Oleh : Atep Afia Hidayat - Belakangan ini persoalan mutu dan produktivitas banyak disoroti, terlebih dengan munculnya globalisais ekonomi yang menuntut daya saing yang tinggi dari aneka produk. Mau tidak mau sektor bisnis dalam negeri pun harus berpartisipasi dalam globalisasi. Memang tak ada pilihan lain, globalisasi seolah “melarutkan” berbagai hal, menyatukan beragam sistem bisnis setiap negara. Sebagaimana gambaran, di Indonesia dewasa ini telah hadir ratusan perusahaan multinasional, terutama yang memiliki induk di Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Kemampuan perusahaan Jepang dalam melakukan partnership ternyata mampu menembus rimba bisnis Amerika Serikat, Eropa Barat dan lebih dari seratus negara lainnya. Langkah dan strategi Jepang dalam bermitra-usaha dengan luar negeri, lantas diikuti oleh Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Singapura. Model yang dikembangkan oleh Jepang ternyata membawa hasil yang memuaskan, terutama menyangkut peningkatan mutu produk, hingga daya saing di pasar global meningkat. Industri dalam negeri tak dapat dikembangkan secara konvensional dan tertutup. Globalisasi ekonomi menuntut modernisasi dan keterbukaan, maka hal seperi “aliansi” tak bias dihindarkan lagi. Selain itu ternyata mitra usaha asing merupakan kunci keberhasilan dalam menembus pasar global. Melalui relokasi industri tentu saja bisa banyak belajar, bagaimana perusahaan-perusahaan asing itu meningkatkan produktivitas dan efisiensinya, hingga produknya mampu bersaing di pasar global. Begitu pula cara-cara peruahaan asing bermitra usaha dengan perusahaan lokal patut ditiru. Aliansi perusahaan akan memberikan beberapa keuntungan, antara lain memudahkan penetrasi pasar baru; pengembangan bisnis baru; menekan biaya riset dan pengembangan; memperkuat daya saing; serta meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Sektor bisnis dalam negeri selalu dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal umpamanya adanya kebijaksanaan uang ketat (tight money policy), antara lain dimaksudkan untuk menekan angka inflasi, namun berdampak kurang menguntungkan bagi sektor bisnis, terutama kredit menjadi seret dengan suku bunganya yang tinggi. Untuk memperoleh kredit menjadi tidak mudah karena makin menumpuknya kredit macet. Hal itu memang cukup logis mengingat banyak perusahaan yang tak mampu melunasi kredit. Banyak juga perusahaan yang cukup likuid, namun ternyata enggan mencicil utangnya, malah lantas dibebankan sebagai utang baru. Itulah dampak kebijaksanaan uang ketat yang menyebabkan uang menjadi langka dan mahal. Pengaruhnya amat nyata, antara lain terhadap peningkatan harga produk. Produk menjadi realtif mahal hingga daya saingnya pun dikhawatirkan melorot. Daya saing produk diperlemah oleh ongkos produksi yang semakin meningkat, antara lain sebagai dampak kenaikan tarif listrik dan harga BBM. Padahal di sisi lainya ekspor nonmigas perlu ditingkatkan, antara lain untuk menghindari defisit neraca perdagangan. Karena kesulitan likuiditas kalangan bisnis banyak yang tertekan. Kalau beberapa waktu yang lalu masih mengandalkan off shore loan (pinjaman luar negeri), maka kini jangan berharap terlalu banyak, yakni karena adanya kebijaksanaan pemerintah dalam membatasi jumlah pinjaman komersial luar negeri. Kebijaksanaan yang ditempuh tersebut, tak lain untuk mengurangi beban transaksi berjalan yang semakain berat. Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit neraca transakasi berjalan sudah akan terjadi pada kuartal tiga dan empat tahun 2011. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Mulya, neraca transaksi berjalan BI akan memasuki era defisit. Dengan demikian nilai impor akan melampaui ekspor dan menyebabkan currenct account defisit. Sudah jelas bisnis dalam negeri menjadi sulit untuk menggunakan pinjaman komersial luar negeri. Maka ketergantungan terhadap kredit perbankan dalam negeri serta sumber modal dalam negeri lainnya pun makin meningkat. Sektor bisnis di Indonesia dihadapkan pada pasar global yang menuntut setumpuk kriteria. Faktor eksternal tersebut harus diantisipasi sedini mungkin. Pasar global begitu selektif, hingga hanya produk yang memiliki kualifikasi tertentu yang bisa masuk. Mutu barang yang substandard, kurang terjaga dan kurang konsisten, menjadi kendala besar dalam perekonomian Indonesia. Untuk Konsumsi dalam negeri, jutaan konsumen dirugikan. Sedang di luar negeri, selain jadi sulit bersaing juga menghasilkan banyak klaim dan pudarnya kepercayaan terhadap mutu produksi Indonesia. Itulah kenyataannya, produk Indonesia sering ditolak di luar negeri, antara lain karena mutunya yang substandard, tidak memenuhi persyaratan. Lengkaplah “tekanan” yang dihadapi aneka produk Indonesia, yakni selain harganya yang relatif mahal, juga mutunya yang sebagian di bawah standar, hingga daya saingnya pun rendah. Umpamanya untuk komodititas udang, seringkali ditolak importir Amerika Serikat, antara lain karena pengusahanya yang belum menerapkan cara produksi yang baik (good manufacturing practice). Banyak produk Indonesia yang memiliki daya saing tinggi di pasar global, umpamanya tekstil, garmen dan kayu olahan. Daya saing aneka produk Indonesia perlu ditingkatkan, baik melalui kebijaksanaan makro yang ditempuh oleh pemerintah, maupun melalui kebijaksanaan intern perusahaan. Kebijaksanaan makro yang biasa ditempuh oleh pemerintah untuk mengkatrol daya saing komoditi ekspor, antara lain melalui mengendalian laju inflasi. Sudah jelas inflasi yang tinggi mendorong kenaikan harga jual produk, yang akhirnya bisa melemahkan daya saing produk di pasar global. Pengendalian laju inflasi antara lain melalui penerapan kebijaksanaan uang ketat (yang seringkali menjadi dilema); reformasi perpajakan; dan pengurangan subsidi. Langkah lainnya yang bisa ditempuh pemerintah ialah depresiasi nilai rupiah, sehingga harga jual produk relatif lebih murah. Namun ada dampak yang kurang menguntungkan dari kebijaksanaan tersebut, yakni harga barang impor menjadi lebih mahal. Sedangkan sebagian dari barang impor tersebut justru merupakan barang modal, yang kelak bisa menghasilkan produk untuk ekspor. Globalisasi ekonomi menuntut adanya peningkatan daya saing produk Indonesia, untuk itu perlu ada keterpaduan antara kebijaksanaan fiskal dan moneter dengan kemauan yang keras dari pihak perusahaan atau sektor bisnis, terutama menyangkut peningkatan produtivitas dan efisiensi; mengadopsi teknologi maju sekaligus mengembangkan inovasi produksi. (Atep Afia). Sumber Gambar: http://bahanbakuindustri.com/wp-content/uploads/2011/01/pabrik.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H