Oleh : Atep Afia Hidayat - Hasil sebuah riset di Inggris menunjukkan, Ibu hamil yang perokok pasif (tidak merokok tapi terkena asap) melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah. Berat rata-rata bayi dengan ibu yang bebas rokok (asap rokok) 3,518 kg, dari ibu yang merokok aktif 3,206 kg, serta dari ibu yang merokok pasif 3,121 kg. Ternyata ibu hamil yang merokok atau terpapar asap rokok bisa menyebabkan berat bayinya menyusut !
WHO (World health Organization) dari markasnya di Geneva, Swiss, menghimbau seluruh pemerintahan dan masyarakat dunia, supaya pada tanggal 31 Mei dijadikan the world’s No tobacco day. Hal tersebut merupakan kelanjutan dari tema WHO untuk Hari Kesehatan Sedunia tahun 1980, yaitu “Merokok atau Sehat, Pilihan Terserah pada Anda”. Sebenarnya tanpa tembakau itu perlu berlaku setiap har, jangan satu hari saja.
Memperhatikan situasi dan kondisi yang ada, maka tak berlebihan jika wilayah Indonesia masih merupakan “surga” bagi perokok. Tak seperti di Singapura yang memiliki no smoking area yang luas, di negara kita kawasan bebas rokok masih amat terbatas, itupun tak ada sanksi lebih lanjut terhadap para pelanggar.
Di Singapura, tempat-tempat umum yang berslogan no smoking semakin banyak, tersebar di seluruh pelosok negeri, tentu saja dengan sanksi, denda atau kurungan yang tegas, karena memang ada peraturan yang diterapkan secara tegas dan konsisten.
Kondisi di Indonesia amat berlainan, di sini merokok seolah bebas di mana saja. Bahkan di dalam angkutan kota (Angkot) yang berjejal dengan ruang sempit, masih ada ornag yang berani dan tega merokok. Mungkin tempat yang masih dianggap angker untuk merokok ialah di pom bensin. Begitu patuh perokok-perokok itu terhadap tulisan no smoking yang terpampang. Tak lain karena faktor risiko yang amat jelas dan mudah dimengerti, kebakaran! Kebakaran berarti kehilangan mobil, motor, bahkan dirinya.
Melihat situasi dan kondisi yang ada, paling tidak menunjukkan bahwa diisplin pribadi dan disiplin nasional perlu ditumbuh-kembangkan lebih lanjut.
Ternyata orang mematuhi peraturan karena efek samping yang sangat dimengerti. Berhenti merokok di pom bensin karena takut terbakar, lantas, kenapa di tempat lain tidak takut.
Padahal, merokok dimana-mana sama saja, yakni membahayakan, terbakar ! Faktor dampak dan bahayanya inilah yang belum banyak disadari, dan hal tersebut sudah selayaknya dijadikan bahan kampanye anti merokok.
Selain itu, peraturan tentang larangan merokok seperti Peraturan Daerah (Perda) yang diterbitkan oleh Pemerintah Kota (Pemko),harusdipatuhi dan disepakati bersama.
Bis kota memasang slogan “Dilarang Merokok” pada dindingnya, namun ternyata awak bis kotanya sendiri masih merokok dengan leluasanya, seolah peringatan itu tak ada. Seorang ayah memarahi anaknya karena didapatinya sedang merokok, namun ironisnya sang ayah sendiri merupakan perokok berat. Kondisi seperti itulah yang harus dihindari, bagaimanapun suatu aturan harus dipatuhi bersama.
Dibalik nikmatnya hisapan rokok ternyata terdapat sekitar 1.200 senyawa kimia kompleks, meliputi tar, nikotin, benzpyrin, hydrogen sianida, akrolein, metal klorida, karbon monoksida dan resorsinol. Asap rokok meliputi 50 macam bahan karsinogen, 10 di antaranya dapat menimbulkan kanker. Contoh, nikotin dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular yang berhubungan dengan kerja jantung, mempengaruhi metabolisme lemak, serta mengganggu fungsi pembekuan darah.
