Mohon tunggu...
Atep Sukron
Atep Sukron Mohon Tunggu... Mahasiswa

Curiousity lead to every discoveries

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mencari Makna: Perang, Hidup dan Ramadan

15 Maret 2025   11:25 Diperbarui: 15 Maret 2025   11:22 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Seorang pria duduk di ruangan kayu, tampak merenung dengan ekspresi lelah." (Dok. pribadi)

Dalam sejarah peradaban manusia yang panjang menurut perhitugan kita tetapi hanya sekejap kedipan mata menurut perhitungan kosmos, di tengah-tengah itu terdapat realitas yang disebut perang, realitas yang terus berulang, meninggalkan luka dan kehancuran, di samping itu perang juga dapat membentuk individu-individu yang tangguh. Ada sebuah pepatah yang cukup populer berbunyi: Hard times create strong men, strong men create good times, good times create weak men, and weak men create hard times. Pepatah ini menggambarkan siklus yang terus berulang dalam setiap era pada peradaban manusia. Namun, bagaimana filsafat makna hidup memahami fenomena ini? Dan bagaimana perang berperan dalam membentuk makna hidup seseorang?

Viktor Frankl dan Makna Hidup di Tengah Derita


Kita mengenal Viktor Frankl, seorang psikiater dan filsuf yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, mengembangkan logoterapi, yaitu sebuah pendekatan yang berfokus pada pencarian makna hidup sebagai dorongan utama manusia. Dalam bukunya Man's Search for Meaning, ia menulis: "Those who have a 'why' to live, can bear with almost any 'how'." (Mereka yang memiliki 'mengapa' untuk hidup, dapat menanggung hampir semua 'bagaimana'.). Frankl menegaskan bahwa bahkan dalam penderitaan yang paling ekstrem, manusia masih bisa menemukan makna. Perang, sebagai simbol dari 'hard times', bisa menjadi pemantik bagi individu untuk menghidupkan kembali nyala dari tujuan hidup mereka yang meredup di dalam kesengsaraan, baik melalui perjuangan, pengorbanan, maupun ketahanan mental.

Jika mengikuti siklus yang disebutkan sebelumnya, perang (hard times) seharusnya melahirkan generasi yang kuat. Namun, tidak semua orang yang mengalami penderitaan berubah menjadi sosok tangguh. Frankl sendiri menunjukkan bahwa reaksi individu terhadap penderitaan sangat bervariasi, ada yang bangkit, ada juga yang menyerah pada keputusasaan.

Penting untuk memahami bahwa menjadi 'kuat' bukan hanya tentang fisik yang kekar atau keberadaan yang mendominasi, tetapi juga tentang keberanian untuk tetap memiliki nilai dan prinsip yang tetap terjaga kemurniannya dari gangguan-gangguan eksternal dalam situasi yang mencekam dan penuh tekanan peperangan. Frankl menyatakan: "When we are no longer able to change a situation, we are challenged to change ourselves." (Ketika kita tidak lagi bisa mengubah keadaan, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri.). Ini menunjukkan bahwa tantangan hidup, termasuk perang, tidak hanya membentuk kekuatan fisik, tetapi juga kekuatan yang berasal dalam diri sendiri.

Kita Berada di Era Apa? Hard Times atau Easy Times?


Jika benar bahwa masa sulit menciptakan manusia yang kuat, apakah generasi yang lahir di masa damai justru berisiko menjadi 'lemah'? Kehidupan modern yang nyaman dan minim tantangan sering dikritik sebagai penyebab lunturnya daya juang dan ketahanan mental banyak individu. Namun, apakah benar kita hidup di masa yang mudah? Ataukah ada perang yang tidak kasatmata, di dalam diri kita sendiri?

Di beberapa negara seperti Ukraina dan Palestina, saya sering memikirkan bagaimana mereka bertahan di tengah peperangan. Sementara itu, saya sendiri di sini merasa kebingungan, mengisi hari-hari dengan kesenangan sesaat yang hanya berujung pada penyesalan di penghujung hari. Saya menganggap diri sebagai orang paling sial di bumi, sementara di belahan dunia lain, ada orang-orang yang benar-benar berjuang untuk bertahan hidup. Mengapa saya merasa seperti ini? Apakah ini bentuk lain dari 'hard times', sebuah pertempuran mental yang tak kalah beratnya dibanding perang fisik?

Filsafat makna hidup mengajarkan bahwa setiap individu tetap bisa menemukan tantangan dan makna hidup, bahkan di era yang damai. Tantangan itu mungkin bukan berupa perang fisik, tetapi bisa dalam bentuk perjuangan melawan kejumudan, ketidakpedulian, atau bahkan makna eksistensial itu sendiri. Seperti yang dikatakan Frankl: "Life is never made unbearable by circumstances, but only by lack of meaning and purpose. (Kehidupan tidak pernah menjadi tak tertahankan karena keadaan, tetapi karena kurangnya makna dan tujuan.).

Ramadhan: Peperangan Melawan Hawa Nafsu


Bagi saya dan banyak Muslim lainnya, bulan Ramadhan menjadi momentum peperangan melawan hawa nafsu. Ramadhan bisa memberikan solusi atas dilema eksistensial yang sering kita hadapi, perasaan kosong, ketidakpuasan diri, dan pencarian makna hidup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun