Mohon tunggu...
Athoillah
Athoillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kita Berhak Bersuara: Anak Bangsa Bebas Merdeka, Potret Dekade "Mulyono"

17 Desember 2024   19:56 Diperbarui: 17 Desember 2024   19:54 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: ilustrasi Jokowi (Edward Ricardo/ CNBC Indonesia) I

Segala macam hubungan, tatanan, upacara, serta norma negara itu sebenarnya tidak lebih daripada selubung hal suci yang menutup-nutupi eksploitasi masyarakat, para penguasa terhadap kaum bawah. Nilai-nilai negara saat ini, tidak lebih dari selubung ideologis : kenyataannya makhluk sekarang adalah manusia yang berdasarkan penghisapan manusia atas manusia. Dengan satu kata, merupakan zaman penghisapan yang ditutup-tutupi oleh ilusi-ilusi religius dan politik dengan penindasan secara halus, samar, berkesan.

Saat ini, manusia memproduksi atau membeli sesuatu bukan karena ia mau menggunakannya, melainkan karena ingin menjualnya lagi dengan keuntungan laba setinggi mungkin. Keuntungan tersebut sangat penting bagi mereka, karena kalau laba yang sangat besar diperoleh, maka secara otomatis hasil tersebut akan membantunya bertahan dalam persaingan ketat dengan yang lainnya. Dalam artian, sama halnya yang terjadi di dunia ini: politik, ekonomi, pendidikan, semuanya dimulai dengan kepentingan dan keuntungan untuk dirinya sendiri. Persaingan tajam untuk mencapai keuntungan secara berlebihan, hingga perkara dunia sampai mengakibatkan harkat manusia di bawah alat-alat kerjanya.

Orang-orang kecil terancam, dirampas dan ditindas, hanya karena ulah manusia serakah yang telah melanggar dari hukum kemanusian. Konflik-konflik terjadi di pelosok-pelosok kecil hingga sampai di perkotaan, semuanya telah kacau dari tatanan masyarakat hingga tatanan negara. Menurut salah satu tokoh Marxisme yang bernama Karl Marx, ia mengungkapkan pelaku-pelaku utama perubahan sosial bukanlah individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Dalam teori kapitalisnya masyarakat di gambarkan sebagai manusia yang menghisap sesama manusia.

Konflik masyarakat melawan kebijakan negara semakin tak terkendali, para aktivis Ham dan lingkungan mati-matian berdemo, berteriak lantang menyuarakan kaum bawah yang selalu tidak diperhatikan oleh para pemimpin negara. Ironisnya lagi, sampai saat ini tak ada perubahan yang diakumulasikan terhadap kepentingan masyarakat, semuanya hanya mengejar pengakuan publik semata.

Mari kita mengambil contoh di satu dekade nasib masyarakat adat ditangan jokowi: Tanahnya dirampas, baju adatnya di pamerkan. Hingga ribuan masyarakat adat turun ke jalan, padahal mereka hanya butuh kepastian dan perlindungan secara hukum. Mereka protes karena "Mulyono" tak kunjung sahkan RUU (rancangan undang-undang) masyarakat adat di sisa masa jabatannya. Sedih, kecewa, marah, campur menjadi satu, karena semua orang ingat betul tiap tahun pakaian adat selalu dikenakan baginda Jokowi di setiap agenda kenegaraan.

Bahkan, pada Agustus lalu, Jokowi masih mengenakan pakaian adat saat memimpin upacara kemerdekaan di IKN. Upacara yang berlangsung di atas megaproyek ambisiusnya, sehingga dapat merampas wilayah adat terhadap 51 komunitas masyarakat adat di sekitar Kab. Penajam Paser Utara dan Kab. Kutai Kartanegara.

Citra lebih penting dari substansi. Ironis, kan? 

Sama halnya, mengenai RRU masyarakat adat di abaikan saat 687 konflik agraria di wilayah adat dengan luas mencapai 11 Juta Hektar, ditambah 925 warga masyarakat adat dikriminalisasi. Sejumlah UUD (undang-undang dasar) yang rentan menggusur dan merugikan masyarakat adat, justru dibuat atau direvisi dengan cepat kilat. Mungkin pakde Jokowi memang sudah tidak peduli. Padahal, ia pernah berjanji akan melindungi masyarakat adat lewat Nawacita-nya di awal menjabat. (sumber:https://setkab.go.id/)

Entah bagaimana nasib masyarakat adat di pemerintahan mendatang-yang sejak awal mengusung jargon keberlanjutan era jokowinisne. Namun yang pasti, kita sebagai anak bangsa perlu terus bersuara agar negara mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun