Belum lama ini setelah selesai membuat 'bagian pembuka' untuk menyapa para pembaca lewat tulisan yang berjudul "Menyapa Dunia", rasanya dalam hati ini masih timbul gejolak kerinduan untuk menulis kembali. Kadangkala rasa itu seperti rasa ketika jatuh cinta pada seseorang yang kita idam-idamkan. Ibarat kata, hal itu seperti: cinta pada seseorang yang mengerti apa yang kita mau, seseorang yang selalu mendukung apapun yang kita lakukan, seseorang yang selalu ada untuk kita, seseorang yang tidak pernah menolak apapun yang kita minta atau jika semuanya itu diringkaskan, seperti seseorang yang ketika berinteraksi dengannya bagaikan sedang bercermin dan ngomong pada diri sendiri.
Jika ibarat-ibarat yang telah disebutkan sebelumnya dihadapkan pada kenyataan, rasanya hampir mustahil atau bahkan mustahil untuk menemukan seseorang yang seperti itu. Karena di dunia ini, segala sesuatu meskipun kembar secara identik, tetap saja masing-masing memiliki keunikan tersendiri, yang mana hal tersebut menjadi identitas atau pengenal untuk membedakannya dari yang lain.
Pada akhirnya, seseorang yang sama persis dengan ibarat tersebut adalah diri kita sendiri. Bagaimana tidak, siapa lagi yang mengerti diri sendiri kecuali kita sendiri? Siapa lagi yang ketika kita bercermin, dapat meniru persis apapun yang kita lakukan, kalau bukan diri kita sendiri? Hal ini nampaknya sepele dan bahkan hal ini bisa menjadi bahan tertawaan karena hal ini adalah hal mendasar yang semua orang sudah tahu seperti itu adanya.
Tapi maksud penulis bukan pada persoalan A = A, atau segala sesuatu itu identik atau sama persis dengan dirinya sendiri. Tetapi ketika seorang manusia adalah unik atau tiada duanya, maka bagaimanakah caranya orang tersebut mengenali dirinya? Karena kebanyakan orang akan meniru atau memiliki tokoh yang menjadi panutannya, lalu jika dia meniru tokoh tersebut, maka di manakah dirinya? Jika dituliskan secara matematis maka sebenarnya kebanyakan orang memiliki pola seperti ini: A = A'. Atau dengan kata lain, kebanyakan orang cenderung meniru atau mengikuti sosok yang menjadi panutannya.
Dari pembahasan sebelumnya, ada sedikit percabangan bahasan. Sehingga dapat menimbulkan kebingungan kepada para pembaca. Oleh karena itu penulis sederhanakan alur pikir pada paragraf sebelumnya bahwa untuk memulai menapaki jalan pemikiran bagaimana mengenal diri maka perlu diuraikan lebih lanjut tentang pernyataan: 1)seseorang yang sama persis dengan diri kita adalah diri kita sendiri dan 2)kita cenderung meniru orang yang menjadi panutan kita.
Paragraf sebelumnya sengaja dibiarkan seperti itu agar para pembaca bisa mengikuti proses perbincangan dan perenungan batin saat menyelami dan mengenali diri sendiri.
Sebelum masuk ke pembahasan, penulis ingin menceritakan kisah ketika penulis berada di awal-awal perjalanan pencarian jati diri yang berkaitan dengan pernyataan no:1. Saat di usia remaja yang kental dengan tingginya ego diri serta wawasan yang didasarkan pada kemauan diri maka pemikiran yang ada pada saat itu terwakilkan dalam kata-kata: aku adalah aku dan aku berbeda dengan yang lain.
Kata-kata tersebut bagi sebagian orang dan bahkan kebanyakan orang memiliki kesan yang kontroversi, tapi tiada niat penulis saat itu kecuali hanya untuk menunjukkan bahwa penulis tidak suka diatur dan tidak suka dibandingkan atau disamakan dengan yang lain.
Seiring berjalannya waktu, tingginya ego diri mulai terkikis dengan kedewasaan dan kematangan berpikir. Di dalam perjalanan, penulis mulai berpikir tentang pepatah yang mengatakan bahwa musuh terkuat adalah diri sendiri, serta ungkapan terkenal yang mengatakan bahwa peperangan paling dasyat, masih belum seberapa dibanding dengan peperangan melawan diri sendiri.
