Oleh : Atep Afia Hidayat -
Saat ini Planet Bumi sudah dikapling-kapling oleh lebih dari 200 negara. Masing-masing memilikikedaulatan sendiri baik di darat, laut dan udara. Namun menyangkut persoalan lingkungan tidak bisa disekat-sekat, hal seperti polusi udara di sebuah negara misalnya, sudah tentu bakal berimbas ke negara lainnya, begitu pula pencemaran di lautan. Seringkali terjadi konflik lingkungan di antara negara-negara, yang sering meruncing ialah antara negara maju dan sedang berkembang, bahkan sering dibahas sampai ke konferensi dan pertemuan multilateral lainnya.
Sebagai contoh, KTT bumi (United Nations Conference on Environment and Develompent) yang berlangsung pada awal Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, menjadi ajang pertemuan dan perdebatan menyangkut kepentingan lingkungan. Konferensi tersebut dihadiri oleh perwakilan seluruh negara anggota PBB. Setelah hamper 19 tahun berlalu, gaung KTT tersebut nyaris kurang terdengar.
KTT bumi merupakan langkah tepat untuk mengantisipasi situasi dan kondisi lingkungan yang makin terdegradasi. Namun karena adanya perbedaan kepentingan antara negara maju dengan negara sedang berkembang, berbagai hambatan muncul.
Persoalan yang memperuncing suasana ialah menyangkut penurunan emisi CO2, dimana negara maju berkeinginan supaya emisi CO2 dikurangi, baik melalui langkah penggunaan mesin hemat energi yang menghasilkan tingkat polusi rendah, atau melalui peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi.
Kelompok negara maju juga mengusulkan supaya ditarik pajak dari semua kegiatan yang menyebabkan terjadinya pelepasan senyawa karbon. Pajak yang diajukan sekitar 3 dollar AS untuk setiap barrel minyak yang dihasilkan.
Kepentingan negara sedang berkembang sangat kontroversial dengan apa yang di inginkan kelompok negara maju. Bagaimanapun Negara sedang berkembang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan, yang notabene senantiasa menggunakan energi.
Jika konsumsi energi di negara sedang berkembang dikurangi, dengan kata lain jumlah pemakaian BBM dibatasi, lantas bagaimana dengan berbagai kegiatan pembangunan yang sedang di galakkan ? apa yang dikehendaki kelompok negara maju itu makin memperlemah posisi negara sedang berkembang ?
Selama ini dalam berbagai perundingan atau konferensi tingkat internasional, posisi negara sedang berkembang seringkali terjepit. Negara-negara maju dengan bargaining position yang mapan, cenderung mengeksploitir negara-negara sedang berkembang. Misalnya dalam kasus pemanasan global (global warming) justru negara berkembanglah yang dijadikan kambing hitam, hal itu antara lain karena laju konsumsi energi yang tertinggi.
Laju pembakaran BBM di negara sedang berkembang memang paling tinggi di dunia, karena aktivitas pembangunan yang dilaksanakan secara insentif dan ekstensif. Namun kenyataannya, emisi CO2 asal Negara sedang berkembang hanya sekitar 17 persen dari total emisi CO2 negara-negara maju. Sedangkan jumlah energi yang dikonsumsi oleh kelompok negara sedang berkembang hanya kurang dari 25 persen dari total konsumsi energi dunia. Dari data-data tersebut, cukup jelas bahwa penyumbang terbesar emisi CO2 ialah kelompok negara-negara maju, begitu pula dengan konsumsi energi, kelompok negara-negara maju begitu mendominasi.
Karena emisi CO2 yang tak terkendalikan, maka suhu rata-rata bumi terus meningkat. Dampak pemanasan global amat kompleks, antara lain terjadinya perubahan iklim secara radikal, mencairnya lapisan es di Kutub Utara dan Kutub Selatan, naiknya permukaan air laut, terendamnya kota-kota besar dunia yang umumnya terletak di tepi pantai, terjadinya eksodus penduduk secara besar-besaran, serta musnahnya berbagai spesies flora dan fauna.
Dengan demikian keinginan negara-negara maju untuk menurunkan emisi CO2 pun terus bertambah. Usul kelompok negara maju agar lebih efisien dalam penggunaan energi dan dikenakannya pajak karbon bai negara-negara penghasil minyak, tampaknya terlampau berat untuk direalisasikan karena memberatkan negara-negara sedang berkembang.
Bagaimanapun untuk meningkatkan efisiensi dalam penggunaan energi diperlukan teknologi tinggi yang notabene hanya dikuasai oleh kelompok-kelompok negara maju. Untuk mendatangkan teknologi tinggi diperlukan dana yang tak sedikit, konsekuensinya utang kelompok negara sedang berkembang pun mau tidak mau harus membengkak, sehingga bargaining positionnya pun semakin melemah. Begitu pula dengan pajak karbon, jelas sangat memukul kelompok negara sedang berkembang. Bagaimanapun, sebagian besar bahan bakar fosil dihasilkan oleh negara sedang berkembang. Idealnya pajak karbon itu dikenakan kepada siapa saja yang menggunakan bahan bakar fosil, bukan hanya dibebankan kepada negara-negara penghasil.
Terjadinya perbedaan pendapat dalam suatu konferensi apalagi tingkat dunia, memang wajar saja. Namun, itikad untuk menyelamatkan bumi dari kehancurannya harus berhasil diwujudkan. Untuk itu diperlukan adanya global partnership, yaitu kerjasama makro untuk memelihara lingkungan global. Di antaranya negara sedang berkembang dan negara maju selayaknya ada kerjasama yang terpadu dan harmonis.
Keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing kelompok negara dapat dipadukan untuk kesejahteraan bersama. Negara-negara maju misalnya, memiliki keunggulan dalam modal dan teknologi, sedangkan negara-negara sedang berkembang memiliki tenaga kerja yang berlimpah dan sumberdaya alam.
Konsolidasi antar negara mutlak diperlukan, karena yang namanya pemanasan global atau dampak negatif lainnya dari emisi CO2 akan menyebar ke atmosfer bumi. Negara berkembang, khususnya yang terletak di kawasan tropis seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, India, Sudan, Nigeria, Ghana, Zaire, Brasilia, Peru, Colombia, dan sebagainya sebenarnya memiliki bargaining position, karena umumnya memiliki jutaan hingga ratusan juta hektar hutan tropis. Hanya persoalannya, mampukah para diplomat dan juru runding dari negara-negara tersebut memanfaatkann keunggulan komparatif yang dimilikinya sebagai “senjata” dalam berbagai perundingan. Bagaimanapun manfaat hutan tropis sebagai “paru-paru” dunia, yang antara lain mengurangi sebagian emisi CO2, dirasakan oleh seluruh negara, tidak hanya oleh negara sedang berkembang pemilik hutan tropis saja.
Setelah hamper 19 tahun KTT bumi di Rio de Jenero, Brasil, berlalu, global partnership belumberjalan efektif. Padahal berbagai sumberdaya yang dimiliki setiap negara dapat dipadukan. Negara sedang berkembang memiliki areal untuk dihijaukan dan tenaga kerja yang berlimpah, hanya masalahnya teknologi tinggi tidak dikuasai, begitu pula modal yang dimiliki, sangat terbatas. Sebagai contoh, Indonesia memiliki areal sekitar 20 juta hektar untuk dihijaukan, namun kemampuan hanya sekitar 300 ribu hektar pertahun. Jadi untuk menghijaukan seluruh areal setidaknya dibutuhkan waktu 65-70 tahun. Untuk mempercepat penghijauan, partisipasi negara-negara maju sangat diharapkan, terutama dalam hal bantuan dana.
Bisa saja negara-negara maju melakukan penghijauan di lahannya sendiri, tapi persoalannya menyangkut upah tenaga kerja yang sangat mahal, dan adanya kendala musim yang membuat pohon yang ditanam tumbuh lambat. Jika dilihat dari kacamata global, upaya tersebut kurang efisien. Maka sebaiknya dana yang dimiliki dialirkan ke negara sedang berkembang.
Dengan adanya global partnership maka perbedaan kepentingan pun bisa dihindari. Konsolidasi antara sesama “penghuni” bumi mutlak diperlukan, agar berbagai persoalan lingkungan dan pembangunan bisa di atasi. Untuk itu tentu saja diperlukan adanya kesamaan pendapat, dibutuhkan pengertian yang mendalam dari kelompok negara-negara maju, terutama menyangkut situasi dan kondisi negara sedang berkembang. (Atep Afia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H