Oleh : Atep Afia Hidayat - Setiap pergantian rejim pemerintah, mulai dari Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi, pembangunan untuk mensejahterakan rakyat merupakan agenda yang bersifat wajib. Idealnya wawasan pembangunan semakin bergeser kearah pengembangan sumberdaya manusia. Dengan kata lain, kearah terwujudnya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara utuh.
Konsep ideal tersebut, tak lain merupakan follow up dari tahapanpembangunan yang telah dijanalkan selama ini. Selayaknya manusiaditempatkan sebagai aktor pembangunan. Dalam konsep pembangunan berwawasan manusia, maka manusia ditempatkan di atas segala kepentingan, hingga menjadi focus of interst dalam pembangunan.
Saat ini penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa. Penduduk sebanyak itu umumnya terbagi menjadi empat golongan, yakni golongan peramu (suku terasing) berjumlah sekitar lima persen, golongan petani 60 persen, golongan industri 30 persen, dan golongan masyarakat informasi (post industri) sekitar lima persen.
Ternyata, menjelang 66 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, jumlah golongan petani masih dominan. Dengan demikian, Indonesia sebenarnya masih berstatus sebagai Negara agraris hingga sepuluh atau dua puluh tahun mendatang.
Terjadi pergeseran dari golongan masyarakat peramu ke golongan masyarakat petani, dari masyarakat petani ke masyarakat industri, dan dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Proses modernisasi tersebut, paling tidak bisa menyebabkan terjadinya transformasi ekonomi, sosial dan budaya.
Lantas, apakah masyarakat Indonesia beberapa puluh tahun mendatang, kondisinya akan serupa dengan masyarakat di negara industri sekarang, yakni masyarakat yang bercirikan liberalism-kapitalisme-individualis ? Tentu saja kita tidak berharap demikian, kepribadian dan eksistensi bangsa harus tetap bertahan. Untuk itu pembangunan, termasuk industrialisasi, harus tetap berwawasan martabat manusia Indonesia.
Modernisasi yang mencangkup berbagai transformasi tidak bisa dibendung. Hal itu merupakan tuntutan peradaban, yang juga merupakan kemampuan adaptasi manusia terhadap lingkungannya.
Modernisasi melalui proses industrialisasi terutama untuk menjawab berbagai tantangan, seperti makin menyusutnya cadangan sumberdaya alam, globalisasi dalam berbagai bidang, perkembangan iptek yag makin pesat, dan menurunnya comparative advantage sumberdaya manusia tidak terdidik sebagai tenaga murah.
Modernisasi tak bias dielakkan, terutama jika kita masih ingin tetap berpartisipasi dalam peradaban global. Jumlah penduduk Bumi makin meningkat, hampir mendekati 7 milyar jiwa, sedangkan habitatnya tak pernah bertambah luas, bahkan cenderung menyusut dengan mutu lingkungan yang makin menyusut.
Untuk itu perilaku manusia diharapkan lebih produktif dan efisien. Jika cara hidup lama masih dipertahankan, maka situasi dan kondisi lingkungan sudah tidak memadai lagi. Cara hidup di sini terutama yang bersangkutan dengan sikap terhadap lingkungan, bagaimana memperlakukan lingkungan.
Pada zaman masyarakat pertanian masih sangat dominan, maka pembukaan areal hutan masih dipandang sebagai hal yang layak, bahkan produktif. Namun dengan makin menyusutnya luas areal hutan, yang justru disertai peningkatan nilai guna seperti sebagai “paru-paru” dunia, maka pembukaan areal hutan pada era masyarakat industrialisasi dipandang tak layak lagi.
Bagaimanapun, pembukaan areal hutan bisa meningkatkan kerentanan lingkungan, yang secara langsung akan mengancam kelangsungan hidup manusia. Di negara yang sudah memasuki era industrialisasi, hutan yang tersisa hampir tak terusik. Kalaupun ada yang merusakannya, maka sanksinya amat berat.
Negara-negara industri yang telah mengalami proses modernisasi berupaya untuk memperbaiki kualitas lingkungan, hal tersebut terutama untuk kepentingan manusia. Dengan demikian, modernisasi dan pembangunan yang telah dijalankan masih berorientasi pada kepentingan manusia.
