Tanpa semua orang sadari, kekayaan budaya yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia semakin hari semakin luntur. Salah satu penyebabnya yakni mudahnya informasi untuk masuk di kalangan masyarakat. Tentunya, informasi yang diterima merupakan sebuah perilaku atau budaya yang bukan merupakan dari Indonesia itu sendiri. Sesuatu yang telah mendunia dan tersebar luas akan diketahui oleh banyak orang sehingga membuat individu lain akan ikut tertarik dalam mengetahuinya, dari faktor eksternal, misal diajak mengobrol, juga faktor internal, yakni keinginan agar dirinya tidak ingin tertinggal.Â
Sifat tersebutlah yang mempunyai nama FOMO (Fear of Missing Out). Terlebih lagi generasi sekarang yang sering mengikuti trend dan akan melakukan apapun agar tidak tertinggal. Hubungan pertemanan mestinya memiliki sebuah topik atau pembicaraan agar ikatan mereka selalu erat, sehingga ini menjadi salah satu faktor FOMO bisa terjadi.Â
Informasi positif masih bisa diterima, namun jika informasi yang diterima merupakan hal yang negatif, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan dapat mempengaruhi si penerima. Sehingga, hal tersebut dapat membuat ciri khas budaya berupa nilai dan moral Indonesia akan tergantikan dengan budaya luar.Â
Sejak dulu, sebuah tradisi lisan diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan merupakan sebuah pesan yang diajarkan dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya. Sesuai namanya, lisan menjadi sarana komunikasi penyampaian informasi berupa ajaran, cerita, nasihat, dan lain sebagainya. Perubahan makna dan kata menjadi salah satu kekurangan dari metode ini, terlebih lagi orang dulu belum ada teknologi selain menulis. Tradisi lisan cenderung anonim atau tidak diketahui asal usul penciptanya, namun telah ada dari generasi-generasi sebelumnya hingga sekarang. Contohnya, Kancil, Malin Kundang, dan lain sebagainya. Selain cerita, ada juga nasihat-nasihat yang selalu disampaikan secara turun temurun yang dimana tetap ada di suatu daerah maupun daerah lain. Hal tersebut juga kerap diplesetkan menjadi mitos, agar bertujuan untuk menakut-nakuti dan demi kebaikan bersama, misal dilarang pulang maghrib nanti diculik wewe gombel, yang dimaksud adalah takutnya anak-anak kecil yang belum pulang agar bisa segera pulang dan terhindar dari bahaya penculikan anak.Â
Mengeksistensikan tradisi lisan tersebut seharusnya menjadi tugas para pemuda, sebagai agen perubahan atau agent of change. Bisa menyebarkan, melestarikan, dan mempertahankan adalah hal yang perlu dilakukan, bukan malah menjadi orang pasif yang hanya bisa menerima budaya asing dan dengan mudahnya meninggalkan budaya sendiri. SDM yang unggul tidak hanya dibekali pengetahuannya, namun juga perilaku dan sikap seorang Indonesia harus tetap ada dan menjadi ciri khas. Penting untuk mereka agar misi Indonesia Emas 2045 tak hanya kaya negaranya, namun juga kaya akan budayanya juga. Termasuk kangdungan-kandungan yang ada di dalam tradisi lisan akan bermanfaat dan berpengaruh kepada sebuah masyarakat dalam bertingkah laku, dalam bahasa Jawa istilahnya unggah-ungguh yang berarti tata krama atau sopan santun.Â
Sepatutnya, teknologi dimanfaatkan agar memudahkan manusia dalam menerima informasi yang positif, seperti tradisi lisan ini yang bisa bertransformasi melalui alat gadget agar tetap lestari. Tradisi lisan yang disampaikan dan diterima memiliki arti pendidikan dan bermanfaat bagi generasi Z ini. Dengan pesarnya ilmu pengetahuan, kajian-kajian terhadap makna tradisi lisan harus tetap diajarkan dan dilestarikan agar para generasi muda dapat mempertahankan ciri khasnya sebagai masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada asas-asas yang terkandung dalam Pancasila agar Indonesia Emas 2045 dapat diwujudkan secara maksimal dalam berbagai bidang, khususnya budaya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H