Jika asap rokok terisap ibu hamil, maka dapat menimbulkan penyempitan rahim, hingga pasokan makanan untuk janin berkurang. Menurut hasil penelitian sebuah lembaga riset di Inggris, tahun 1987, menunjukkan bahwa ibu hamil yang perokok pasif (tidak merokok tapi terkena asap) melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah. Berat rata-rata bayi dengan ibu yang bebas rokok (asap rokok) 3,518 kg, dari ibu yang merokok aktif 3,206 kg, serta dari ibu yang merokok pasif 3,121 kg. Sementara temuan terbaru dari Loma Linda University School of Medicine, Amerika Serikat, menunjukkan, bahwa janin yang terpapar nikotin akan menderita tekanan darah tinggi saat ia dewasa, sehingga berisiko menderita serangan jantung di usia muda.
Sejalan dengan meningkatnya produksi rokok, maka meningkat pula jumlah penderita penyakit paru-paru. Di Indonesia, sekitar 80 persen dari penderita kanker paru disebabkan oleh rokok. Di Inggris, penyakit tersebut merenggut nyawa sekitar 300 orang perokok pasif dalam setahunnya. Sedangkan di Amerika Serikat, menurut laporan tahun 1980, sudah mencapai jumlah 100 ribu penduduk yang meninggal karena kanker paru.
Risiko terkena kanker paru pada laki-laki perokok sekitar tujuh kali bukan perokok. Jika kebiasaan merokok dimulai pada usia 15 tahun atau kurang, maka risiko itu menjadi 20 kali. Risiko terkena kanker paru antara lain dipengaruhi oleh jumlah batang yang diisap, usia mulai merokok, dalamnya hisapan, serta kadar tar atau kandungan senyawa berbahaya lainnya.
Berbagai langkah preventif untuk mencegah meluasnya kebiasaan merokok telah ditempuh. Namun jumlah perokok malah cenderung meningkat. Tampakya kampanye anti rokok, tingkat keberhasilannya patut dipertanyakan.
Dalam hal ini, promosi yang dilakukan oleh perusahaan rokok jauh di atas angin, dengan dana milyaran rupiah. Perhatikanlah, baik di media cetak, elektronik, dan online, iklan rokok tampak begitu mendominasi. Lantas, perlukah pemerintah untuk segera turun tangan, antara lain dengan membuat peraturan yang melarang berbagai bentuk iklan rokok.
Bagi pemerintah memang tidak semudah itu, ternyata selain “mematikan” orang, rokok juga “menghidupi” orang. Umpamanya, sebuah pabrik rokok raksasa di Kota Kediri, Jawa Timur, menampung tak kurang dari 40 ribu pekerja. Kalau masing-masing pekerja menanggung rata-rata 3 orang, maka pabrik tersebut “menghidupi” sekitar 120 ribu jiwa. Begitu pula dengan sebuah pabrik rokok terbesar di Jawa Tengah, menampung tak kurang dari 25 ribu pekerja.
Jika jumlah perokok berhasil ditekan hingga angka minimal, maka jutaan orang akan kehilangan mata pencahariannya, mulai dari pekerja pabrik rokok, petani tembakau, petani cengkeh, pedagang, pengecer, dan sebagainya. Jika rokok lenyap dari pasaran, maka akan muncul dampak sosial ekonomi yang tak menguntungkan. Bahkan, pemerintah pun akan kehilangan pendapatan yang bersumber dari cukai dan pajak.
Ternyata rokok itu seperti buah simalakama, jika merokok kesehatan akan terganggu, bahkan lebih jauh lagi bisa menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Sedangkan jika tidak merokok maka jumlah pengangguran akan “meledak”. Untuk memecahkan masalah yang dilematis tersebut memang tidak mudah. (Atep Afia, pengelola Pantonanews.com).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H