Setelah mengalami hari yang melelahkan, padat, dan penuh tekanan, apakah kalian jadi sering mengalami episode makan berlebihan? Perilaku ini menjadi pola berulang yang sulit dikendalikan, sering disertai perasaan bersalah, malu, dan kehilangan kendali. Perilaku ini biasa disebut dengan Binge Eating Disorder (BED) atau gangguan pola makan yang sering kali tidak disadari oleh penderitanya, meski dampaknya terasa berat secara fisik dan emosional.
Binge Eating Disorder (BED) adalah salah satu jenis gangguan perilaku makan yang membuat pengidapnya mengonsumsi makanan dalam jumlah yang berlebih (binge) dan merasa tidak dapat berhenti makan. Bayangkan anda terus-menerus mencoba mengisi kekosongan dengan makanan, hanya untuk merasa semakin kosong setelahnya. Fenomena ini bukan hanya tentang kurangnya kedisiplinan atau makan yang terlalu banyak, melainkan sebuah gangguan kompleks yang melibatkan sistem otak, hormon, dan emosi, yang semuanya bekerja di luar kesadaran penderita. BED memengaruhi banyak orang dari berbagai usia dan latar belakang, menjadikannya masalah yang mendesak untuk dipahami lebih dalam, terutama dari perspektif neurosains.
Bagaimana perspektif neurosains terhadap Binge Eating Disorder (BED)?
Perspektif neurosains terhadap Binge Eating Disorder (BED) menyoroti bahwa gangguan ini melibatkan perubahan signifikan dalam respons reward otak dan kontrol sirkuit asupan makanan. Berdasarkan penelitian yang didukung oleh National Institute of Mental Health (NIMH), perilaku gangguan makan, seperti binge eating, mengubah proses respons reward di otak. Perubahan ini memengaruhi kemampuan otak untuk mengendalikan nafsu makan dan memperkuat perilaku makan berlebihan. Studi ini menemukan bahwa respons reward yang terganggu sering kali membuat pola makan tidak sehat menjadi semakin kronis.
Selain itu, penelitian yang dipublikasikan di Journal of Eating Disorders menunjukkan bahwa aktivitas abnormal dalam area yang memproses penghargaan dan korteks prefrontal (striatum ventral), yang mengatur pengambilan keputusan, berkontribusi terhadap kesulitan mengendalikan perilaku makan. Studi ini juga menggarisbawahi peran dopamin dalam BED, di mana neurotransmitter ini memediasi sensasi kesenangan dari makanan. Ketidakseimbangan dopamin dapat meningkatkan dorongan untuk mengonsumsi makanan tinggi kalori, meskipun menimbulkan rasa bersalah setelahnya.
Kenapa kita bisa mengidap Binge Eating Disorder (BED)?
- Faktor Biologis
Genetik: Riwayat keluarga dengan gangguan makan atau masalah kesehatan mental dapat meningkatkan risiko BED. Faktor genetik memengaruhi cara otak mengatur makan, terutama dalam jalur reward dan kontrol impuls.
Ketidakseimbangan Kimia Otak: Gangguan pada neurotransmitter, seperti dopamin, yang memediasi respons penghargaan terhadap makanan, dapat menyebabkan dorongan untuk makan secara kompulsif
- Faktor Psikologis
Pengelolaan Emosi yang Buruk: Individu dengan BED sering menggunakan makanan untuk mengatasi stres, kecemasan, atau depresi. Makan berlebihan bisa menjadi coping mechanism, strategi yang digunakan untuk mengatasi stres dan emosi tidak nyaman, meskipun menimbulkan rasa bersalah setelahnya
Riwayat Trauma atau Pengalaman Negatif: Trauma masa kecil atau pengalaman sosial yang tidak mendukung dapat memicu perilaku binge eating sebagai respons terhadap tekanan
- Faktor Sosial dan Lingkungan
Tekanan Sosial dan Budaya: Tekanan untuk memenuhi standar tubuh tertentu atau stigma terkait berat badan dapat memperparah hubungan negatif dengan makanan.