Artikel ini menggunakan pendekatan humanistik Friedrich Nietzsche untuk membahas fenomena "No Viral No Justice". Istilah ini mencerminkan kritik terhadap sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana diyakini lambat dan tidak adil, dan keadilan hanya dapat dicapai jika isu-isu tersebut tersebar di media sosial. Dalam konteks ini, konsep "kehendak untuk berkuasa" dan gagasan Nietzsche tentang moralitas situasional menjadi relevan. Dengan mengambil perspektif Nietzsche, penulis mengajak pembaca untuk merefleksikan perlunya reformasi penegakan hukum untuk menjadikan penegakan hukum lebih transparan dan adil tanpa mengandalkan harus viral terlebih dahulu. Melalui analisis tersebut, artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih dalam mengenai hubungan antara media sosial, keadilan, dan nilai-nilai moral dalam masyarakat modern.
Nietzsche dikenal karena kritiknya terhadap moralitas konvensional dan pandangannya tentang "keinginan untuk berkuasa". Dalam konteks "No Viral No Justice" ini kita bisa melihat bagaimana viralitas berfungsi sebagai bentuk kekuasaan di masyarakat. Menurut Nietzsche, keadilan tidak bersifat mutlak, melainkan suatu struktur sosial yang dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kepentingan individu dan kelompok.
- Kekuatan Opini Publik: Dalam masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh media sosial, opini publik menjadi alat yang ampuh untuk menuntut keadilan. Peristiwa yang bersifat viral cenderung mendapat perhatian lebih, sedangkan kejadian yang bersifat non-viral seringkali diabaikan. Hal ini mencerminkan bagaimana kekuatan opini publik dapat mengubah arah keadilan, dan sejalan dengan pandangan Nietzsche yang menyatakan bahwa nilai-nilai dibentuk oleh kekuasaan dan pengaruh.
- Â Moralitas situasional: Nietzsche menolak moralitas absolut dan menekankan konteks situasional. Dalam hal ini, fenomena "No Viral No Justice" menggambarkan bagaimana penegakan hukum dapat dipengaruhi oleh keadaan di mana suatu kasus menjadi viral. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan yang sebenarnya: Apakah keadilan yang dicapai melalui tekanan publik benar-benar adil, atau hanya sekedar ilusi keadilan?
Fenomena ini juga menunjukkan adanya kelemahan pada sistem hukum yang ada. Banyak kritikus berpendapat bahwa penuntutan harus dilakukan secara independen dari tekanan publik atau media. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kejadian-kejadian yang tidak menjadi viral seringkali diabaikan sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi mereka yang tidak mempunyai suara.
- Ketimpangan dalam penegakan hukum: Ketergantungan pada viralitas menyebabkan standar ganda dalam penegakan hukum. Kasus-kasus penting diselesaikan lebih cepat daripada kasus-kasus sederhana, yang bertentangan dengan prinsip Nietzsche tentang "kesetaraan di depan hukum".
- Mereformasi sistem hukum: Untuk mencapai keadilan yang sesungguhnya, kita perlu mereformasi sistem peradilan pidana kita agar lebih cepat, transparan, dan tidak terlalu bergantung pada virus. Nietzsche mendorong individu untuk menciptakan nilai-nilai baru. Dalam konteks ini, masyarakat harus berperan aktif dalam mendorong perubahan sistemik.
Pada akhirnya fenomena "No Viral No Justice" mencerminkan tantangan serius terhadap penegakan hukum di era digital. Pendekatan filosofis Nietzsche memungkinkan kita  memahami bahwa keadilan tidak dapat diukur hanya dengan viralitas. Sebaliknya, keadilan harus dicapai melalui proses hukum yang adil dan transparan, terlepas dari pengaruh opini publik.
Menghadapi fenomena ini, masyarakat harus menyadari tanggung jawabnya untuk mendukung penegakan hukum yang adil tanpa terjebak dalam permainan viral. Sebagaimana diajarkan Nietzsche, pencarian makna dan nilai tidak hanya harus mengikuti arus opini masyarakat, tetapi harus dilakukan secara aktif oleh individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H