Oleh : Atep Afia Hidayat - Tahun 2014 adalah salah satu tahun penting bagi kelangsungan bangsa dan negara Indonesia, sebab akan ditentukan siapa yang menjadi penguasa atau pemerintah dalam kurun lima tahun berikutnya. Untuk terpilih menjadi pemerintah yang berkuasa harus terlebih dahulu memenangkan pemilihan umum (Pemilu). Lalu bagaimana supaya meraih suara terbanyak, baik dalam pemilihan presiden atau parlemen ?
Nah, kata kuncinya adalah meraih suara terbanyak ! Sebuah rejim (kelompok calon penguasa) harus memiliki “mesin pengumpul suara”. Dalam hal ini mesin tersebut secara formal dinamakan partai politik (Parpol), namun secara nonformal bentuknya bisa beragam, yang penting hebat sebagai vote getter.
Lantas, apa kaitannya dengan PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) ? Apakah PSSI juga bisa berperan sebagai “mesin pengumpul suara” ? Sehingga keberadaannya kental dengan aroma politik, apalagi menjelang Pemilu 2014 seperti jadi rebutan beberapa rejim yang hendak berkuasa. Hipotesis tersebut bisa terbukti bisa juga tidak, yang jelas PSSI mewadahi olah raga paling popular di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Sepak bola, supporter (Bobotoh, Viking, Bonek, Jackmania, Aremania, dan sebagainya), bahkan PSSI bisa efektif berperan sebagai vote getter.
Tentu saja politisasi sepak bola sama sekali tidak menyehatkan persepakbolaan nasional, sebab ada kepentingan kelompok dan keberpihakan. Padahal sepak bola adalah kekompakan, milik bersama, yang sama sekali tidak bisa dicerai-beraikan berdasarkan kelompok politik. Meskipun di sepak bola nasional ada klub yang tersebar di berbagai kota, dengan supporter masing-masing, yang terkadang saling bersitegang. Namun ketika mengusung merah putih, mereka bersatu padu, hanya meneriakan satu kata, Indonesia.
Berbeda halnya dengan kelompok-kelompok politik, yang cenderung selalu bersitegang dengan aneka konfliknya. Bahkan konflik itu terjadi dalam satu Parpol, faksi-faksinya berebut kepentingan masing-masing. Padahal idealnya setelah hasil Pemilu resmi diumumkan dan dilegalkan, mereka harus sanggup meniru semangat supporter sepak bola, yaitu hanya satu kata, Indonesia.
Bahkan ketika meraih status pejabat Negara, mulai dari presiden, wakil presiden, menteri dan sebagainya, harus berani berganti baju, dari semula kuning, biru, merah atau hijau menjadi merah putih. Bagaimana bisa diterima dengan nalar sehat, jika Ketua Umum Parpol merangkap sebagai menteri di kementerian tertentu, sangat rancu dan kacau-suracau. Selain itu terkesan kemaruk dan seolah manusia super. Kalau terpilih jadi Ketua Parpol dengan sendirinya harus melepas kursi menterinya, begitu pula sebaliknya.
Ya, di negara berpenduduk 237 juta jiwa dengan begitu banyaknya orang-orang hebat, semestinya tidak perlu ada rangkap jabatan lagi. Kecuali memang tidak ada orang lain yang mumpuni. Sama seperti yang bakal terpilih dalam Kongres PSSI yang diselenggarakan di Kota Solo, hari Sabtu, 9 Juli 2011, hendaknya harus orang yang benar-benar professional, kapabel dan bisa mengayomi sekaligus memajukan persepak-bolaan nasional. Kalau sebelumnya memiliki jabatan penting, sewajarnya dilepas saja, supaya lebih focus pada sepak bola.
Siapa yang bakal terpilih sebagai Ketua Umum PSSI, tentu saja menjadi figur penentu masa depan sepak bola nasional. Tokoh tersebut hendaknya bukan salah satu anggota dari rejim-rejim politik yang sedang mempersiapkan diri dalam memenangi Pemilu 2014. Seorang tokoh yang netral, bukan orangnya A, M atau S, namun orangnya I (Indonesia). Selain itu tokoh tersebut harus mampu menghindarkan PSSI dari upaya politisasi. Bravo sepak bola Indonesia. (Atep Afia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H