Tertawa Sambil Menangis: Memetakan Ambivalensi Afektif dan Strategi Regulasi Emosi Remaja
Pernah nggak sih kalian mengalami mengalami ambivalensi emosi atau perasaan yang bercampur aduk?. Senang sekaligus sedih, sayang tapi benci, marah tapi cinta. Konflik internal ini ternyata umum terjadi loh. Namun, apa dampaknya bagi psikologis remaja? dan apa strategi yang baik untul mengatasinya?
Nah, ternyata penelitian neuroscience terbaru dapat memberi gambaran aktivasi area otak pada kondisi yang disebut ambivalensi, serta pemetaannya dalam otak kita loh...
Cari tau lebih dalam yuk, tentang apa itu ambivalensi dan bagaimana dampak serta cara mengatasinya, simak penjelasan dibawah ya...
Apa sih ambivalensi afektif itu?
Ambivalensi afektif menurut jurnal Emotional ambivalence and meaning: Conditions, outcomes, and implications, oleh Hertel et al (2020) Ambivalensi afektif didefinisikan sebagai pengalaman emosi positif dan negatif yang simultaneous atau bergantian dengan cepat. Singkatnya ambivalensi afektif dapat diartikan sebagai dua perasaan yang bercampur aduk dan diekspresikan pada waktu yang bersamaan. Sering kali kita tidak sadar saat kita mengalami situasi ini, akan tetapi ternyata jika hal ini dibiarkan dapat sangat berbahaya loh..
Faktor penyebabnya apa aja ya?
Sebenarnya situasi ambivalensi afektif dapat terjadi kepada siapapun, namun dalam hal ini remaja memiliki intensitas dalam mengekspresikan perasaannya. Tentu saja ada beberapa situasi yang ternyata dapat membuat remaja mengalami ambivalensi loh...
Berikut faktor penyebab remaja mengalami ambivalensi afeksi antara lain:
1. Pengaruh lingkungan yang beragam. Remaja ternyata sangat mudah sekali terpengaruh oleh kelompok sebayanya sehingga kebingungan antara keinginan diri sendiri dan ekspektaasi dari lingkungannya membuat adanya tekanan tersendiri atas keputusan ekspresi dan emosi yang akan dikeluarkan. tak hanya lingkungan pertemanan, namun lingkungan keluarga ternyata akan sangat berpengaruh pada karakter remaja.
2. Perubahan hormonal. Saat masa pubertas atau fluktuasi hormon estrogen, progesterone, dan testosteron pada masa pubertas ternyata akan berdampak pada "bentrokan" emosi yang mengakibatkan ambivalensi mood. tak jarang kita merasakan "moodswing" saat pramenstruasi atau kondisi biologis lainnya.
3. Belum "matangnya" otak pada bagian pengendali emosi dan pengambilan keputusan (prefrontal cortex). Ketika bagian tersebut masih dalam tahap berkembang maka kemungkinan remaja rentan akan stres dan bimbang semakin tinggi. Untuk itu, ternyata sangat penting untuk memiliki hobi yang positif agar kita dapat menyalurkan emosi dan ekspresi kita ke hal yang baik.
Bagaimana dampak ambivalensi afektif buat mental helth?
1. Meningkatnya risiko depresi dan kecemasan. Ketidakmampuan menginterpretasi dan mengatur emosi yang "campur aduk" akan sangat rentan untuk memicu timbulnya depresi atau gangguan kecemasan yang juga akan berpengaruh pada Kesehatan mental remaja.
2. Terganggunya aktivitas makan dan tidur. Sering nggak sih, saat mood kita sedang buruk pola makan dan tidur menjadi tidak teratur. Nah, ambivalensi ini dapat mengacaukan jam makan dan tidur kita jika hal ini dibiarkan maka energi untuk beraktifitas akan menurun serta akan berpengaruh pada daya pikir, daya ingat, dan konsentrasi.
3. Perilaku impulsif dan agresi. Ambivalensi emosi dapat menyebabkan remaja mudah melakukan tindakan tanpa berpikir panjang, tak jarang remaja memilih untuk berkelahi, merokok hingga perilaku seks bebas. Hal ini dilakukan semata-mata untuk mengungkapkan ekspresi kekesalan atau kesedihannya.
4. Perilaku self-harm. Agar dapat "mengatasi" luka batin akibat perasaan bercampur aduk dan kebingungan dengan bagaimana cara mengekspresikan diri, sebagian remaja melukai diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan.
Jika kalian merasa ingin menyerah atau kebingungan, ceritalah pada orang yang kalian percaya atau pergi pada ahlinya ya..
Jika ambivalensi selalu diabaikan dan tidak diatasi, dampak terhadap kesehatan mental ini dapat berlanjut sampai masa dewasa bahkan sepanjang hidup. Tentu saja hal ini akan mengganggu diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan disekitarnya.
Mapping Aktivitas Otak saat Ambivalensi Emosi
Pada konsep biopsikologi ternyata ditemukan beberapa titik pada otak yang menunjukkan reaksi dalam bentuk aktivitas yang meningkat saat seseorang mengalami ambivalensi. Nah, apa aja sih bagian-bagian itu?