Pergulatan menaklukkan diri sendiri adalah pencapaian paling sulit yang dilakukan oleh seluruh umat manusia. Bahkan meskipun manusia sudah mencapai kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang paling tinggi sekalipun untuk menaklukkan alam semesta, maka menaklukkan diri sendiri akan tetap menjadi usaha yang sangat sulit.
Hal ini karena usaha untuk menaklukkan diri harus didukung dengan usaha mengenal diri. Sedangkan jalan untuk mengenal diri memiliki banyak lika liku dan rintangan yang sangat banyak. Contoh paling mudah adalah kita akan sangat sulit dan bahkan mustahil untuk melihat wajah kita sendiri tanpa menggunakan cermin. Padahal melihat wajah sendiri merupakan sebagian dari pengenalan diri.
Bagi sebagian orang yang dikaruniai wajah rupawan, bercermin adalah perbuatan yang menyenangkan karena dapat melihat sendiri secara langsung wajah rupawan yang membuat semua orang di sekelilingnya kagum pada keelokan paras wajahnya. Tetapi bagi yang memiliki wajah yang berkekurangan, bercermin adalah perbuatan yang kurang menyenangkan bahkan bagi sebagian orang adalah hal yang memalukan.
Mau menerima dengan ikhlas bagaimanapun wajah diri kita merupakan tindakan besar apalagi bagi orang yang memiliki wajah yang berkekurangan. Orang yang memiliki wajah berkekurangan pasti mengalami pergulatan batin yang menyulitkan, tetapi ketika orang tersebut telah menang dalam pergulatan batinnya kemudian menerima dengan ikhlas, berarti dia telah memenangkan peperangan melawan dirinya. Hal ini bisa terlihat dari timbulnya sikap percaya diri walaupun memiliki wajah yang berkekurangan.
Variasi lain tentang pengenalan diri adalah dalam hal kemampuan fisik, kemampuan otak, kesempurnaan fisik dan lain sebagainya. Ketika fisik kita kuat, maka kita akan dapat berbangga dengan kelebihan tersebut. Tetapi ketika fisik kita lemah, maka kita harus berusaha menerima hal tersebut. Begitupun dengan kemampuan otak. Ketika kita punya otak yang cerdas, maka kita bisa dengan mudah menyelesaikan berbagai persoalan yang sulit.Â
Tetapi ketika kita punya otak yang lemah, maka kita perlu berusaha mencari cara lain untuk mengatasi kelemahan otak kita. Tidak terkecuali juga dalam hal kesempurnaan fisik. Ketika seseorang memiliki fisik yang sempurna, dalam arti memiliki bagian tubuh yang lengkap, maka kita patut bersyukur. Tetapi ketika seseorang memiliki bagian tubuh yang kurang lengkap, maka tidak perlu minder atau rendah diri karena Tuhan pasti menitipkan kelebihan lain yang orang lain tidak miliki. Cara berpikir seperti ini juga berlaku untuk hal-hal lain yang berkaitan dengan pengenalan diri terhadap semua hal yang bersifat fisik.
Kita kembali ke pembahasan tentang pernyataan no.1 dan no.2 di atas yakni A=A serta A mirip dengan A'. Mengapa penulis rumuskan konsep pengenalan diri ke dalam persamaan matematika? Hal ini hanya untuk menyederhanakan pembahasan yang panjang menjadi rumus yang singkat dan mudah untuk diingat. Jika kita gabungkan pernyataan no.1 dan no.2 maka akan menjadi A=A~A' . Karena keterbatasan simbol yang tersedia pada papan ketik, maka sebenarnya tanda '~' harusnya adalah lambang '=' atau dua garis horizontal yang bergelombang, yang memiliki arti 'hampir sama'.
Jadi jika rumus di atas dituliskan dalam bentuk kata-kata maka: A sama dengan A dan A mirip dengan A'. Jika kita terapkan pada dunia nyata, maka Adi adalah Adi, dan Adi mirip Ali. Jika kita contohkan kepada hal yang lebih konkret lagi, maka kita adalah kita, dan kita mirip dengan ayah atau ibu kita. Jika dirumuskan: kita=kita~ayah|ibu.
Yang jadi masalah adalah diri pribadi kita yang duluan muncul atau diri pribadi orang tua? Pertanyaan ini sudah sangat jelas untuk dijawab. Sehingga sebenarnya diri kita adalah mirip dengan orang tua kita. Jika diperluas lagi, sebenarnya diri kita seperti sosok yang jadi panutan kita. Jika lebih diperluas lagi, diri kita bukanlah berasal dari dalam diri kita sendiri, tetapi berasal dari luar.