Pada hakikatnya pembangunan itu memiliki makna “dari, oleh dan untuk manusia”. Manusia berperan sebagai aktor pembangunan lantas segala aktivitas dan kreativitasnya itu dinikmati, antara lain berwujud tingkat kesejahteraan dan taraf hidup yang membaik.
Terdapat suatu korelasi, di mana makin tinggi tingkat produktivitas dalam pembangunan, makin tinggi pula tingkat kesejahteraan. Tingkat produktivitas itu antara lain menyangkut taraf aktivitas dan kreativitas. Sebagai gambaran, dalam pembangunan yang diselenggarakan oleh sebuah desa baik pembangunan fisik atau nonfisik, sangat tergantung para taraf aktivitas dan kerativitas warganya selaku aktor-aktor pembangunan. Sebuah desa dengan masyarakat yang memiliki tingkat produktivitas tinggi, meskipun dengan sumberdaya alam yang tak begitu menguntungkan akan dengan cepat berubah menjadi desa maju dan mandiri.
Contoh untuk skala yang lebih besar, yaitu negara atau bangsa, bangsa Jepang dikenal memiliki tingkat produktivitas tinggi, maka tak heran jika tingkat kesejahteraan cukup tinggi, padahal sumberdaya alam di negara tersebut amat minim.
Manusia Indonesia selaku aktor-aktor pembangunan di Indonesia, ternyata sebagian besar masih memiliki tingkat produktivitas dan efisiensi yang rendah, yakni sekitar 30 persen di bawah produktivitas dan efisiensi bangsa Korea Selatan dan Taiwan.
Sangat wajar jika tingkat upah dan taraf hidup di kedua negara tersebut lebih baik.Bahkan, tingkat upah di kedua negara tersebut bisa belasan kali lipat negara kita. Bahkan untuk Jepang 50 bisa mencapai kali lipat !
Ternyata, aktor-aktor pembangunan di Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura, telah menikmati mutu hidup yang lebih baik, yakni karena tingkat produktivitas yang jauh lebih tinggi. Negara-negara tersebut telah memasuki tahapan tinggal landas, terutama berkat pertumbuhan sektor industry dan yang begitu pesat.
Jika dilihat dari segi kuantitas, sumberdaya manusia Indonesia jauh lebih besar dari negara-negara manapun di dunia, kecuali China, Amerika Serikat dan India. Namun besarnya angka kuantitas tersebut kurang diimbangi dengan kualitasnya. Dari jumlah sumberdaya manusia sebesar itu, hanya sebagian kecil saja yang tergolong angkatan kerja terdidik dan terampil.
Sebagai catatan, jumlah angkatan kerja Indonesiamencapai 119,4 juta (BPS,Februari 2011), sedangkan yangbekerja 111,3 juta. Dengan demikian tingkat pengangguran mencapai mencapai 6,80 persen. Berdasarkan data dari BPS tahun 2011, distribusinya menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan SD ke bawah 55,12 juta (49,53 persen); SMP 21,22 juta (19,07 persen); SMA 16,35 juta (14,69 persen); SMK 9,73 juta (8,74 persen); Diploma 3,32 juta (2,98 persen); dan Universitas 5,54 juta (4,98 persen).
Ternyata pekerja di Indonesia masih didominasi lulusan SD dan SMP (69 persen), sedangkan lulusan perguruan tinggi hanya 8 persen.Dengan struktur tenaga kerja seperti itu jelas upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi menjadi tidak mudah.
Pembangunan yang berwawasan manusia itu ternyata menghadapi beragam persoalan, antara lain menyangkut tingkat kesejahteraan dan kualitas tenaga kerja yang masih rendah. Hal itu menjadi inhibitor bagi tercapainya tingkat kesejahteraan dan taraf hidup yang lebih baik.
Hal seperti itu umumnya merupakan dilema yang terjadi di seluruh negara yang sedang berkembang. Antara kualitas aktor pembangunan dengan tingkat kesejahteraannya selalu berkorelasi. Artinya, jika kualitasnya tinggi maka tinggi pula tingkat kesejahteraannya. Dengan demikian, menjadi semakin jelas, bahwa faktor manusia merupakan focus of interest dalam pembangunan. Untuk itu perlu adanya pemerintah yang benar-benar bisa mensejahterakan rakyat. (Atep Afia, pengelola PantonaNews.com).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H