SOAL (KEMUNGKINAN ADA) PERBEDAAN DALAM MERAYAKAN IDUL FITRI
DI TAHUN 1432 H
Atho B. Smith
Beberapa waktu lalu melalui media diberitakan bahwa salah satu ormas Islam di Indonesia telah menetapkan berdasarkan metode hisabnya, Idul Fitri tahun 1432 H (2011 M) jatuh pada hari Selasa 30 Agustus 2011. Di pihak lain para peneliti memprediksi bahwa hari Senin 29 Agustus 2011 tidaklah mungkin bulan bisa dilihat dengan metode ru’yat, sehingga dengan alasan itu puasa harus digenapkan menjadi 30 hari. Artinya, pemerintah nantinya akan menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu 31 Agustus 2011.
Siapapun dalam hal ini dan metode apapun yang digunakan untuk menghitungnya, pada prinsipnya tidaklah menjadi persoalan. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, apa perlunya hasil perhitungan ini diumumkan kepada publik, mendahului pengumuman resmi pemerintah?
Apapun yang menjadi tujuan pengurus organisasi dimaksud, bagi saya itu sah-sah saja. Cuma, barangkali yang kurang diperhitungkan dalam soal ini yaitu bahwa hasil pengumuman ini sedikit banyak dapat berpengaruh pada masyarakat yang umumnya awam dalam soal keagamaan, padahal secara ubudiyah mereka tidak punya kewajiban untuk menaati hasil keputusan atau penetapan pimpinan suatu organisasi karena mereka tidak punya ‘gezag’ untuk memaksakannya. (Ini berbeda dengan hasil keputusan atau fatwa MUI yang secara keagamaan punya kekuatan mengikat karena statusnya setara dengan Ijma’ sebagai sumber hukum). Nah, sayangnya apabila pengaruh pada masyarakat itu berujung pada ‘ketaatan’, maka jelas ini akan menimbulkan perbedaan dalam pelaksanaannya. Inilah menurut pendapat kami yang menjadi ‘akar’ dari perbedaaan dimaksud. Jadi, setiap unsur yang ada dalam masyarakat baik perorangan maupun kelembagaan boleh saja menghitung dan menetapkan hari H-nya, tapi seharusnya hal itu tidak dipublikasikan secara luas, apalagi menghibau untuk menaatinya. Bagaimana misalnya jika hasil perhitungan dari 5 organisasi menghasilkan penetapan yang semuanya berbeda, bukankah ini membingungkan masyarakat?
Pemerintah melalui lembaga-lembaga keagamaannya seperti Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia yang mengurus soal-soal seperti ini dapat dipandang sebagai wadah pemersatu. Mengapa demikian, karena semua elemen yang ada dalam masyarakat untuk urusan ini boleh dikata sudah terwakili di dalam lembaga tersebut, termasuk metode-metode yang digunakan.
Jadi hakekat kami, taat pada keputusan resmi dari pemerintah bagi masyarakat adalah cara yang paling bijak, setidaknya hal itu dapat mencegah kemungkinan pelaksanaan Idul Fitri pada hari yang berbeda. Allah SWT telah menetapkan hal ini melalui FirmanNya dalam Al-Qur’an S. Annisa : 59, “Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya serta penguasa dari antara kalian.” Dengan demikian, kalau masyarakat mematuhinya, maka ia dipandang telah menaati Allah, Rasul dan juga pemerintahnya. Selain itu, keseragaman dalam pelaksanaannya ikut terjamin. Jika kemudian keputusan pemerintah itu ternyata keliru, maka tanggungjawab nantinya di hadapan Allah ada di pundak pemerintah, bukan pada siapa-siapa.Demikianlah, wallahu a’lam bissawaab. Selamat Idul Fitri 1432 H, minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir & batin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H