Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Koruptor Akan "Di-Kebun-Binatang-kan" ?

31 Januari 2012   16:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:13 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13280276821994207880

[caption id="attachment_159553" align="alignleft" width="300" caption="www.zooborns.com/"][/caption] Oleh : Atep Afia Hidayat - Begitu bencinya sebagian masyarakat terhadap para koruptor tercermin dari beragam wacana untuk membasminya, mulai pemberian tanda khusus pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), tidak memberikan pengurangan masa tahanan (remisi), pencabutan hak politik sebagai penyelenggara negara seumur hidupnya, pemborgolan dan baju khusus saat menjalani proses hukum, menaikan batas minimum hukuman mennjadi lima tahun, pemberian sanksi kerja sosial dan perampasan kekayaan, hukuman mati, sampai penempatan di sebuah kebun yang menyerupai kebun binatang. Beragam wacana pembasmian koruptor tersebut diharapkan dapat menimbulkan efek jera sekaligus memutus kaderisasi koruptor.

Adalah Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang menggulirkan wacana menempatkan koruptor dalam sebuah kebun yang serupa dengan kebun binatang (sebagaimana dikutip Harian Kompas, 10 Desember 2011). Seandainya wacana ini bisa terwujud, maka kelak selain ada kebun binatang, kebun raya, maka akan dikenal kebun koruptor. Para koruptor diharuskan mejeng atau dipajang di kebun-kebun tertentu, lengkap dengan identitas, kasus atau tindak kejahatan, dan jumlah uang negara yang dikorupsinya. Tentu saja kebun koruptor itu terbuka untuk umum, bahkan bisa menjadi tujuan wisata yang menarik.

Kebun koruptor menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat terutama generasi muda, sehingga sedini mungkin bisa muncul kebencian dan keengganan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Kebun koruptor merupakan tempat yang bisa menimbulkan efek jera bagi siapapun, terutama yang memiliki kewenangan dibidang pemerintahan maupun swasta. Kebun koruptor akan menjadi salah satu solusi cerdas untuk membasmi kasus korupsi yang frekuensi, kauntitas dan kualitasnya makin meningkat. Tampaknya pemerintah yang berkuasa saat ini kurang berdaya dalam mencegah, mengendalikan dan menghendikan kasus korupsi. Seolah ada sikap toleransi, pembiaran dan permisif terhadap para koruptor. Jika ketidakseriusan dalam membasmi korupsi ini terus berlanjut, maka tidak dapat dipungkiri lagi, negara akan segera menuju kebangkrutan.

Bisa dikatakan sebagian besar instansi pemerintah tidak kedap kasus korupsi. Bagaikan virus ganas, korupsi menjalar secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal korupsi dilakukan oleh pejabat tertinggi sampai pejabat rendahan. Secara horizontal, korupsi menjalar lintas sub bagian, bagian, biro, direktorat dan sebagainya. Bahkan yang sangat memprihatinkan, ternyata di berbagai instansi pemerintah terjadi kaderisasi koruptor secara sistematis. Akhir tahun 2011 lalu tersingkap adanya sekian banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) berusia relative muda, namun dengan kepemilikan rekening perbankan yang mencapai miliaran rupiah.Adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang melaporkan PNS muda berekening gendut tersebut. Hal tersebut begitu janggal, mengingat jauh melampaui penghasilan resmi.

Bersama membobol negara, bersatu menyikat uang rakyat. Ya, kira-kira seperti itulah efek dari korupsi yang dilakukan secara masal. Ada kesan tau sama tau, pembiaran, saling menutupi, sehingga tindak kejahatan korupsi dilakukan secara kolektif. Keberadaan lembaga penegak hukum, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tampaknya belum memberikan sinar terang bagi upaya pemberantasn korupsi. Menurut Mahfud MD (dalam Kompas, 10 Desember 2011), bahwa mau tidak mau semua pihak harus mengakui bahwa negara (maksudnya pemerintah) gagal menghalau korupsi. Penyebab utamanya ialah komitmen dan kepemimpinan.

Ya, pemerintah seperti kurang serius dalam membasmi korupsi. Beragam skandal dan kasus korupsi hanya dibiarkan begitu saja, tanpa upaya penyelesaian yang serius. Hal yang paling fenomenal misalnya skandal Bank Century, yaitu kasus dana talangan (bail out) kepada Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Bahkan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pramono Anung (dalam kompas.com), mengatakan, bahwa pimpinan DPR telah menerima hasil audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap suatu kasus (diduga masalah energi primer) dengan nilai kerugian negara tiga kali lipat nilai talangan Bank Century. Menurutnya kasus tersebut belum dibuka untuk publik.

Korupsi makin merajalela, koruptor makin menggila. Lantas, kapan kebun binatang (koruptor) itu akan didirikan. Sangat ideal jika lokasinya bersebalahan dengan Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan, atau bisa saja di sekitar Monas, supaya berdekatan dengan pusat pemerintahan. (Atep Afia).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun