[caption id="attachment_144593" align="alignnone" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Oleh : Atep Afia Hidayat - Saat ini sudah banyakperguruan tinggi di Indonesia yang menyatakan sedang menuju kelas dunia. Hal itu merupakan sebuah ambisi yang positif dan progresif jika disertai dengan langkah-langkah obyektif dan faktual kearah itu. Namun untuk memperoleh status universitas kelas dunia jelas sangat tidak mudah, harus ada unggulan tertentu yang benar-benar berkelas dunia, dan nyaris tidak ada pesaingnya di Negara lain. Unggulan tersebut bisa berupa sebuah program studi, pusat studi atau pusat kajian, lembaga penelitian, kurikulum, laboratoriumdan sebagainya.
Di Indonesia beberapa universitas memang sudah layak mempromosikan diri sebagai universitas kelas dunia. Beberapaperguruan tinggi tertua seperti ITB, UGM, UI dan IPB sudah memiliki tradisi akademik dan riset yang mumpuni. Kiprahnya di tingkat nasional sudah tidak diragukan, baik berupa kontribusi sumberdaya manusia maupun sumberdaya teknologi. Ketika Orde Baru berkuasa misalnya, Kabinet PembangunanI – VII didominasi oleh profesional dari perguruan tinggi tersebut. Begitu pula pengembangan teknologi baru baik dibidang industri, pangan dan pertanian, pertambangan dan energi, juga didominasi periset dari perguruan tinggi tersebut. Riset unggulan bidang ekonomi dan sosial pun banyak dihasilkan perguruan tinggi tersebut. Pada lapisan berikutnya muncul nama-nama Unair, Unpad, Undip, Unhas dan ITS. Mengikuti jejak pendahulunya, perguruan tinggi inipun sudah bersiap untuk go internasional.
Selain deretan nama di atas, tentu saja masih banyak universitas atau perguruan tinggi lainnya, baik yang tergolong PTN atau PTS yang saat ini sedang berbenah mengejar status sebagai universitas kelas dunia. Namun kalau kita cermati dengan seksama, ada beberapa kelemahanmendasar dari perguruan tinggi yang ada di Indonesia.
Pertama, kelemahan dalam aspek kreativitas dan inovasi. Hal itu terutama karena belenggu akademik dan administrasiyang membebani para pengajar, peneliti atau ilmuwan yang ada di perguruan tinggi. Memang ada ketentuan mengenai beban kerja dosen (BKD) bahkan ada yang namanya sertifikasi dosen, namun banyak manajemen perguruan tinggi memperlakukansumberdaya dosenseperti tenaga administrasi (admin). Bahkan, ada kasus penilaian kinerja dosen diukur oleh jumlah jam kehadiran di tempatnya bekerja. Dengan perlakuan seperti itu, tentu saja bisa menghambat aktivitas kreatifseorang akademisi.Bagaimanapun eksploitasi dan eksplorasi ilmu, seni dan teknologi sulit dibatasi waktu dan ruang kerja, sangat berbeda dengan pekerjaan administrasi biasa.
Kedua, kelemahan dalam aspek teknologi dan sistem informasi. Sebagai contoh, keberadaan situs web perguruan tinggi di Indonesia, tampilannya belum begitu menarik dan kontennya belum komprehensif. Seringkali untuk menyiasati peringkat web di tingkat dunia (Webometrics) beragam cara kurang elegan pun dilakukan. Padahal keberadaan situs web perguruan tinggi merupakan etalase yang memberikan gambaran aktual dan faktual.
Ketiga, kelemahan dalam manajemen perguruan tinggi. Untuk menjadi universitas kelas dunia setidaknya diperlukan wakil rektor atau pejabat setingkat direkturyang membidangi kerjasama internasional. Orang yang menduduki posisi tersebut selayaknya yang benar-benar memiliki reputasi internasional dan kompetensinya dikenal secara luas minimal di 10 negara dengan kualitas pendidikan yang terbaik. Nah, pejabat inilah yang membawa misi “mendunia-kan” perguruan tinggi. Kerjasama internasional hendaknya dilakukan dengan perguruan tinggi di negara lain dengan kelas yang lebih baik, atau minimal setaraf.
Dalam hal ini menuju universitas kelas dunia sudah selayaknya bukan sekedar semboyan dan hanya untuk menarik simpatik calon mahasiswa baru. Posisi universitas kelas dunia harus dicapai dengan menawarkan keunggulan tertentu, selanjutnya dibarter dengan keunggulan yang dimiliki perguruandi luar negeri. Dengan demikian, sebelum ber-koar-koar tentang universitas kelas dunia, sebelumnya perlu berkonsentrasi untuk mengembangkan kekuatan internal, antara lain berupa pencapaian dalam keunggulan keilmuan, teknologi atau seni dan budaya tertentu. (Atep Afia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H