk mengantarkan peserta didik pada kesuksesan yaitu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Lingkungan belajar yang positif ini akan meluas dan jika kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam lingkungan belajar tersebut dilakukan secara terus-menerus akan tumbuh menjadi suatu budaya positif.  

Budaya positif adalah perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan-keyakinan dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan yang seringkali atau bahkan selalu diterapkan di suatu lingkungan, contohnya di sekolah.  Budaya positif tumbuh dari lingkungan belajar yang positif. Budaya positif ini diawali dari disiplin positif yang dikenal setelah adanya perubahan paradigma tentang teori stimulus respon menuju pada teori kontrol/pilihan dari Dr. William Glasser.  Jika pada teori stimulus respon kita mencoba mengubah orang lain agar berpandangan sama dengan kita, melihat perilaku buruk dilihat sebagai suatu kesalahan, menganggap bahwa orang lain bisa mengontrol saya dan saya bisa mengontrol orang lain, melakukan pemaksaan pada saat bujukan gagal, dan menggunakan model berpikir menang/kalah, maka pada teori kontrol/pilihan kita berusaha memahami pandangan orang lain tentang dunia, melihat bahwa semua perilaku memiliki tujuan, Anda tidak bisa mengontrol orang lain, hanya Anda yang bisa mengontrol diri Anda, melakukan kolaborasi dan konsensus untuk  menciptakan pilihan-pilihan baru, dan menggunakan model berpikir menang/menang. Dari perubahan paradigma ini, muncullah istilah disiplin diri (self discipline) atau disiplin positif yaitu bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai agar tercapai tujuan mulia yang diinginkan.  Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap individu. Nilai-nilai tersebut bersifat universal, dan lintas bahasa, suku bangsa, agama maupun latar belakang. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan mulia, sesuatu yang dihargai dan bermakna.

Pembuatan Keyakinan kelas bersama dengan peserta didik (Sumber: pribadi)
Pembuatan Keyakinan kelas bersama dengan peserta didik (Sumber: pribadi)

Untuk dapat menerapkan disiplin positif tentunya diperlukan motivasi seseorang dalam berperilaku.  Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia, yaitu untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, untuk  mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain, dan untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika seseorang melakukan sesuatu karena untuk menghindari hukuman atau mengharapkan memperoleh penghargaan dari orang lain, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki motivasi yang berasal dari luar dirinya (motivasi ekstrinsik).  Dan seseorang jika melakukan sesuatu berdasarkan dorongan dari dalam diri untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri atas nilai-nilai yang mereka percaya akan dikatakan memiliki motivasi intrinsik.  

Hal yang sangat penting dilakukan untuk bisa menerapkan disiplin positif di sekolah adalah menumbuhkan motivasi intrinsik dalam diri peserta didik.  Ini tentu saja tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak dapat diupayakan.  Guru, sebagai seseorang yang bertugas menuntun tumbuh kembangnya kodrat peserta didik untuk menjadi manusia yang merdeka, yang tidak tergantung pada orang lain dan dapat berdiri diatas kekuatan sendiri hendaknya mengetahui kebutuhan-kebutuhan dasar apa saja yang peserta didik ingin penuhi melalui tindakan atau perilakunya. Dengan memahami kebutuhan dasar yang ingin dipenuhi oleh peserta didiknya, guru dapat menuntun atau mengarahkan peserta didiknya dengan baik sehingga dapat menstimulus peserta didik membangun motivasi di dalam dirinya untuk dapat menerapkan disiplin positif tersebut.  Adapun lima (5) kebutuhan dasar yang menjadi motivasi manusia dalam berperilaku adalah kebutuhan untuk bertahan hidup, kebutuhan akan kasih sayang dan rasa diterima, kebutuhan atas penguasaan (pengakuan atas kemampuan), kebutuhan kebebasan (pilihan) dan kebutuhan kesenangan.

Selain memahami kebutuhan dasar peserta didik sebagai motivasi mereka dalam berperilaku, guru pun seyogyanya dapat menempatkan diri pada posisi kontrol yang sesuai agar dapat memfasilitasi peserta didik mencapai identitas suksesnya.  Seperti kita ketahui ada lima posisi kontrol guru, yaitu sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah, teman, pemantau, dan manajer.  Guru yang berperan sebagai penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal sebagai cara agar pembelajaran bisa berhasil, menurutnya.  Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Pada posisi teman, guru tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Guru sebagai pemantau bertindak berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Sebagai manajer, guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Guru yang baik diharapkan bergerak pada posisi pemantau dan manajer sehingga dapat mendorong peserta didik untuk melakukan sesuatu yang baik dan benar berdasarkan nilai-nilai kebajikan yang diyakininya sehingga dapat memperkuat karakter peserta didik.  Dan Ketika peserta didik merbuat kesalahan, guru tidak langsung menghakimi baik dengan perkataan kasar, atau hukuman-hukuman fisik, tetapi sebaiknya mengatasi permasalahan tersebut dengan menerapkan segitiga restitusi. 

Menerapkan restitusi kepada peserta didik yang bermasalah (Sumber: pribadi)
Menerapkan restitusi kepada peserta didik yang bermasalah (Sumber: pribadi)

Peserta didik menemukan solusi atas permasalahannya (Sumber: pribadi)
Peserta didik menemukan solusi atas permasalahannya (Sumber: pribadi)
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004).  Dengan menerapkan restitusi, akan membantu peserta didik menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Ketika melakukan suatu kesalahan, ada peluang besar bagi peserta didik untuk tumbuh dan belajar dari kesalahan yang telah diperbuatnya.  Restitusi dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan.  Melalui restitusi, guru menuntun peserta didik melihat ke dalam dirinya menyadari kesalahan yang dibuat dan menawarkan kepada peserta didik untuk menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapinya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun