Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

DPR, Kartel, dan Koruptor

1 Maret 2012   13:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:41 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Atep Afia Hidayat - Hampir setiap hari kita disuguhi gambar koruptor di televisi, bisa sampai belasan kali per hari, dari seluruh stasiun yang menyiarkan berita. Bahkan, acara persidangan yang mengadili koruptor belakangan sering disiarkan secara langsung. Ternyata bukan hanya Liga Inggris atau Liga Spanyol saja yang bisa ditonton secara langsung melalui layar kaca, Liga Koruptor juga kini bisa tersaji didepan mata. Hal yang paling mengenaskan, memprihatinkan sekaligus memuakan, ternyata peserta Liga Koruptor banyak yang berasal dari kalangan legislatif, yang keluar dari sarangnya di DPR. Tidak salah jika secara perlahan gedung dewan yang terhormat bermetamorfosa menjadi sarang koruptor.

Berbagai kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR mencuat ke permukaan, mulai dari pembangunan wisma atlet di Palembang; cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI dan proyek alih fungsi hutan lindung di Sumatera Selatan, proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran di Provinsi Riau, alih fungsi hutan di Pulau Bintan Kepulauan Riau, dan proyek pembangunan bandaradan pelabuhan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), dengan potensi kerugian negara secara keseluruhan bisa mencapai Rp. 250 miliar. Kasus korupsi seperti fenomena gunung es, di mana yang muncul ke permukaan relatif kecil, dan yang berada di bawah permukaan begitu besar. Lantas, berapa “T” rupiah potensi dana dikorupsi yang saat ini masih di bawah permukaan, belum terusik.

Sangat tepat judul tulisan yang menjadi headline Harian Kompas, 29 Februari 2012, “Korupsi di DPR Makin Ganas”, yang antara lain menyebutkan bahwa korupsi di DPR pun kini berkembang menjadi korupsi kartel elite. Korupsi kartel elite ini biasanya mendapatkan dukungan jaringan politik (Parpol), ekonomi (pengusaha), aparat penegak hukum, dan birokrasi. Dengan kata lain korupsi di DPR semakin canggih, sistemik dan komprehenshif. Keberadaan Badan Anggaran (Banggar) belakangan makin banyak disorot, karena sangat rawan korupsi dan disinilah bagaimana proyek-proyek diatur dan didistribusikan ke kroni-kroni atau partai pendukung. Dalam hal ini sangat mendesak supaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera membongkar kartel di Banggar.

Anggota DPR sejatinya dapat menjalankan amanah yang diembannya, antara lain dalam kaitannya dengan fungsi legislasi (pembuatan undang-undang), fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Namun sangat disayangkan, seringkali amanah tersebut tidak dijalankan secara serius, malah menjadi obyek permainan. Sebagai lembaga demokrasi seharusnya DPR melaksanakan musyawarah menyangkut legislasi, anggaran dan pengawasan. Namun dalam prakteknya sering terjadi negosiasi yang mengacu pada UUD (ujung-ujungnya duit). Tak heran jika keputusan yang dihasilkan dari proses persidangan yang berlarut-larut sama sekali bukan untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, tetapi lebih kepada nilai nominal untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Menjelang Pemilu 2014 semua mesin Parpol kian memanas dan sangat membutuhkan pelumas. Lantas, darimana pelumas itu didapatkan ? Mudah diduga sebagian pelumas itu bersumber dari sumbangan anggota DPR. Kalau mau dicalonkan lagi dengan nomor urut jadi, ya pelumasnya harus ampuh dan mumpuni. Bagi anggota DPR yang memiliki sumber pelumas yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya tidak menjadi persoalan. Lantas, bagaimana dengan anggota DPR yang tidak memiliki sumber pelumas ? Padahal hasratnya untuk tetap bercokol di parlemen masih menggebu-gebu, ujung-ujungnya bisa saja terjebak dalam korupsi. Untuk bisa mempertahankan posisinya, tidak heran jika ada anggota DPR yang ikut –ikutan mengatur pelaksanaan proyek di lembaga pemerintahan tertentu, dan tentu saja memperoleh imbalan dari aktifitasnya tersebut.

DPR jangan jadi sarang koruptor,artinya DPR harus steril dari berbagai kasus korupsi. Lantas bagaimana caranya, apakah tikus-tikus atau gerombolan tikus bisa ditangkapi satu-per-satu sehingga tidak tersisa sama sekali, atau mungkinkah sarangnya dibakar sekalian supaya tikus-tikusnya musnah ? Sebenarnya semua berpulang pada kecerdasan rakyat dalam menentukan pilihannya. Jangan pilih Parpol yang suka korupsi atau pernah terlibat korupsi, dan jangan pilih calon legislatif (Caleg) yang sudah dikenal sebagi koruptor. (Atep Afia)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun