Oleh : Atep Afia Hidayat - Setiap orang tentu saja berhak untuk mengklaim sebagai calon presiden (Capres), siapapun itu baik yang berada di pedesaan atau perkotaan, di pegunungan atau pesisir, orang kaya atau miskin, orang terkenal atau tidak dikenali. Siapapun pada dasarnya boleh nyapres, cuma persoalannya memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang atau tidak, ada bakal calon pemilihnya atau tidak.
Ya, kalau sekiranya yang bakal memilih hanya 100, 1.000 atau 1.000.000 jangan geer dulu, karena untuk menang sebagai presiden terpilih harus mengantongi suara di atas 50 persen dari jumlah pemilih. Kalau dalam Pemilu 2014 ada 185 juta orang yang memiliki hak pilih, dan misalnya hanya 70 persen ikut berpartisipasi (30 persen Golput), maka untuk menjadi Presiden minimal harus memenangkan 64,75 juta suara. Untuk meraih suara sebanyak itu tentu harus menerapkan strategi yang tepat, antara lain dengan membangun elektabilitas.
Menjelang Pemilu 2014 sederet nama bakal Capres sudah muncul ke permukaan, ada yang dimunculkan ada juga yang memunculkan diri. Berbagai media dimanfaatkan untuk meningkatkan elektabilitas masing-masing bakal Capres. Lantas apa yang dimaksud dengan elektabilitas dan apa bedanya dengan populeritas ?
Sebenarnya yang dimaksud dengan elektabilitas ialah bagaimana kesediaan orang memilih seorang tokoh atau calon untuk posisi jabatan tertentu seperti walikota, bupati, gubernur, anggota DPR dan tentu saja presiden. Dalam hal ini elektabilitas berhubungan dengan posisi atau jenis jabatan yang ingin diraih, yang ditentukan berdasarkan pemilihan.
Sedangkan populeritas berkaitan dengan taraf keterkenalan seseorang tanpa dikaitkan dengan jabatan tertentu. Dalam hal ini faktor yang terpenting ialah apakah seseorang itu dikenali atau tidak, lantas berapa banyak yang mengenalinya ? Se-kampung, se-desa, se-kota, se-provinsi, se-Indonesia atau se-dunia, baik terkenal dalam sisi positif atau negatif. Sebagai contoh, komedian Sule memiliki populeritas untuk tingkat nasional, terutama karena wajah, bicara dan tingkah lakunya yang sering muncul di layar kaca. Nah, Sule sudah dikenali lebih dari 100 juta orang Indonesia misalnya, akankah memiliki elektabilitas yang sebesar itu jika seandainya Sule nyapres ? Belum tentu.
Orang yang tahu dan kenal dengan seseorang belum tentu bersedia memilih orang tersebut untuk suatu jabatan tertentu, apalagi untuk jabatan presiden, tentu saja banyak pertimbangan obyektif dan subyektif untuk sampai pada menjatuhkan pilihan.
Seorang Capres selain memiliki elektabilitas yang tinggi tentu saja harus sangat populer. Hal yang juga menentukan ialah kapabilitasnya yang mumpuni, rekam jejakatau latar belakangnya yang tidak pernah tercoreng, dan tentu saja ada mesin politik yang mendukungnya. Ada simbiosis mutualisme antara bakal capres dengan partai politik (Parpol) sebagai mesin pendukungnya. Jika seorang bakal Capres memiliki tingkat populeritas dan elektabilitas yang tinggi, secara langsung akan berimbas pada populeritas dan elektabilitas Parpol yang mendukungnya.
Dengan demikian petinggi Parpol harus jeli membaca situasi dan peluang yang ada dihadapannya. Tidak perlu memaksakan tokoh tertentu yang tingkat elektabilitasnya telah memudar untuk posisi Capres. Langkah yang terbaik ialah memajukan figur tertentu yang telah diketahui memiliki elektabilitas paling tinggi.
