Kosong. Itu yang aku tatap di layar ini. Putih, hanya itu. Tanpa sepatah kata pun. Semua kata di dunia tidak ada yang terlintas sedetikpun di otakku. Apa yang sebenarnya inginku tulis? Malam indah, tanpa bintang, dingin. Malam natal yang dipercaya membawa kejutan bagi mereka yang meminta. Malam Minggu yang spesial. Saat aku berhenti di lampu merah, mereka mengetuk kaca mobilku dan menawarkan berbagai pilihan bunga indah. Aku berpaling, merasa tidak melihat siapapun. Sesampaiku di rumah, aku memeluknya dengan erat. Dia yang aku tunggu-tunggu untuk bertemu setelah dipisahkan ilusi. “Aku rindu padamu.” Hanya itu yang dapat aku ucapkan, tidak lebih dan tidak kurang, semua terasa hangat, emosional. Aku lepaskan dirinya dan mencari gelas untuk minum, sebenarnya hanya ingin menghapus air mata dari ujung lirikan.
Mengalihkan topik adalah keahlianku, menerawang ruangan lalu menanyakan apa yang baru. Aku melihat seorang duduk di kursi depan dengan mata yang sayu, dia yang aku jadikan pengalihan kali ini. “Drama apa yang kulewati?” Dia memberiku isyarat mata memberi tahu “nanti.” Penasaran, aku ajak dia ke suatu tempat tersembunyi.
Waktu seakan berhenti bersama dunia. Tempat ini hanya milik dirinya dan aku. Menjelaskan hal yang belum aku mengerti jauh sebelum tragedi tiga hari yang lalu. Yang aku sekarang percaya adalah, apapun masalah adalah sebuah anugrah dari Tuhan. Hanya itu. Perih? Pikirkan berlian yang diasah. Sebelum dia menjadi berlian yang matang, hanyalah sebuah gumpalan putih kusam. Saat dia diasah, lalu akan menjadi sebuah mahakarya pemikat mata. Proses itupun yang di sebut kepedihan hidup. Meski lubang kelinci ini dalam, apapun bisa kau lakukan untuk keluar. Pilihan bertaburan bagaikan bintang menyinari malam hari, yang mana yang ingin kau petik itulah pilihan. Menjadi batang anggur yang layu karena tidak punya tumpuhan yang kuat? Atau menjadi batang anggur yang menjadi tumpuhan bagi dirinya sendiri? Macam orang berbeda, langkah yang mereka ambil? semua pilihan.
Malam ini malam natal. Dia sedang berdoa kepadaMu agar mendapat berkah pada natal hari esok. Mengangkat tangannya membuka salib di dada dan mulai berbisik rayuan doa. Akupun telah melakukan hal yang sama dengan kedua tanganku. Setiap malam aku membukanya dan memohon keputusan apapun dariNya. Bagaikan membasuh muka tanpa air, lalu aku akhiri bisikan fanaku. Bisikan ini belum dinyatakan. Dia selalu berkata kepadaku bahwa “Jika permohonanmu belum dikabulkan, maka tulus dan sabarmu diuji sayang.” Percaya bahwa pengabulan ini hanya sebatas ‘pending’ dan belum di nafaskan karena akan ada sesuatu yang Ia rencanakan. Sesuatu yang pasti lebih baik. Atau jika tak sebaik itu, pasti akan ada warna baru dalam lembaran ini.
Ia pergi keluar. Aku berdiam di ruang hampa itu. Berfikir dalam kesepian. Hanya nafas diriku yang bisa didengar dan gaung TV dari depan. Aku berkaca. Mengedipkan kelopak mata lelah ini dan mulai berhitung ‘roti’ yang aku dapat dariNya hari ini. Susah, bagaikan menghitung helaian rambut yang aku sisir ini. Lupakan, roti ini membuat semua luka sayatan seakan tidak pernah ada. “Sayang ayuk makan!” Teriak dia dari luar, “Iya mom”, jawabku. Dan lalu, saat aku keluar ruangan ini, aku terasa dilahirkan kembali. Aku menjadi seorang yang baru. Aku yang dulu punah tersenyum. Tersadari, ini lah berkah malam natalku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H