Seminggu ini saya sibuk membagikan kalender didepan UNSW, Sydney. Tiap tahun memang tempat kerja saya selalu membagikan kalender, notes bahkan diary untuk mahasiswa/i.
Modalnya yah, harus percaya diri, murah senyum dan meyakinkan untuk bisa membagi2kan “free stuff” ini.
Jadi dengan bermodalkan point point diatas, saya dan teman saya siap membagikan kalender yang berkardus2 jumlahnya!
Karena saya sudah ada pengalaman selama tiga tahun belakangan ini, jadi saya tidak canggung lagi untuk berdiri di depan gerbangnya UNSW, dan mulai berteriak, “Hey guys!! Free Calendar, free calendar!!” Dengan sigap mahasiswa/i kampus itu mengambil dengan cepat kalender yang saya bagikan.
Hari pertama dan kedua berhasil dengan mulus, tetapi hari ketiga sampai kelima mulai agak susah. Dikarenakan sudah banyak dari mereka yang mendapatkan kalender dari kami.
Pada saat membagikan, saya memperhatikan juga beberapa orang yang bertugas menawarkan produk mereka. Ada yang aggresif, ada juga yang malu2, ada juga yang santai. Untungnya produk yang kami tawarkan adalah kalender dan diary, jadi lebih mudah membagi2kan dibanding dengan kartu telephone misalnya.
Selain memperhatikan sesama “sales” saya juga memperhatikan tanggapan orang2 kepada kami. 90% menanggapi sangat ramah dan menyenangkan, biarpun mereka tidak mau mengambil kalender, tetapi menyempatkan bilang “No, thanks” atau tersenyum dan menggeleng. Toh, kami juga tidak akan memaksa atau mengejar2 mereka jika mereka menolak.
Tetapi 5% lagi, tanggapannya sangat mengecewakan. Mereka hanya melengos dan memasang “dead face” ke kami. Gggggrrrr,,,rasanya mau marah! Sudah panas terik, melihat mereka yang bergaya seperti itu rasanya ingin mengejar dan memasukan satu kardus kalender kedalam tas mereka hahahha.
Setelah agak tenang, saya menganalisa kejadian tadi, terkadang kita sebagai individu suka lupa dan tidak peduli dengan lingkungan disekitar kita. Contohnya, ketika kita sedang di restaurant, bercengkerama dengan teman2 atau keluarga kita dan tiba2 pelayan datang merapikan meja kita sampai bersih, kita lupa untuk mengucapkan terima kasih kepadanya, karena kita pikir “Itu kan memang pekerjaannya”. Belum lagi kalau kita sedang jalan di mall atau digedung, dan ada pesuruh yang sedang mengepel lantai, kita menginjak2 lagi lantainya tanpa mengucapkan kata “maaf” – karena kita pikir “Lah, memang sudah pekerjaannya kok”.
Pernahkah kita berpikir jika kita menjadi mereka? Bagaimana perasaan kita kalau disikapi seperti itu? Padahal tidak ada salahnya jika kita memberikan sedikit senyum atau sikap yang lebih menghargai. Juga harus diliat sikap dari yang bersangkutan tersebut. Tidak sedikit juga, “sales” yang judes dan menyebalkan. Tidak sedikit juga pesuruh atau pelayan yang menyebalkan. Jadi percuma dong kalau kita sudah senyum2 ke mereka, eh malah dipelototin dan dianggap kita yang “rada2” :).
Jadi mungkin sikap menghargai bisa dimulai dirumah. Misalnya, ada anggota keluarga yang sedang mengepel atau mengvacuum rumah, dari pada kita hanya duduk saja, yah setidaknya berdiri – pindah sesaat, atau kalau pun harus duduk jangan lupa mengatakan “Maaf ya” – pasti dijamin tidak ada hard feeling nantinya :). Juga seperti yang orang tua atau kita sendiri ajarkan kepada anak2 kita dari dini untuk tidak pernah lupa mengatakan “Thank you”,“No, thanks
”,”Yes, please” setiap saat karena memang ini hanya “Simple word but has big meaning.”
Karena kalau kita mau dihargai oleh orang lain seyogyanya kita harus menghormati orang lain terlebih dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H