Sebagai gambaran kongkrit nama Jokowi (Joko Widodo, Gubernur DKI sekarang) belakangan makin fenomenal, media massa tiada henti-hentinya menyiarkan berbagai sepak terjangnya. Di sisi lainnya pemberitaan menyangkut Joko Widodo mendapat disambut masyarakat dengan begitu antusias. Nah, dalam Pemilu 2014 sudah sepantasnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusung nama Jokowi sebagai Capres. Dalam hal ini Megawati Soekarno Puteri sebagai Ketua Umum Parpol diharapkan bersikap lebih realistis, meskipun patut diakui elektabilitasnya masih tinggi, namun sudah tersalip Jokowi.
Parpol besar lainnya seperti Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrat (PD) sudah semestinya segera menjaring satu nama yang diperkirakan bakal menandingi tingkat populeritas dan elektabilitas Jokowi. Partai Golkar sudah mulai mengusung nama Aburizal Bakri (ARB) sebagai Capres, antara lain dengan memasang publikasi politik melalui beragam media.
Kalau kita rajin menonton televisi ada perbedaan mendasar antara pencapaian tingkat poluleritas dan elektabilitas ARB dengan Jokowi, meskipun di sisi lainnya untuk nyapres Jokowi masih tampak malu-malu kucing. Dalam hal ini “promosi” ARB dilakukan dengan “sengaja”, terutama dengan membuat iklan politik yang ditebar di berbagai stasiun televisi, media online, surat kabar, spanduk, dan sebagainya, tentu saja dengan menggunakan dana yang tidak sedikit. Sedangkan “promosi” Jokowi berjalan dengan sendirinya, seperti “tanpa sengaja”, karena Jokowi sendiri sudah menjadi pusat pemberitaan.
Apa yang dilakukan kubu Prabowo Subianto yang pencapresannya diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)juga mirip ARB, begitu halnya pencapresan Wiranto yang diusung Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sebagai pendatang baru Partai Nasional Demokrat (Nasdem) kemungkinan akan mengusung ketua umumnya sebagai Capres, meskipun Surya Paloh belum menyatakan minatnya.
Parpol peserta Pemilu 2014 lainnya belum menunjukkan gelagatnya untuk mengusung Capresnya. Apakah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN) dan beberapa Parpol lainnya akan mengusung ketua umum sebagai Capresnya ? Belum diketahui, namun pouleritas dsn elektabilitas tetap harus diperhitungkan, tidak sekedar mengusung sang ketua umum. Bisa saja membidik figur lainyang berada di luar Parpol yang memiliki reputasi dan layak menjadi Capres.
Ya, Pemilu 2014 semakin mendekat, berbagai survei mengenai Capres yang paling mumpuni terusdilakukan oleh banyak lembaga survei, hasilnya cukup beragam. Beberapa nama tokoh muncul atau “dimunculkan”, kebanyakan tokoh tingkat nasional. Namun tidak tertutup kemungkinan tokoh level provinsi tiba-tiba namanya meroket sebagaimana nama Jokowi. Ada tokoh lokal yang dalam Pemilu 2014 diperkirakan bakal naik daun, yaitu Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya saat ini, yang kebetulan juga kader PDIP.
Lantas akankah Jokowi dan Tri Rismaharini disandingkan sebagai Capres dan Cawapres 2014 ? Bisa juga Prabowo dipasangkan dengan Jokowi jika terjadi koalisi antara Gerindra dengan PDIP. Dalam hal ini jelas kaliber ketokohan Prabowo jauh di atas Jokowi, namun perlahan tapi pasti aspek popularitas dan elektabilitas Jokowi makin melambung dan melampaui Prabowo.
Ya, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, siapa tahu menjelang Pemilu 2014 ada sebuah nama yang tiba-tiba melesat jauh melampaui nama-nama yang sudah disebutkan. (Atep Afia)
Dipublikasikan juga melalui
KangAtepAfia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H