Bagian-bagian tersebut antara lain:
1. Insula: Bagian pertama adalah insula, pertama-tama ia akan mendeteksi adanya perasaan positif dan negatif yang bertentangan (konflik internal). Insula akan membantu menyatukan dan membandingkan informasi dari pengalaman yang pernah dialami individu. Sehingga Ketika seseorang mengalami mengalami kedua emosi tersebut akan diartikan sebagai perasaan emosional yang.
2. Nucleus Accumbens: Selanjutnya, nucleus memproses adanya aktivasi dopaminergik (kenikmatan) dan juga aktivitas serotonergic, yaitu perasaan yang tidak menyenangkan secara bersamaan. Selain itu utamanya ia berperan dalam memadukan sinyal sinyal dari emosional yang bertentangan
3. Amygdala: tahap selanjutnya adalah bagaimana amygdala menerima sinyal dari insula dan nucleus accumbens, lalu berusaha mengendalikan dan menyeimbangkan emosi positif-negatif agar stabil. Ia juga berperan dalam mengendalikan emosi serta perubahan aktivitasnya memperlihatkan upaya mengendalikan perasaan yang kontradiktif`
4. Prefrontal Cortex: bagian yang bereaksi terakhir adalah (PFC). Ia bekerja menganalisis kondisi ambivalen ini dengan menyatukan berbagai informasi emosi yang masuk. Lalu berupaya untuk memberikan penafsiran dan menentukan strategi mengendalikan perasaan yang kontradiktif (berkebalikan) tersebut. Prefrontal cortex juga lah bagian yang nantinya akan ikut ambil andil dalam pengambilan keputusan dan penilaian terkait tindakan yang akan ditunjukkan individu.
Meningkatnya aktivitas di area-area tersebut akan memperlihatkan usaha otak untuk memproses dan memberi makna pada adanya perasaan positif-negatif yang bertentangan secara bersamaan.
Proses yang dialami otak tersebut ternyata juga berguna untuk menyeimbangkan dan mengatur emosi yang terombang-ambing tersebut.
Gimana ya strategi regulasi emosi adaptif yang bisa dilakukan remaja?
Beberapa strategi efektif yang dapat diajarkan pada remaja untuk mengatasi ambivalensi emosi, antara lain:
1. Teknik Reappraisal, tekni ini adalah sebuah metode yang digunakan untuk mengubah persepsi/sudut pandang dan penilaian terhadap suatu situasi atau peristiwa. Dengan menggunakan teknik reappraisal, seseorang dapat mencoba melihat sebuah situasi atau peristiwa dari sudut pandang yang berbeda atau mencari aspek positif dalam situasi yang sulit. Sebenarnya memang agak sulit, tetapi tujuan dari teknik reappraisal adalah untuk mengurangi stress yang berlebihan, meningkatkan kestabilan emosional, dan usaha mengubah reaksi negatif menjadi lebih positif.
2. Distraksi sehat seperti mendengarkan musik, melukis, atau berolahraga ringan juga efektif guna menenangkan emosi yang sedang meluap. Hindari distraksi negatif seperti merokok, atau minum minuman keras. Untuk itu, ada baiknya kita punya hobi untuk melepas penat ya...
3. Self Talk. Siapa sih yang nggak pernah ngomong sendiri di depan cermin?
Ternyata regulasi emosi dapat dilakukan remaja dalam keseharian dengan self-talk dan refleksi diri sebelum tidur. Strategi adaptif ini akan membantu mengenali, memahami, dan mengontrol perasaan saat dalam situasi yang tidak stabil. Rasa tenang dan lega akan terasa saat kita mengucapkan atau meluapkan apa yang ada di pikiran kita.
Hal-hal tersebut dilakukan untuk dapat menciptakan reappraisal kognitif, distraksi positif, dan praktik mandiri self-reflection untuk dapat membantu mengatasi ambivalensi perasaan dan emosi pada remaja.
Nah... jadi begitulah bagaimana proses ambivalensi afektif bekerja dalam otak manusia serta dampaknya dalam kehidupan kehidupan remaja. Dalam strategi regulasinya ataupun pencegahannya dapat dilakukan oleh siapapun, utamanya para remaja yang masih banyak atau baru mengalami gejolak emosi terus menerus serta banyaknya tekanan yang diberikan oleh berbagai lingkungannya.
Oiya, sebagai remaja yang akan mempengaruhi lingkungan juga, penting untuk kita mampu menciptakan lingkungan yang sehat untuk orang orang di sekitar kita. walaupun berat, tapi cobalah untuk selalu ciptakan good vibes untuk lingkungan.
Selayaknya episode serial, kisah perjalanan batiniyah remaja akan terus berlanjut. Semoga wawasan ini bermanfaat, mempererat ikatan imajinasi antargenerasi dalam mendampingi sang kancil muda. Hingga suatu hari kelak, ia menemukan jati diri dan makna hidupnya.
Referensi :
Vaccaro, A. G., Kaplan, J. T., & Damasio, A. (2020). Bittersweet: the neuroscience of ambivalent affect. Perspectives on Psychological Science, 15(5), 1187-1199.
Hertel, J., Schtz, A., DePesa, N., & Morris, W. N. (2020). Emotional ambivalence and meaning: Conditions, outcomes, and implications. Journal of Personality, 88(1), 154--172.
Shafir, R., Schwartz, N., Blechert, J., & Sheppes, G. (2015). Emotional intensity influences pre-implementation and implementation of distraction and reappraisal. Social Cognitive and Affective Neuroscience, 10(10), 1329-1337.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H