Oleh : Atep Afia Hidayat - Anak saya yang masih duduk di Kelas 3 Sekolah Dasar (SD) saat in mulai menyukai sepak bola, sebagaimana teman-teman seusianya. Setiap hari dia bermain bola dengan teman-temannya, dengan posisi favoritnya sebagai penjaga gawang. Kebetulan di tempat kediaman kami masih ada lapangan kecil untuk bermain, dan kalau sore tiba selalu ada pertandingan yang menarik.
Apresiasi terhadap sepak bola juga disalurkan melalui play station (PS). Jika ada waktu senggang, berbagai klub favorit dan pemain kelas dunia dimainkannya. Seru katanya, terutama jika memainkan FC Barcelona versus Real Madrid, dua kesebelasan yang saat ini merupakan yang terbaik di dunia.
Masih ada lagi bentuk kesukaan anak saya terhadap sepak bola, yaitu menelusuri situs-situs khusus sepak bola, baik yang ada di Indonesia maupun internasional. Melalui transfer markt misalnya, dia bisa mengetahui nama-nama pemain nasional Spanyol, usianya, di klub mana bermain, posisi di lapangan, dan berapa nilai pasarnya saat ini. Sebagai contoh, pemain yang menjadi idolanya Iker Casilas, usianya 30 tahun, penjaga gawang di Real Madrid, dengan nilai pasar mencapai 31 juta euro atau sekitar 363 miliar rupiah. Begitu pula peringkat sepakbola internasional (FIFA), klasmen Liga Inggris, Spanyol dan Itali selalu menjadi pantauannya (Bola Kompas) .
Tayangan siaran langsung sepak bola Liga Inggris, Spanyol dan Itali juga sering menjadi perhatian. Namun di tengah keasyikannya menikmati sepak bola, ada pertanyaan yang selalu dilontarkan, dan jawabannya sulit diberikan, yaitu kenapa ada LSI (Liga Super Indonesia) dan LPI (Liga Primer Indonesia). Pertanyaan lainnya yang tidak kalah membingungkan ialah kenapa Persija, Persebaya dan Arema ada dua. Hal yang paling menggelikan ialah ketika misalnya dua kesebelasan Persija bertanding dalam waktu bersamaan, dan secara kebetulan disiarkan dua stasiun televise yang berbeda pada jam tayang yang sama. Anak saya pun berkomentar, “Lho kok Persija ada dua ?”
Sulit dicerna dengan akal sehat, bagaimana di negara dengan peringkat sepak bola 143 dunia, digulirkan dua buah kompetisi, yang sama-sama mengaku sebagai Liga Indonesia. Hal yang mengenaskan ialah ketika harus dibentuk Tim Nasional untuk pertandingan dengan negara lain dalam sebuah kompetisi, pemain yang diambil hanya dari satu liga, sedangkan pemain dari liga lainnya tidak digubris, karena liganya sendiri dianggap illegal. Sebagai dampaknya, maka banyak pemain berkelas nasional (Indonesia) tidak bisa berlaga di kompetisi nasional. Sekali lagi, sulit dicerna dengan akal sehat, bagaimana pemain sekelas Bambang Pamungkas, Christian Gonzales atau Maman Abdurahman tidak bisa memperkuat Timnas, hanya karena bermain di LSI.
Bagi anak-anak seusia anak saya dan puluhan juta anak-anak lainnya penyuka sepak bola di Indonesia, bahkan bagi generasi muda bangsa pada umumnya, jelas hal tersebut merupakan jenis pembelajaran yang buruk, sama sekali tidak mendidik dan tidak menunjukkan sikap profesional.
Bagaimana klub fenomenal seperti Persija yang berdiri kokoh sejak tahun 1928, dan Persebaya yang berdiri sejak 1927, kini muncul kembarannya. Lantas, bagaimana juga dengan sikap pendukung fanatiknya, jelas sangat membingungkan.
Persepakbolaan nasional yang sampai saat ini belum menorehkan kebanggaan nasional, kini kondisinya makin terpuruk. Padahal sebagaimana di dunia, di Indonesia sepak bola adalah cabang olah raga nomor satu. Penyukanya semakin bertambah, baik tua maupun muda, bahkan kalangan wanita sekalipun. Namun saying animo masyarakat yang semakin menggandrungi sepak bola tidak diimbangi oleh pengelolaan yang mumpuni.
Di lapangan kecil yang ada di kediaman kami, anak-anak bermain sepak bola dengan menjunjung sportifitas yang tinggi, bahkan pertandingan bisa berlangsung tanpa kehadiran wasit. Kalah dan menang bagi mereka biasa saja sebagai konsekuensi dari sebuah pertandingan. Namun sebagian dari mereka yang merasa sebagai tokoh sepak bola nasional justru bersikap sebaliknya, mengenyahkan sportifitas, sehingga kondisi persepakbolaan nasional semakin carut-marut, tambah mengenaskan. Pencapaian prestasi masih obsesi, bahkan peringkat di dunia terus melorot. Semua itu tak lain karena ulah segelintir “Pengacau Sepak Bola Seluruh Indonesia”. (Atep Afia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H