Mengapa bisa demikian? Coba kita renungkan, bukankah kita sering belajar atau dapat pelajaran dari orang lain? Bukankah kita juga sering belajar atau dapat pelajaran dari alam dan hal-hal di sekitar kita?
Mari kita perluas lagi, dari manakah alam berasal? Apakah ada dengan sendirinya atau diciptakan oleh Tuhan?
Lalu dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan muncul lagi pertanyaan, sebenarnya apa saja yang mengisi segala keberadaan ini? Pertanyaan-pertanyaan ini meskipun berat dan sulit untuk dijawab, tetapi harus memiliki penjelasan logis dan dapat diterima akal serta dapat diterapkan di dunia nyata agar jawabannya tidak sekedar hal-hal abstrak yang tidak dapat dibayangkan dan tidak dapat dikaitkan dengan hal-hal yang konkret.
Mengingat berbagai keterbatasan yang ada, beberapa pertanyaan dan persoalan yang muncul, tidak semuanya dibahas dalam satu tulisan ini, tetapi bisa jadi akan dibahas pada tulisan berikutnya atau pada kesempatan suatu saat nanti.
Kita jawab dahulu pertanyaan, apa saja yang mengisi keberadaan ini? Mengapa hal ini yang dibahas? Karena sesuai dengan judul tulisan ini yakni: "Memetakan segala yang ada". Tetapi nanti akan ada orang yang bertanya, lalu bagaimana dengan rumus A=A~A' yang belum selesai dibahas? Iya. Kita akan membahas itu, cuma nanti ketika sudah tiba saat untuk membahas hal tersebut.
Membahas kehidupan ibaratnya seperti kita sedang memasang puzzle sebesar alam semesta itu sendiri. Waktu, tenaga, dan pikiran, pasti tidak akan sanggup mencapai keseluruhannya. Sehingga kita bahas terlebih dahulu hal-hal secara garis besarnya, agar kita mendapatkan gambaran menyeluruhnya sebelum membahasnya secara mendalam.
Pertanyaan tentang hal-hal mendasar seperti ini, sudah pernah dibahas oleh para filosof jaman dahulu. Sehingga kita di sini tinggal menggunakan saja hasil pemikiran mereka. Mengapa bisa seperti itu? Karena hal-hal mendasar adalah kepastian yang semua orang sudah tahu garis besarnya, hanya saja ketika ditanyakan lebih jauh dan lebih dalam, kebanyakan orang akan berpikir keras lagi atau bahkan malah kebingungan untuk menjawabnya. Oleh karena itu, untuk mempersingkat jalan pemikiran kita, maka kita gunakan saja pemikiran-pemikiran orang-orang terdahulu.
Menurut salah satu filosof, segala yang ada ini terdiri dari Tuhan, manusia dan alam semesta. Jadi segala yang ada ini jika disederhanakan, maka terdiri dari ketiga hal tersebut. Jika kita renungkan, manusia sebagai makhluk yang dibekali dengan sifat-sifat Ketuhanan, tetapi dengan kadar yang sangat-sangat kecil, membutuhkan media untuk bisa menyatakan atau mewujudkan sifat-sifat tersebut. Media tersebut adalah yang kita namakan alam semesta.Â
Dengan alam semesta, kita akhirnya bisa menyadari arti dari 'kita tahu' : bagaimana bumi itu. Dan arti dari 'kita tidak tahu' : bagaimana keadaan tempat yang ada pada tepian alam semesta? Dengan alam semesta, maka penulis atau seniman dapat memiliki bahan untuk ditulis atau bahan untuk membuat karya seni, sebagai perwujudan sifat dari daya mencipta atau berkreasi.
Sampai di sini dulu tulisan ini dibuat, meskipun kesannya begitu singkat tentang pembahasan ide utama yang menjadi judul tulisan ini, tapi harap dimaklumi karena adanya kesibukan lain yang harus dikerjakan.
Akhir kata, jika kita mengenal diri, maka kita akan mengenal Tuhan kita. Jika kita mengenal Tuhan kita, maka kita akan berbakti kepadaNYA. Jika kita berbakti kepadaNYA, maka kita akan berusaha menjalankan perintah dan laranganNYA. Wujud dari berbakti kepadaNYA adalah mendayagunakan segala kelebihan yang kita miliki untuk memberi manfaat yang positif kepada sekeliling. Dan jalan berpikir seperti inilah yang digunakan dalam memompa semangat Gerakan Memajukan Indonesia (Germein).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H