Oleh : Atep Afia Hidayat - Hingar bingar berita pemekaran daerah masih berlanjut, meskipun sempat adanya upaya penghentian sementara (moratorium) . Saat ini sudah terbentuk 34 Provinsi baru, dengan Provinsi Kalimantan Utara sebagai provinsi yangpaling baru dibentuk. Tanggal 25 Oktober 2013 DPR telah menyetujui usulan 65 RUU Pemekaran Daerah Otonomi Baru, delapan di antaranya berstatus provinsi.
Adapun kedelapan calon provinsi baru tersebut ialah Provinsi Tapanuli dan Kepulauan Nias sebagai hasil pemekaran Provinsi Sumatera Utara; Provinsi Kapuas Raya ( pemekaran Provinsi Kalimantan Barat); Provinsi Bolaang Mongondow Raya (pemekaran Provinsi Sulawesi Utara); Provinsi Pulau Sumbawa (pemekaran Provinsi Nusa Tenggara Barat); Provinsi Papua Barat Daya (pemekaran Provinsi Papua); Provinsi Papua Selatan dan Papua Tengah (pemekaran Provinsi Papua).
Hal yang menarik ialah Provinsi Sumatera Utara sekaligus bakal melahirkan dua provinsi baru, begitu pula dengan Provinsi Papua. Khusus untuk Provinsi Papua dan Sulawesi Utara merupakan pemekaran yang kedua kalinya, setelah sebelumnya terbentuk Provinsi Papua Barat dan Gorontalo. Hal menarik lainnya ialah pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa akan menyisakan wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang hanya terdiri dari Pulau Lombok dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Bisa saja nama Provinsi Nusa Tenggara Barat akan berganti menjadi Provinsi Lombok yang bersebelahan dengan Provinsi Bali. Sedangkan Provinsi Kapuas Raya sebagai hasil pemekaran dari Provinsi Kalimantan Barat, akan menjadi daerah yang berbatasan dengan wilayah Negara Malaysia (Serawak).
Ada berbagai latar belakang dan kepentingan di balik upaya pembentukan daerah otonomi baru, hal yang sering muncul ke permukaan dan amat klasik ialah adanya kesenjangan kesejahteraan masyarakat antara bagian yang satu dengan bagian yang lain di sebuah daerah otonomi. Selain itu terjadinya ketimpangan infrastruktur antar bagian juga turut mempengaruhi hasrat masyarakat dan elit setempat untuk menggulirkan pemekaran wilayah. Beberapa faktor penentu dari pembentukan daerah otonomi baru seperti faktor perbatasan daerah dengan negara lain, jumlah penduduk, potensi daerah dan potensi ekonomi, upaya memperpendek rentang kendali, aspek pertahanan, keamanan dan alasan historis, kultural serta budaya.
Di bandingkan dengan kondisi di berbagai Negara lainnya, isu pemekaran wilayah di Indonesia merupakan yang paling heboh. Bandingkan dengan negara yang menjadi “mbah-nya” demokrasi, yaitu Amerika Serikat, jumlah negara bagian tetap saja tidak berubah. Meskipun sebagian besar Negara bagian memiliki wilayah yang amat luas dengan latar belakang historis dan kultural yang beragam.
Lantas, apakah langkah pemekaran daerah otonomi baru begitu penting ? Faktanya sebagian daerah otonomi selalu disibukan dan dikisruhkan dengan peristiwa Pilkada dan korupsi oleh pejabat daerah. Dengan makin banyaknya daerah otonomi baru maka frekuensi sengketa Pilkada dan kasus korupsi pejabat daerahberpeluang makin banyak.
Sebenarnya yang terpenting ialah adanya sumberdaya manusia yang mumpuni dalam mengelola daerah, baik memiliki wilayah luas atau sempit, berpenduduk banyak atau sedikit. Pada dasarnya daerah beserta potensinya berlu dikelola secara optimal. Nah, lantas siapa saja yang memegang kendali dalam mengelola potensi daerah supaya menimbulkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat setempat. Sudah jelas kasusnya, bahwa banyak daerah yang mengalami ketertinggalan adalah bukan karena kuantitas pemerintahannya, namun sangat dipengaruhi oleh kualitas pemerintahannya. Tidak aka ada hasilnya jika suatu daerah dimekarkan menjadi satu atau beberapa daerah otonomi daerah baru kalau pemimpin daerahnya kurang berdaya dan tidak mumpuni.
Jumlah provinsi di Indonesia dalam waktu dekat segera bertambah dari 34 menjadi 42, untuk itu diperlukan aparat birokrasi yang baru untuk menjalankan roda pemerintahan. Persoalannya ialah kualitas aparat birokrasi yang belum memadai dalam menjalankan beragam fungsi pemerintahan daerah, sehingga sebagian besar daerah kondisinya hanya jalan di tempat, bahkan banyak yang mundur. Bagaimana tidak demikian, selain karena kualitas aparat birokrasi yangbelum memenuhi standar, ternyata APBD sebagian besar daerah umumnya didominasi untuk belanja pegawai, lantas bagaimana pembangunan di daerah bisa berjalan ? (Atep Afia).
Dipublikasikan juga melalui :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H